PONDOK PESANTREN DAN PENDIDIKAN KONTEMPORER
A. Pendahuluan
Dalam waktu kurun abad 21, Indonesia
sebagai sebuah Negara yang telah merdeka selama puluhan tahun, masih diliputi
dengan berbagai macam persoalan yang seperti tak kunjung henti. Reformasi pada
tahun 1998 yang diharapkan menjadi titik tolak sebuah perubahan bagi bangsa ini,
juga tak bisa banyak diharapkan, selain bergantinya pemerintahan, entah masih
ada lagikah perubahan yang substansial.
Bebagai macam persoalan meliputi
segala macam unsur dan lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari
korupsi yang kian menjadi, kerusuhan yang silih berganti, teror keamanan yang
selalu mengintai, kesejahteraan yang hingga kini kian dipertanyakan, serta
pendidikan yang mengalami krisis identitas. Berbagai macam masalah tersebut
disikapi dengan berbagai macam, ada yang latah menyikapi dengan tergesa-gesa,
ada yang mencoba menerapkan berbagai undang-undang, ada yang mencoba berkreasi
dengan berbagai macam komunitas serta organisasi. Intinya semua berupaya untuk
mengurai benang kusut permasalahan tersebut. Walau pada kenyataannya, benang
tak juga terurai, malah tambah kusut tak tahu ujung serta pangkal.
Dalam sektor pendidikan, krisis
identitas tentang jati diri pendidikan bangsa tak kunjung menemukan sebuah
solusi yang konkrit serta mencercedaskan. Persoalan kurikulum kerap kali jadi siklus
persoalan lima tahunan seiring pergantian mentri. Namun semua hal tersebut
belumlah lagi menjadi jawaban bagi terjadinya krisis dalam dunia pendidikan
kita. Hal tersbut dinilai dari keterpisahan yang terjadi antara pengetahuan
kognitif serta moralitas.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
yang tertua di Indonesia, telah melahirkan generasi-generasi pejuang
kebangsaan, penerus kemerdekaan, yang mempunyai kapasitas wawasan serta
keilmuan yang kompleks (beragam). Semenjak ia massif pada zaman wali songo di
Jawa hingga kini setelah 67 tahun Indonesia merdeka. Mereka tidak hanya
bergerak dalam bidang keagamaan semata, lebih dari itu, mereka bergerak dalam
politik, kebudayaan, ekonomi, pendidikan, sains serta berbagai hal yang
mencakup kehidupan di masyarakat.
Output pesantren yang berkualitas
tidaklah semata di hasilkan tanpa satu system yang utuh dan kompleks. Maka
dalam hal ini kita akan menkaji peranan pesantren terhadap isu pendidikan
kontemporer, terutama di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa peran
pesantren terhadap kondisi pendidikan kontemporer bangsa Indonesia?
C. Pembahasan
Perjalanan bangsa Indonesia tak kan
pernah terlepas dari peran keislaman yang terjadi di dalamnya. Sejak kemunculan
Islam pada abad ke 13, dan semakin massif penyebarannya pada abad ke 15[1][1], Islam
mempunyai pengaruh yang sangat dominan bagi perjalanan serta penentuan karakter
bangsa Indonesia.
Islam massif disyiarkan di Nusantara
pada zaman wali songo, di mana para wali berhasil mengislamkan raja-raja yang
berkuasa. Terutama kerajaan Majapahit yang mempunyai kekuasaan luas pada waktu
itu. Hingga kini, apa yang telah dilakukan oleh para wali serta ulama penyebar
agama Islam masih tetap dirasakan, walaupun di sana- sini banyak yang telah
hilang dari kehidupan kita. Semenjak Islam masuk ke Indonesia abad ke 13,
penyebaran Islam sudah dimulai dengan cara-cara yang tersistematis, di Sumatera
sebagai contoh, di Lamreh dan Samudra
Pasai telah terbangun sebuah kerajaan Islam, dan ramuan berbagai pikiran
tentang Islam yang bercirikan pemikiran-pemikiran ulama terdahulu, seperti Imam
Syafe’i, Abu Musa Al Asy’ari, Al Maturidi, dan Aljunaid.[2][2]
Kemudian generasi ini berlanjut ke
masa wali songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dalam menyebarkan serta
mengajarkan ajaran serta nilai-nilai islam, para wali tidak semerta merta
memaksakan agar masyarakat menerima apa yang mereka bawa. Akan tetapi dalam
perjalanannya, laku para wali serta pemikiran mereka diterapkan perlahan sesuai
dengan kondisi masyarakat Jawa kala itu. penyebaran Islam yang dilakukan oleh
para wali, dilakukan secara sistematis dan penuh pertimbangan bagi tumbuh
kembangnya ajaran Islam di Nusantara. Islam diajarkan tidak semata untuk sebuah
urasan akherat, namun ia juga mencakup berbagai dimensi kehidupan kekinian.
