Sabtu, 22 Februari 2014


BERBAGAI PENDEKATAN MEMAHAMI ISLAM*


Ach. Hefni Zain
A. Ilustrasi
Dalam bukunya “Manthiquth Thayr” Fariduddin Attar pernah menggambarkan sekelompok orang yang berupaya menebak sosok seekor gajah dalam kegelapan, karena gelap mereka menggunakan telapak tangan untuk merabanya. Orang pertama menyentuh belalainya kemudian dia berkata bahwa gajah itu laksana pipa air, orang kedua memegang telinganya lalu berpendapat bahwa binatang itu seperti kipas angin, yang ketiga meraba kakinya sehingga baginya gajah itu seperti pilar, dan yang terakhir meraba punggungnya spontanitas dia berkata gajah itu bagaikan singgasana, kemudian salah seorang diantara mereka mengambil lampu yang terang menderang, kini segalanya menjadi jelas bahwa kendati pendapat mereka tidak salah tetapi tidak sepenuhnya benar, cerita senada juga ditulis Sa’di dalam bukunya “Gulistan”.
Kisah diatas sengaja dikutip untuk menggambarkan pelbagai manhaj yang digunakan umat islam dalam memahami agamanya, ada yang tekstual mainded, kontekstual mainded,  ada  yang lebih mistikal dan ada juga yang lebih memilih pendekatan praktikalnya, bagi yang disebut terakhir, fokusnya adalah bagaimana menerjemahkan islam dalam realitas sosial, menurut mereka bila ada islam teoritis mesti ada islam praktis, bila ada islam konseptual, tekstual dan kontekstual mesti ada islam aktual. Dan untuk menjustifikasi manhajnya masing masing tak jarang mereka memperkuatnya dengan menforsir sejumlah ayat alquran  hadits atau menyusun setumpuk alasan dan ulasan.

B. Karakteristik Islam
Berdasarkan simantiknya, Islam adalah ajaran kemanusiaan, penyelamatan, perdamaian, moderat, tunduk patuh dan kepasrahan total kepada Allah Swt, Ia merupakan ideologi universal  yang  aturan aturannya didasarkan pada hakekat universalitas dengan  memperhatikan  basic need (al hajah al asasiyah)  manusia itu sendiri.  Karena itu Allah swt menyebut Islam sebagai agama fitroh dan menyeru kepada umat manusia agar menjaga fitroh itu tetap hidup (Qs. 30 : 30), Dan dengan dasar itu pula ditegaskan bahwa kehadiran  islam dimaksudkan sebagai rahmah bagi sekalian alam    (Qs. 34 : 28,   21 :107 dan   7 : 158).
            Sedangkan karakteristik utama dari ajaran islam menimal ada empat,yakni : Ilahiyah,  Insaniyah,  Syumuliyah    dan wasathiyah. Disebut universal, karena Islam -- baik sebagai sikap tunduk patuh kepada Allah yang maha agung  maupun sikap harmoni  terhadap makro kosmik -- merupakan pola wujud (mode of existence) seluruh alam semesta. Diutusnya para Rasul mulai dari Adam as sampai Muhammad saw yang datang silih berganti dalam sejarah umat manusia dimaksudkan untuk menegaskan  agar manusia jangan sampai salah pilih  sehingga menempuh jalan hidup selain sikap tunduk patuh kepada penciptanya atau hidup yang tidak harmonis dengan makhluk yang lain. Orang orang yang menempuh jalan hidup “selain” seperti dimaksud diatas,  dengan sendirinya nyata nyata melawan grand desigh ilahi, menentang nuraninya dan menentang hukum universal yang menguasai seluruh alam semesta ( Qs. Ali Imran : 83 – 85).
Disebut moderat, karena, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu yang dituntut adalah ketulusan beragama dan tidak dibenarkan pemaksaan agama dalam segala bentuknya,  nyata atau terselubung, besar atau sekecil kecilnya sekalipun.   Oleh karena tidak ada paksaan dalam beragama, maka dalam pemahaman agamapun tidak ada paksaan. Artinya bahwa  Islam menghargai  setiap manhaj, model dan kreatifitas manusia dalam memahami agamanya. semua agama mempunyai dasar teologis untuk menyatakan  bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut, ketika manusia melakukan interpretasi terhadap yang absolut itu, maka akan bersifat relatif sesuai dengan keterbatasan manusia itu sendiri, karenanya  sering dikatakan “Kebenaran agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman akan kitab sucinya, sehingga kebenaran agama dapat beragam dan Tuhan merestui  perbedaan cara keberagamaan umatnya. Agama hanyalah “jalan” sedangkan tujuannya adalah Tuhan yang adi kuasa.
Sampai disini kita melihat bahwa model apapun yang berkembang dari improvisasi manusia dalam memahami agamanya  sesungguhnya  sah sah saja tetapi yang utama bukanlah yang menempuh banyak jalan, melainkan yang memilih jalan efektif untuk sampai pada tujuan, cinta dan taqwa  kepada Allah adalah jalan yang efektif untuk wushul ila Allah.

C. Berbagai model memahami islam
Secara normatif telah mensejarah beberapa pendekatan memahami islam yang terus berkembang hingga saat ini, antara lain :
1.      Al Manhaj al Naqli (metode tekstual),
Yakni metode yang menjadikan teks teks wahyu sebagai pegangan dalam memahami islam, menurutnya Alqur’an dan hadits telah komplit dan sempurna menyediakan pelbagai konsep dan jawaban terhadap segala persoalan keagamaan yang dihadapi manusia sejak masa Rasululloh hingga akhir zaman.
Pendekatan tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan tuntas, mereka kurang suka dengan perubahan karena hawatir menimbulkan keresahan yang mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak mengatakan lamban) dan selalu menempatkan konsep “Almuhafadatu ala al qodim  as soleh  wal ahdu bil jadidil aslah”  pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak.
Karena model pendekatan ini dalam wilayah kerjanya selalu berpegang pada fundamen fundamen pokok islam sebagaimana terdapat dalam alqur’an dan hadits atau kembali kepada  fundamen fundamen keimanan, penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar dasar otoritas yang absah (Syar’iyyah al hukm), maka ia juga disebut  sebagai pendekatan fundamental.
Terdapat beberapa ciri yang melekat erat pada model ini, antara lain : pertama, memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah (literal) dan bulat, mereka menolak hermeneutika dan upaya interprertasi kritis terhadap teks suci, karena akal dianggap tidak mampu memberikan interpreatasi yang tepat terhadap teks, kedua, prinsip utamanya adalah oppositionalism (paham perlawanan) yang mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. Ketiga,Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai  “as it should be” dan bukan “as it is”, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat). Menurutnya islam adalah agama yang universal dan holistik, ia merupakan sistem komprehensip yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), dan berlaku untuk segala waktu dan tempat sehingga tidak perlu sumbang saran sebagaimana kotak saran.
2.      Al Manhaj al Aqli (metode rasional kontekstual),
Yakni metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai  ajaran islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.
Model kontekstualis menurut Harun Nasotion dapat diartikan sebagai  sebuah manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks teks suci mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non literal.
Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi : Penekanan pada semangat religio etik,  bukan  pada  makna literal sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah penafsiran islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan model tersebut, Islam akan  hidup survive dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi mereka  pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan yang terus berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas atau secara keseluruhan) adalah ancaman atas islam itu sendiri, sebab dengan demikian islam akan  mengalami pembusukan.