Mulai dari ekonomi, politik, pendidikan, tekhnik serta berbagai macam
pengetahuan lainnya.[3][3]
`Pesantren yang dikembangkan oleh
para wali dalam menyebarkan syi’ar Islam, tumbuh berkembang menjadi sebuah
model pendidikan yang orsisnil, indegenous,
atau asli dengan corak Nusantara[4][4]. Konstruksi
serta tradisi dalam pesantren yang dibangun oleh para wali kemudian menjadi
ciri khas sistem pendidikan pesantren. Sebuah sistem yang tidak parsial serta
material, namun bersifat holistis dan universal. Dengan pesantren sebagai
sebuah alat serta sarana dalam megajarkan serta men-syiarkan Islam, wali songo
kemudian berhasil mencapai tujuan-tujuannya, yaitu menciptakan sebuah
masyarakat yang etis dan berperadaban yang berlandaskan kepada karakter para
wali, para kyai, ulama,-yang notabene sebagi penerus para nabi- serta
menciptakan perlidungan perlindungan terhadap sumber kemaslahatan umat manusia,
manhaji baru, dan menetukan peradaban yang kosmopolit.[5][5]
Sebagi contoh bagaimana para wali
membuat sebuah konstruk serta tradisi pesantren tersebut adalah dengan mengkaji
kitab-kitab ulama klasik timur tengah (kitab mu’tabarah), melindungi hutan
serta air dengan tidak sembarangan mencemari serta menebang hutan,
memperkenalkan pembuatan kertas, bercocok tanam, tekhnik perang, politik, ilmu
kanuragan, memperkenalkan tradisi aksara-satra lisan dan tulisan-, dan berbagai dimensi lain
pengetahuan-pengetahuan tentang masyarakat serta kehidupan secara menyeluruh.
Tradisi serta konstruksi pendidikan
pesantren yang telah diletakkan fondasinya oleh para wali, menyebar dan terus
berlangsung keseluruh penjuru nusantara. Mulai dari pesantren-pesantren di
Jawa, Meunasah serta Dayah di Aceh, surau di Sumatera Barat, Sulawesi,
Palembang, hingga Indonesia bagian timur. Apapun bentuk serta penyebutannya,
model serta corak pendidikan yang berlangsung dilakukan oleh para wali dan
ulama, merupakan tradisi dalam pendidikan pesantren, yang sekarang dinamakan
dengan Pendidikan Islam.
Masa kolonial Belanda yang
berlangsung selama berabad-abad, telah merubah pengetahuan masyarakat Indonesia
tentang pesantren. Sumber serta sarana untuk mengetahui tentang pendidikan
pesantren pun dijauhkan dari diri orang-orang Nusantara, kitab-kitab kalsik
ulama Nusantara dijarah serta dipindahkan ke perpustakaan-perpustakaan di Eropa, stigma serta pandangan masyarakat
tentang pesantren dibentuk sedemikian rupa, politik adu domba antar umat Islam
digencarkan, hingga kini, pesantren dianggap sebuah pendidikan yang tradisional
dan orang-orangnya juga tradisional. Ditambah lagi dengan hadirnya berbagai
macam serta rupa pesantren, yang kemudian membuat pesantren-yang oleh beberapa
peneliti- dikotakkan dengan pesantren salafi, tradisional, serta modern. Dalam
hal ini kita selaku orang pesantren patut bertanya dan curiga, kenapa citra
pesantren menjadi sedemikian rupa?
Kini, bangsa Indonesia mengalami
berbagai macam problemtika kebangsaannya, kejujuran menjadi langka-terutama
dalam pemerintahan-, pendidikan semakin menjadi masalah -maraknya tawuran serta
banyaknya pengangguran-, politik, kepemimpinan, ekonomi dan kesejahteraan
rakyat, hukum, dan sederet problem lainnya yang kerap muncul dalam berbagai
media.
Lalu, bagaimana pesantren sebagai
sebuah pendidikan mengantisipasi berbagai macam hal tersebut. Isu-isu yang sekarang
marak dalam dunia kekinian bangsa Indonesia mulanya sudah diantisipsi oleh para
wali serta ulama terdahulu, seperti yang telah dipaparkan di atas, dengan
sarana pesantren serta tradisi yang telah dibangun di dalamnya. Dibawah ini
nanti akan dibahas bagaimana peran pesantren terhadap isu pendidikan yang
berkembang dalam era kontemporer bangsa ini.
·
Pesantren dan isu pendidikan
kontemporer
Seperti yang sudah dipaparkan di
atas bahwa dalam tradisi pesantren yang telah dibangun oleh para pendahulu
mulai dari walisongo dan para ulama hingga abad ke 20 awal, pesantren mempunyai
khazanah serta keilmuan yang khas nusantara. Kemandirian para pendiri, serta
kejernihan pemikiran mereka telah membentuk suatu konsep pendidikan yang
humanis serta holistik.
Pendidikan model pesantren merupakan
sebuah pendidikan yang integral, komprehensip dan menyeluruh. Dalam hal ini,
pesantren tak memisahkankan antara yang teori dan praktek. Ilmu dan pengetahuan
yang diajarkan di pesantren bukanlah sekedar ilmu dan pengetahuan yang hanya
berupa objek yang dipelajari oleh manusia, lebih dari itu pengetahuan pesantren
merupakan sebuah formasi social yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.[6][6]
Sistem pendidikan pesantren
dilakukan dengan cara yang menyeluruh dalam sebuah kehidupan bersama antara
para santri dan kyai. Hingga pembelajaran yang dilakukan tidak semata-mata
hanya bertumpu pada ruangan kelas serta masjid. Namun pendidikan berlangsung
selama 24 jam kehidupan santri di pesantren. Santri bersosialisasi dengan sesama
mereka, melihat kehidupan para guru serta kyai, melihat sebuah tauladan bagi
kehidupan mereka. Hal yang semacam inilah yang kemudian membuat pendidikan
pesantren menjadi lebih bernilai serta dapat membentuk karakter seorang santri.
Dalam bukunya, Syaifuddin Zuhri
menceritakan bagaimana pendidikan pesantren benar benar dilakukan tidak semata
untuk kepentingan pengetahuan semata.
‘…santri-santri baru pada datang
bermunculan, diproses jadi anak-anak terdidik, dipompa otaknya dengan ilmu,
dibentuk karakternya dengan membisaakan diri, lalu memasuki alam marketing
untuk meninggalkan pesantren, memasuki kehidupan masyarakat guna mengabdi
padanya.’[7][7]
Dari pengalaman yang diutarakan oleh
kyai Saifuddin Zuhri tersebut, maka bagaimana sejatinya pendidikan pesantren
bukanlah sebuah hal partikular dan terpisah antara dunia dan akhirat, ia
menjadi satu kesatuan yang utuh bagi sebuah cita ideal pendidikan.
Dalam konteks pendidikan
kontemporer, pesantren pada awal pendiriannya –sebagai model pendidikan khas
Indonesia- adalah corak pendidikan yang melampaui zamannya. Dengan melihat
kondisi pendidikan sekarang, yang masih berupaya mencari identitas
keindonesiannya, seharusnya kita melihat kembali kepada khazanah pondok
pesantren yang sangat kaya akan nilai-nilai pendidikan.