3.      Al Manhaj al Jadili (metode dialektika),
Yakni metode yang menjadikan debat argumentatif dan uji shoheh sebagai alat  untuk menyingkap berbagai dimensi ajaran islam yang masih tersembunyi sekaligus membersihkan ajaran islam dari unsur unsur luar yang mencemarinya. Model ini menganggap bahwa  setiap bentuk penafsiran atas teks adalah “kegiatan manusiawi” yang terkooptasi oleh konteks tertentu, karena itu ia tidak terbebas dari probabilitas salah selain probabilitas benar, dan setiap bentuk penafsiran merupakan kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah dan berbeda. 
Bagi mereka tafsir atas teks yang dilakukan banyak pihak adalah  bersifat  relatif, terbuka dan plural, sehingga diantara mereka boleh saling menyangkal dan akhirnya kebenaran ditentukan secara induktif melalui adu dan uji pendapat. Bagi pengguna model ini, yang diusahakan adalah terwujudnya ruang ruang dialog yang terbuka, bebas dan jujur, sebab hanya dengan tersedianya ruang yang terbuka  buat dialog, perkembangan pemikiran Islam akan berjalan secara sehat. Maka kebenaran pemahaman islam adalah ditentukan oleh valid tidaknya argumentasi atau hujjah yang mendasarinya. 
4.      Al Manhaj alDzauqi (metode gnosis),
Yakni metode yang biasa digunakan kaum sufi untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah) yang langsung dari Allah melalui riyadhah, daya intuitif dan cinta. Pengetahuan dan pemahaman Islam yang dicari oleh kelompok ini adalah pengetahuan dalam bentuk kesadaran dan kesaksian bathin, bila filosuf mencari ilmu al yaqin (pengetahuan berdasarkan argumentasi dan pembuktian nyata), maka seorang sufi mencari ayn al yaqin (pengetahuan berdasarkan kesaksian nyata).
Bila filosuf dalam memperoleh pengetahuan selalu menggunakan teleskop rasio, akal dan nalarnya agar dapat mempelajari asal usul dan struktur sebuah keberadaan, maka seorang sufi menggunakan qalb, tashfiyah, tahdzib dan takmil an nas guna menggerakkan seluruh wujudnya agar sampai pada substansi, esensi dan hakekat keberadaan. Bila menurut filosuf kesempurnaan fitroh yang menjadi dambaan setiap manusia terletak pada pemahaman dan pengetahuan yang tak terbantahkan karena terdapat dalil dalil pasti,  maka bagi seorang sufi kesempurnaan fitroh itu terletak pada wushul (sampai pada tujuan).
Manhaj dzauq adalah sebuah elemen penting dalam islam, bagi sebagian orang bentuk bentuknya kerapkali dianggap tak lazim dan ide idenya acapkali dianggap sulit dicerna, tetapi bagi kaum sufi sendiri, model ini dipilih sebagai jalan menerobos masuk ke sisi terdalam dari religiusitas islam, sebab  mereka kurang puas dengan bentuk penghayatan agama yang bersifat  formalistik. Cinta merupakan karakter utama yang mencirikan manhaj ini, mereka mendekati Allah dengan cinta, menghadapi hidup dengan cinta dan menyandarkan penghayatan keagamaan mereka juga dengan cinta.
Bagi mereka cinta karena Allah merupakan ikatan iman yang paling kokoh, cinta merupakan jembatan yang dibentangkan Allah kepada manusia, maka tidak ada manhaj yang lebih mempercepat wushul ila Allah kecuali manhaj cinta, dengan cinta seseorang dapat menurunkan rahmat Allah yang tidak dapat diturunkan dengan manhaj lain. Allah tidak dapat dijangkau dengan pandangan mata kepala, sebagaimana firmanNya “la tudrikuhul absaar”,  tetapi sangat mungkin dijangkau dengan mata hati dan cinta, sebagaimana ditegaskan para sufi “ kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan cintaku, maka akupun berkata tidak disangsikan lagi yang Engkau itu adalah Engkau Tuhan.