Pendidikan model barat yang diadopsi
oleh pemerintah Indonesia, sarat dengan berbagai macam problemnya, mulai dari
dokotomisasi kelimuan, pendidikan, mengadopsi tentang manjamen berbasis
sekolah, pendidikan karakter, serta nilai-nilai moral dalam setiap pelajaran
yang diajarkan di sekolah-sekolah. Untuk mengurai segala macam problem
tersebut, maka seharusnyalah kita melihat kembali kepada system pendidikan
pesantren yang semenjak awal sudah disebutkan sebagai pendidikan yang tertua di
Indonesia.
a. Pendidikan pesantren dan pembentukan karakter
“… Ustadz Mursyid memberikan
disiplin yang aku rasakan bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Disiplin itu
ditanamkan berangsur-angsur, dalam bentuk kisah dan dongeng, cerita dan
nasihat, terutama dalam bentuk sehari-hari.”[8][8]
Akhir-akhir
ini kementerian pendidikan dan kebudayaan berusaha untuk menerapkan pendidikan
karakter di sekolah-sekolah. Usaha ini kemudian diwujudkan dengan perubahan
kurikulum dari tingkat dasar hingga tingkat menengah atas. Hal ini dilakukan
sebagai respon terhadap berbagai macam dekadensi moral dalam masyarakat seperti
korupsi, kejujuran, tawuran, serta pergaulan bebas. Lalu kita kembali akan
bertanya, bisakah karakter terbentuk dengan hanya disampaikan di
sekolah-sekolah yang hanya punya waktu kurang dari satu hari. Untuk hal ini,
maka pesantren punya model tersendiri dalam pembentukan karakter para santri.
Dalam
tradisi pesantren, para santri mempunyai tempat mondok atau menginap selama
belajar kepada kyai. Maka, pesantren mempunyai sistem asarama bagi santri yang
datang dari daerah yang jauh, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi santri
yang berada dekat dengan lokasi pesantren. Penerapan sistem asrama tidak hanya
sekadar menginapkan para santri dilingkungan sekolahnya saja -seperti sekarang
marak terjadi- lebih dari itu ia merupakan sebuah pemebentukan bagi karakter
seorang santri.
1.
Karakter kemandirian.
Dengan tinggal di asrama atau
pondokan-pondokan sederhana, para santri dituntut untuk hidup mandiri, semua
harus diurus dengan sendirinya, dari keperluan makan hingga mencuci pakaian.
Mengatur waktu dengan proses pembelajaran yang telah tersusun rapi dari tidur
hingga tidur kembali.
2.
Karakter sosial.
Pesantren sebagaimana tradisi yang
berlangsung selama ratusan tahun dilingkungannya mempunyai santri yang
berdatangan dari berbagai macam penjuru Nusantara, dengan latar belakang yang
berbeda, baik itu secara ekonomi, sosial, maupun kesukuan. Seperti halnya
orang-orang Maluku yang berguru nyantri ke Sunan Giri, atau orang Makassar yang
berguru kepada Dato’ Sri Bandang di Minangkabau.[9][9] Hal inilah
yang kemudian membuat pesantren menjadi pertemuan berbagai macam kepribadian
serta kebudayaan, pertemuan yang menjadikan para santri agar belajar secara
sadar tentang sosialisasi, tenggang rasa, menghormati satu dan lainnya, serta
belajar lebih jauh tentang berbagai macam bahasa dan kebudayaan Nusantara.
Pembentukan karakter diatas tidak secara formal masuk ke dalam kurikulum, akan
tetapi langusng dibentuk oleh laku keseharian para santri dalam kehidupan
keseharian mereka.
3.
Karakter disiplin dan tanggung
jawab.
Ketika pesantren banyak
dieksploitasi tentang model penerapan disiplin yang berlebihan, maka pendapat
yang demikian perlu dikaji ulang. Bagaimana kemudian nilai kedisiplinan serta
tanggung jawab di ajarkan di pesantren-pesantren. Karena tinggal bersama dalam
jumlah yang tidak sedikit, maka dalam hal ini pesantren menerpakan
aturan-aturan yang dikelola oleh pihak-pihak yang berwenang dlam pesantren.
Baik itu jadwal belajar, mengaji, olahraga, sholat dan lain sebagainya. Untuk
menjaga aturan tersebut diterpakanlah sangsi bagi setiap santri yang melanggar.
Dalam hal sangsi, santri diajarkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan
mengandung sebuah konsekuensi serta tanggung jawab yang kadang bukan hal yang
sepele.
4. Karakter kesederhanaan.
Kesederhanaan dalam hidup seorang
santri dididik dalam keseharian mereka yang tinggal di asrama. Tidak dibedakan
mana yang anak priyayi maupun anak seorang petani atau buruh. Kesederahanaan
ini jugalah yang dilihat langsung oleh santri terhadap para kyai ataupun para asatidz. Seperti yang digambarkan oleh
Kyai saifuddin Zuhri tentang gurunya.[10][10]
Selain
empat karakter di atas, khazanah pendidikan pesantren masih menyimpan berbagai
kearifan yang dapat membentuk karakter individu seorang santri yang dididik leh
para ulama serta para kyai, salah satunya adalah karakter kebangsaan seperti
yang dicontohkan oleh Hadhrotusyeikh Hasyim Asy’ari dengan mengeluarkan
resolusi jihad melawan kolonial.
B.
Pesantren dan Manajemen berbasis
sekolah
“Satu kenyataan bahwa ustadz mursyid
telah berhasil menjadikan masyarakat merasakan bahwa madrasahnya milik seluruh
masyarakat. Bahwa masyarakat melekat menjadi satu dengan pesantrennya. Dengan
demikian, masyarakat mempunyai keberanian serta kemempuan untuk memikul segala
keperluan madrasah ini, termasuk mendirikan gedungnya yang baru 5 lokal ini…” [11][11]
Pemerintah, dalam hal ini kementrian
pendidikan dan kebudayaan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan
memeberlakukan Undang Undang Sisitem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun
2003. Dalam undang-undang tersebut diatur tentang manajemen sekolah yang
tertuang pada bab 15 pasal 51 ayat 1, 55, dan 56. Tentang pengelolaan sekolah,
peran serta masyarakat, serta transparansi keuangan.[12][12] Manajemen
berbasis sekolah atau School Based
Management merupakan hal baru yang diterapkan oleh pemerintah dalam
sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri), dan itu belum semuanya diterapkan di
seluruh sekolah.
Pesantren
semenjak awal berdirinya merupakan peran serta dari masyarakat, dengan
kemandirian ekonomi mereka, kebutuhan akan pendidikan, serta pengelolaan yang
sejak semula dilakukan secara otonom.[13][13] Pesantren
berangkat dari masyarakat, untuk masyarakat juga untuk kepentingan masyarakat.
Sebuah corak pendidikan yang sama sekali tidak terpisahkan dari realitas
masyarakat sekitar. Para kyai dan santri pun bukan hanya sebagai menara gading
yang hanya bisa memantau dari balik tembok-tembok, namun mereka adalah bagian
dari masyarakat itu sendiri. Inilah yang diebut oleh Gramsci sebagai Intelektual Organic, dan oleh Ali
Syari’ati disebut Rausyan Fikr.
C.
Pesantren dan Islamisasi Pengetahuan
Bagian lain dari isu pendidikan yang
paling banyak menarik perhatian para sarjana intelektual muslim adalah problema
dikotomis dalam pendidikan dan keilmuan. Dua hal ini yang menimpa pendidikan
kita hari ini. Dikotomisasi yang kemudian berdampak pada pola pendidikan yang
positivistic yang mengabaikan dimensi lain dari individu seorang manusia. Hal
ini jugalah kemudian menyebankan kemunduran bagi umat islam dewasa ini.