Sebuah syair melukiskan “Allah menyeru kepada hambanya, kenalilah diriKu dengan cintamu, maka Akupun akan mengenali dirimu dengan cintaKu, bila engkau telah mengenaliKu dengan cintamu dan Aku telah mengenalimu dengan cintaKu, maka diriKu ada dalam dirimu dan dirimu ada dalam diriKu, dirimu dan diriKu satu dalam cinta”.
Suatu saat Rabiah ditanya orang, apakah engkau mencintai Allah swt yang maha agung ?, ya, aku sangat mencintainya jawab Robi’ah, orang itu bertanya lagi, apakah engkau menganggap syetan sebagai musuhmu? Rabi’ah menggeleng “tidak”. Si penanya  heran, kenapa begitu? Rabi’ah dengan seirus menjawab, rasa cintaku kepada Allah telah begitu menguasaiku sehingga tidak menyisakan tempat dihatiku dan tidak ada lagi kesempatan dihatiku untuk mencintai atau membenci siapapun.
Diantara tanda tanda pengikut manhaj cinta adalah  hatinya selalu bersih dan dipenuhi keyaqinan yang mantap, lisannya selalu diserta pujian, matanya selalu disertai rasa malu dan tangis, kehendaknya selalu diisi dengan meninggalkan kehendaknya, ia mendahulukan apa yang disenangi Allah diatas segalanya, dirinya selalu ridlo atas semua keputuasan Allah,  ia merasa nikmat dalam taat dan ibadah kepada Allah, ia yang merasa kaya dalam kemiskinan, yang menjadi tuan dalam penghambaan, yang merasa kenyang dalam kelaparan, yang merasa hidup dalam kematian, dan yang merasa manis dalam kepahitan.
Bila seseorang telah tenggelam dalam lautan cinta ilahi maka tidak ada sesuatupun yang dapat mempengaruhi keperibadiannya, mereka selalu merindukan ibadah dan menghanyutkan diri didalamnya serta tidak pernah khawatir terhadap apapun yang menimpanya, ia kokoh sekokoh karang ditengah ganasnya gelombang, ia lentur selentur ilalang yang tidak patah oleh beban dadakan seberat apapun.
Perjalanan cinta kepada Allah mesti dimulai dengan mencintai seseorang yang paling dicintai Allah yakni Rasululloh saw, perjalanan cinta kepada Rasululloh saw juga mesti dimulai dengan mencintai seseorang yang paling dicintai Rasululloh saw,  yakni para ahli baitnya yang suci, para sahabat nya yang setia dan para ulama’ serta pengikutnya yang terus konsisten memegang prinsip yang diajarkan dan dicontohkannya, maka beruntunglah orang orang yang mencintai mereka, bila anjing saja disebut beruntung karena  mencintai ashabul kahfi, mana mungkin seseorang tidak beruntung bila mencintai mereka yang dicintai  Nabi saw ?
Dalam hadist qudsi disebutkan ”Sesungguhnya ada hamba hambaku yang mencintaiku dan aku mencintai mereka, mereka merindukanku dan aku merindukan mereka, mereka memperhatikanku dan aku memperhatikan mereka, jika si fulan mengikuti mereka akupun akan mencintai si fulan, jika si fulan memusuhi mereka akupun akan memusuhi si fulan.

Studi Pemikiran Modern dalam Islam : Islam Kontekstual


Studi Pemikiran Modern dalam Islam : Islam Kontekstual
by arasty
Tlisan ini merupakan Resume dari Matakuliah Studi Pemikiran Modern dalam Islam pada bagian Bab Islam Kontekstual. Sayang kalo cuma aku simpan di harddisk. Mending ni aku share.. Description: :)
Islam kontekstual berasal dari dua kata yaitu Islam dan Kontekstual. Kontekstual berasal dari bahasa Inggris, context yang berarti istilah yang berhubungan dengan kata-kata, konteks, suasana, dna keadaan. lalu menjadi contextual yang berhubungan dengan konteks, atau dengan pengertian lain yakni keadaan atau situasi dimana suatu kalimat atau perkataan itu dikatakan. dengan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa Islam kontekstual adalah Islam yang dipahami sesuai dengan situasi dan kondisi dimana Islam itu dikembangkan.