Al-Faruqi
berpendapat bahwa salah satu penyebab kegagalan yang terjadi dalam ummat tidak
terlepas dari konsep Islam terhadap ilmu dan pengetahuan yang dialami saat ini.[14][14] Dimana lembaga-lembaga Pendidikan Islam telah terhegemoni dalam sistem
pendidikan sekular kebarat-baratan. Menurut Kuntowijoyo, salah satu penyebab
keterbelakangan umat adalah karena tidak ada sangkut pautnya antara teori dan
praktek dalam kehidupan. Sebuah kegagalan dalam hal menjadikan ilmu-ilmu Islam
sebagai solusi bagi kehidupan umat Islam, umat Islam hanya terjebak kepada
ilmu-ilmu yang bersifat normatif. Untuk menjawab keterbelakangan dan kemunduran
tersebut salah satunya adalah dengan revitalisasi keilmuan Islam dan ini tidak
akan terlepas dari pendidikan Islam itu sendiri.[15][15]
Kedua
pendapat dari cendikiawan muslim tersebut, setidaknya merupak sebuah hal yang
pada tahun-tahun akhir ini menjadi sebuah perdebatan tentang kemunduran umat
Islam yang disebabkan jauhnya umat Islam dari ajaran Islam itu sendiri.
Pendidikan serta keilmuan yang cenderung bersifat teoritis, miskin metodologi,
serta hanya sekedar mengutip apa yang dunia barat bicarakan. Kegelisahan ini
kemudian di inisisasi dengan berbagai macam konfernsi, seminar, workshop, untuk
mengembalikan lagi satu cita pendidikan ideal yang tidak kebarat-baratan serta
berifat particular material.
Kolonialisasi
selama berabad-abad telah meninggalkan dampak yang hingga kini masih terasa,
salah satunya adalah kita dijauhkan dari jati diri kita sendiri sebagai bangsa
yang dulu pernah Berjaya. Pengetahuan kita akan sejarah bangsa sendiri merujuk
kepada apa yang dunia barat tulis tentang Nusantara dan Indonesia. Karya-karya
yang ditulis oleh para ulama serta sejarawan cum sastrawan Nusantara yang
tersisa menjadi pajangan di perpustakaan nasional atau menjadi arsip yang tidak
semua orang bisa mengakses. Karya-karya tersebut tidak menjadi acuan utama
dalam berbagai referensi keilmuan pada sekolah-sekolah serta
universitas-universitas.
Karya-karya
yang sarat akan sumber pengetahuan -yang sebagian besar sudah diangkut ke luar
negeri- sebagian besar ditulis oleh para ulama dan santri. Karena
perjalanansejarah nusantara banyak diwarnai oleh walisongo yang memperkenalkan
secara massif tradisi tulis menulis dan pembuatan kitab (buku). Dengan berbagai
macam bahasa, karya-karya ulama klasik diterjemahkan, diadopsi serta
disesuaikan dengan kondisi Nusantara. Dan tentunya, kitab-kitab yang ditulis
tidak hanya semata urusan fiqih serta aqidah semata. Sebagai contoh, ada
koleksi kitab-kitab seorang ulama Banten yang sekarang berada dalam koleksi
perpustakaan Leiden, Belanda. Di sana terdapat 149 kode teks tentang ragam ilmu
pengetahuan di pesantren. Kode yang termaktub adalah kode Lor 5591-5739.
Berbagai macam pengetahuan terhimpun dalam kitab-kitab tersebut tanpa ada
pemisahan antara yang agama dan yang umum, dunia atau akhirat.[16][16]
Seorang
santri dari bontoala makasar pada abad ke 17 yang bernama enci amin, juga seorang juru tulis Sultan Hasanudin,
membuat sebuah syair tentang perang Makassar. Dengan apik menceritakan hikayat
para raja serta kondisi peperangan melawan colonial. Dalam rubaiyat yang ke 14
dia menceritakan tentang Sultan Hasanudin yang menguasi 14 ragam ilmu
pengetahuan.
Tuanku sultan yang amat Ghana
Sempurna arif lagi bijaksana
Mempunyai ‘ilmu empat belas laksana
Keempat
belas ragam pengetahuan tersebut dirinci dalam teks yang tersimpan di
perpustakaan tersebut dengan ilmu-ilmu berikut:
1.
Ilmu ushul
(Tauhid) dan kalam
2.
Ilmu Ushul
Fiqih dan fiqih (hokum,undang-undang, dan yurispudensi)
3.
Ilmu tafsir
dan ilmu hadis
4.
Ilmu
tasawwuf dan etika (Akhlaq)
5.
Ilmu bahasa
dan tata bahasa (Nahwu, Sharaf, Bahasa-bahasa Nusantara, dan leksikografi)
6.
Ilmu
Balaghah dan Ilmu Manthiq
7.
Ilmu
pertanian (perusah Bumi)
8.
Ilmu Thib
(kedokteran) dan pengobatan
9.
Ilmu
astronomi dan ilmu falak
10. Matematika
dan al jabar
11. Ilmu-ilmu
tekhnik
12. Ilmu bumi,
ilmu alam, dan ilmu biologi
13. Ilmu
syajarah (sejarah)
Dari keempat ragam pengetahuan
tersebut, pesantren tidak memisahkan antara keilmuan agama atau non agama yang
sekarang menjadi isu yang terus bergulir dikalangan cendikiawan muslim dunia.
Hal tersebut ditandai dengan hasil seminar para cendikiawan muslim tentang
islamisasi pengetahuan, seperti yang dimotori oleh Ismail Raji Al faruqi dan
Syed Naquib Al Attas, di Indonesia ada Mulyadi kertanegara serta Amin Abdullah
dan kawan-kawan.
Pada tingkatan universitas,
institusi-institusi pendidikan Islam menerapkan beberpa hal kembali kembali
kepada pendidikan serta kelimuan yang non dikotomis. Sebagai contoh perubahan
IAIN menjadi UIN dengan memasukkan fakultas-fakultas sains serta ilmu-ilmu
sosial.[19][19] Dengan
penjelasan diatas, dapat kita melihat bahwa isu yang sekarang marak dibicarakan
serta dikaji oleh para cendikiawan-cendikiawan telah lebih dahulu ada dalam
system pendidikan pesantren.
Kini, pesantren masih tetap eksis
dalam dunia pendidikan Indonesia, bahkan ia mulai menapaki satu era kebangkitan
dengan indikasi banyaknnya santri pesantren masuk keranah yang lebih kompleks,
tidak sekadar agama. Pesantren pun mulai mendapat tempat kembali dalam
masyarakat Indonesia, seiring dengan memudarnya citra buruk pada pesantren.
Walau dalam aspek pendanaan pesantren belum sepenuhnya mendapatkan perhatian.[20][20]
Modernisasi yang melanda abad ini
juga berimbas kepada pesantren. Perkembangan tekhnologi yang semakin maju
membuat pesantren menata secara cermat tentang system pendidikannya, dengan
prinsip yang dipegang oleh para ulama dan santri yakni al muhafazhatu ‘alal qodiimi sholih wal akhdzu Bil jadidi ashlah.
Memepertahankan tradisi lama yang baik serta mengambil tradisi baru yang lebih
baik.[21][21]
System pendidikan pendidikan
pesantren kini mulai banyak di adopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan yang
bercirikan Islam terutama dalam hal penempatan siswa di asrama-asrama dengan
konsep yang berbeda dengan corak tradisi pesantren pada masa pra kemerdekaan.
Hal ini juga menjadi tantangan pesantren pada abad ke 20, bagaimana posisi
pesantren bisa menjadi lembaga pendidikan yang mencerahkan kehidupan bangsa dan
Negara sesuai dengan amanat UUD 45.
Arief Subhan mencatat bahwa
Lembaga-lembaga pendidikan islam modern yang
mengadopsi system pesantren didirikan oleh gerakan-gerakan reformis
islam yang masuk ke Nusantara pada awal abad ke 20.[22][22]
Lembaga-lembaga pendidikan ini mencoba untuk mencari identitas dalam arus deras
modernitas serta gelombang pembaharuan islam yang terjadi di Negara-negara
muslim dunia. Dengan munculnya modernisasi system pesantren ini, corak
pesantren yang semula sarat dengan khazanah jangan sampai hilang begitu saja
atas nama modernisasi.