Adanya Islam kontekstual didasarkan pada latar belakang sejarah ketika  Islam diturunkan, sebagaimana diturunkannya al-Qur’an. Al-qur’an yang diturunkan selama tiga belas tahun di Makkah (Surat Makkiyyah) misalnya, berbeda dengan al-Qur’an yang diturunkan selama sepuluh tahun di Madinah (Surat Madaniyah). terjadinya perbedaan corak dan isi tersebut disebabkan antara lain karena perbedaan sasaran, tantangan, dan masalah yang dihadapi di dua daerah tersebut.
Dengan mengambil pelajaran terhadap perbedaan respon yang diberikan oleh al-Qur’an tersebut di atas, maka para peneliti tentang Islam memandang bahwa untuk dapat memahami Islam secara benar harus melihat konteks situasi dan kondisi dimana Islam tersebut dikembangkan. Hal ini dianggap perlu dipertimbangkan agar Islam tidak asing dengan berbagai masalah yang dihadapi. Inilah antara lain yang melatarbelakangi timbulnya Islam Kontekstual.
Bentuk Paham Islam Kontekstual yaitu dengan memahami konteks sosial dalam memahami ajaran Islam atau dalam mengajarkan ajaran Islam. Memahami konteks sosial dalam memahami ajaran Islam  dapat menyebabkan akan terhindar dari pemahaman yang sesat tentang Islam.  Sedangkan memahami koteks sosial dalam mengajarkan ajaran Islam akan menyebabkan dipilihnya metode dan pendekatan yang tepat dalam menyampaikannya.
Pendekatan Islam Kontekstual dlam memahami Islam memiliki berbagai keuntungan. Pertama, dapat menghindari dari pemahaman Isalam yangsesat atau sekehendak ornag yang memahaminya. Kedua, membawa orang untuk mengikuti kehendak agama, bukan sebaliknya. ketiga, memungkinkan ajaran Islam berlaku sepanjang zaman. Keempat, memungkinkan ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan sosial. kelima, memungkinkan Islam memberikan respons yang tepat terhadap berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat.

http://arfiasta.wordpress.com/2010/10/28/studi-pemikiran-modern-dalam-islam-islam-kontekstual/

PENDEKATAN PEMIKIRAN KEAGAMAAN DALAM ISLAM TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL


PENDEKATAN PEMIKIRAN KEAGAMAAN DALAM ISLAM TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

Pendahuluan
Kajian holistik dan komprehensif tentang Islam --termasuk di dalamnya dimensi historisitas dan normativitas-- merupakan bidang yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuwan, baik Barat maupun Muslim. Kajian holistik dimaksud menunjuk adanya kombinasi ideal antara perspektif tekstual dan kontekstual. Jika pendekatan tekstual penting untuk mengkaji Islam normatif, pendekatan kontekstual urgen dalam rangka menafsirkan Islam normatif tersebut ke dalam wacana kesejarahannya (konteks ruang dan waktu).
Barat, yang selama ini dikenal dengan keunggulan metodologis dan kekritisannya, sejauh ini masih mengandalkan perspektif kontekstual dalam melihat fenomena Islam dengan segala atributnya. Perspektif tadi tidak jarang mengakibatkan terjadinya proses distorsi dan reduksi di kalangan mereka terhadap makna substantif Islam itu sendiri sehingga salah dalam mengambil kesimpulan tentang Islam. Generasi awal orientalis Barat yang sangat mengedepankan perspektif tersebut di antaranya Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell. Sementara itu, generasi mutakhir tampaknya sudah menyadari kelemahan mendasar tersebut dan berusaha menutupinya dengan tidak saja menampilkan wajah Islam secara lebih bersahabat dan humanis, melainkan juga terlibat langsung di dalam dinamika Islam sebagai pihak insider. Kalangan orientalis yang termasuk kategori ini adalah Wilfred Cantwell Smith, Frederick M. Denny, Richard C. Martin, dan masih banyak yang lainnya.