Sebagai penutup pembahasan ini akan
dikutipkan sebuah ungkapan dari Dr. Soetomo tentang pesantren. Seperti yang
dikutip oleh Ahmad Baso.
“Pesantrenlah jang mendjadi soember
pengetahoean, mendjadi mata air ilmoe, bagi bangsa kita seboelat-boelatnya.”
–Dr. Soetomo1934.[23][23]
D.
Kesimpulan
Pememaparan singkat tentang kekayaan
khazanah pesantren dalam aspek pendidikan di atas menunjukkan bahwa, apa yang
telah dilakukan oleh pesantren pada mula berdirnya serta berkembangnnya hingga
abad ke 19 merupakan sebuah konstruksi pendidikan yang holistik dan universal
dengan konsep ke ilahiyahan. Apa yang hari ini diterapkan oleh pemerintah pada
sekolah-sekolah warisan colonial menimbulkan kegelisahan pada diri bangsa
Indonesia. Pendidikan tidak lagi berada dalam jalur menjadikan manusia menjadi
pribadi yang merdeka dan mandiri. Selain dampak dari kolonialisasi yang membuat
kita terjangkiti amnesia akut terhadap sejarah bangsa sendiri, pendidikan
menjadi alat untuk politik penguasa.
Kekayaan khazanah pesantren masih
banyak yang harus diteliti dan dikaji secara serius, indefendent dan mendalam.
Selain isu tentang pendidikan, pesantren juga mempunyai konstruksi tentang
kebudayaan, politik, ekonomi, lingkungan, HAM, gender, dan lain sebagainya.
dengan harapan pesantren bisa menjadi solusi bagi segala bentuk kesemrawutan
kondisi bangsa Indonesia. Dan itu
bermula dari pendidikan.
E.
Penutup
Demikian makalah ini disusun,
sebagai langkah awal untuk mengembalikan khazanah pendidikan asli Indonesia.
Sejatinya sebagi langkah awal ia adalah pematik untuk kajian tahap berikutnya
yang lebih tersistematis, lengkap dan lebih baik. Kekukarangan dalam makalah
ini adalah menjadi hal yang sangat wajar, maka perbaikan perbaikan akan kajian
ini bisa dilakukan kembali untuk kemudian bisa dipertanggungjawabkan dan bermanfaat
bagi segenap civitas akademika. Wallahu
A’lam Bis Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Zamakhsyary
Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Kyai dan Visinya Terhadap Masa
Depan Bangsa Indonesia, (Jakarta: LP3ES,
2012) edisi rivisi.
Saifuddin
Zuhri, Guruku Orang-orang pesantren, ( Yogyakarta:LKiS,2012)
Undang-undang
Sisdiknas No. 20 tahun 2003
Ismail Roji
Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan,
terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 2003)
Kuntowijoyo,
Muslim Tanpa Masjid; Esai-Esai Agama,
Budaya, Dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental,
(Bandung: Mizan, 2001)
Encik Amin,
Syair perang Mengkasar, C.S. Skinner (ed.), ( Makassar: Inninawa kerjasama
KITLV Jakarta, 2008)
Ahmad Baso,
Pesantren Studies; Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri Dimasa Colonial, Buku Ii Juz Pertama Pesantren, Jaringan Pengetahuan, Dan Karakter
Cosmopolitan-Kebangsaannya, (Jakarta:Pustaka Afied, 2012)
Ahmad Baso,
Pesantren Studies; Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri Dimasa Colonial, Buku Ii Juz kedua
Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-teks
Aswaja Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19, (Jakarta:Pustaka Afied, 2012)
Asrori S.
karni, Etos studi kaum Santri. (Bandung:Mizan,2009).
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Millennium
III. (Jakarta:Kencana,2012)
Arief
subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia abad ke 20;Pergumulan Antara
Modernitas dan Identitas. (Jakarta:Kencana,2012).
salam, trima kasih sudah reposting tulisan saya di blog ini. maaf karena alamat blog saya udah ganti, tolong untuk sumber diganti dengan alamat yang baru; www.biliksenyap.blogspot.com. terima kasih.
BalasHapus