Timur, lebih spesifik lagi Muslim, sebagian besar masih melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif-doktrinal sehingga tidak jarang melahirkan sikap apologetik (intellectual obstinacy) secara berlebihan. Sikap tersebut, pada taraf tertentu, sampai pada klaim kebenaran (truth claim) yang tidak beralasan. Kaum Muslim yang masih terjebak dalam kubangan perspektif sepihak (one-sided) ini pada umumnya menjustifikasi penafsirannya tentang Islam sebagai yang paling benar sembari menuding kelompok lain --lebih-lebih kalangan "kafir" orientalis--sesat. Sikap seperti ini bukan saja mengerdilkan makna Islam secara substansial, tetapi juga menampik realitas ideologis-historis bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan kosmopolitan yeng tidak lepas dari dialektika kesejarahan.
Polarisasi dikotomis di atas jelas akan menimbulkan pemahaman parsial terhadap makna substantif Islam dan, pada gilirannya, melahirkan proses reduksi dan distorsi makna. Satu-satunya cara untuk mengatasi problem epistemologis ini adalah dengan menggabungkan kedua metode atau perspektif di atas dalam satu wacana yang komprehensif dan holistik. Tulisan ini berusaha mengupas urgensi penggabungan kedua metode kajian Islam tersebut dengan memunculkan istilah "tekstual-kontekstual." Pendekatan tekstual-kontekstual itu sendiri pada mulanya dipopulerkan oleh Frederick M. Denny melalui karya-karya kontemporernya tentang Islam, terutama kajian ritual. Signifikansi pendekatan tekstual-kontekstual ini, menurut Denny, terletak pada upaya yang seimbang antara pemahaman normatif-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan di sisi lain. Upaya pertama mengacu kepada teks-teks suci Islam, baik berupa wahyu --al-Qur’a>n dan H{adi>th-- maupun buku-buku klasik karangan para `ulama>’ terdahulu dan kontemporer, sedangkan upaya kedua bergerak pada konteks sosial, politik, dan kultural. Hanya melalui penggabungan tersebut, pemahaman komprehensif tentang Islam bisa dicapai.

Islam Sebagai Sebuah Sistem
Jika dikehendaki gambaran yang utuh, Islam harus dilihat dari kacamata yang utuh pula. Sebagai sebuah sistem, Islam tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal; masing-masing tidak bisa dipisah-pisah. Elemen tersebut adalah doktrin atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen inti (core element) di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan kontekstual sebagai elemen permukaan (peripheral element) di sisi lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh substantif dari sebuah agama (Islam) yang tanpa kehadirannya agama tidak akan mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata bila tampak ke wilayah permukaan. Kombinasi ini barangkali bisa dianalogkan dengan sebuah jasad hidup yang disemangati oleh eksistensi ruh yang bersemayam di dalamnya yang kondisinya bisa saja berubah sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.
Sekalipun analogi ruh-jasad di atas mungkin saja tidak terlalu tepat sebagai alat untuk mengilustrasikan hubungan antara doktrin dan peradaban Islam, watak dasar agama –Islam-- sebagai sebuah sistem cukup terwakili oleh paradigma dialektis ini. Dari segi doktrinal, Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-ubah, namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tangan umatnya, wajah Islam bisa beragam sejalan dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaan persepsi. Perbedaan interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, memenuhi konteks ruang dan waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki dialektika sejarah berbeda-beda, namun secara prinsipil memiliki semangat teologis yang sama.
Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi belief (creed) yang berupa tawh}i>d dan diimplementasikan ke dalam dimensi praxis yang meliputi ritual, budaya, dan tradisi keislaman lainnya. Sebagai pangkal dari seluruh rangkaian ibadah dalam Islam, tawh}i>d bukan saja menyangkut persoalan proposisi-proposisi teologis semata, melainkan juga sebuah implikasi logis yang bersifat kreatif, dinamis, dan menyejarah: pengakuan satu Tuhan yang direfleksikan dengan sikap pasrah dan pelayanan konkret (`iba>dah).
Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, "Islam normatif" atau, istilah Richard C. Martin, "Islam formal" yang ketentuannya tertuang secara eksplisit di dalam teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praxis menyangkut dimensi kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan keragaman faktor eksternal yang melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari akumulasi pengetahuan Muslim secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara "Islam formal" dan budaya lokal Muslim tertentu.
Itulah sebabnya Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainnya. Apabila Islam hanya dilihat dari satu sisi saja, akibat yang ditimbulkan mudah ditebak: reduksi dan distorsi makna. Adanya pihak "luar" yang selama ini menciptakan stereotipe negatif tentang Islam, hemat penulis, salah satunya disebabkan oleh faktor ini. Di dalam kelompok intern umat Islam sendiri, yang dalam sejarahnya selalu diwarnai oleh perang klaim kebenaran berkepanjangan, juga akrab dengan faktor one-sidedness ini. Sebagai akibatnya, gambaran Islam yang utuh –tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim-- rasanya akan sulit dicapai. Untuk mengatasi problem ini, sekali lagi, tidak lain adalah dengan kerangka pikir terpadu melalui pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.

Pendekatan Tekstual
Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine sources) dalam Islam, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur’a>n dan H{adi>th, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama>’ besar Muslim terdahulu dan kontemporer.
Selain tawh}i>d sebagai pilar paling penting dalam Islam, `iba>dah mah}d}ah (dimensi vertikal) merupakan bagian dari Islam normatif yang ketentuan hukumnya sudah diatur secara jelas (qat}’i>) dalam kedua teks suci Islam. `Iba>dah mah}d}ah tidak memerlukan ijtihad untuk mencari penafsiran lebih jauh; ia hanya perlu diamalkan oleh kaum Muslim. Dalam bahasa ritualnya, ia sering disebut sebagai arka>n al-Isla>m yang meliputi shaha>dah, s}ala>t, puasa, zakat dan ibadah haji bagi yang mampu. Bukan saja rukun Islam yang membentuk Islam normatif, kesalehan teologis lainnya yang tertuang dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th juga sering menjadi rujukan utama ibadah dalam Islam dan, dengan begitu, bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan pertama ini.
Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qat}’i> sebagaimana tersebut di atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’a>n maupun H{adi>th, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan atau kenduren).
Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk sekadar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan apakah mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Diskursus semacam ini tentu saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam tradisi intelektual. Sebaliknya, yang menjadi concern akademis di sini adalah bagaimana menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran sepihak.
Untuk menjawab persoalan di atas, barangkali ada baiknya menengok ancangan tentatif yang disusun oleh Mark R. Woodward dalam menjawab disparitas distingtif antara Islam normatif/formal dan Islam populer/lokal. Ancangan tersebut tersusun secara kronologis atas empat unsur dasar. Pertama, Islam universalis. Alasan mengapa Islam universalis menempati urutan tertinggi adalah karena di dalamnya tercakup ajaran-ajaran Islam yang secara qat}’i> sudah digariskan di dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th. Masuk ke dalam kategori ini adalah arka>n al-Isla>m, tawh}i>d dan kredo religius lainnya yang bersifat taken for granted. Terhadap kategori ini, umat Islam pada umumnya sepakat meyakininya sebagai ultimate truth yang tidak memerlukan ta’wi>l lebih jauh.
Kedua, Islam esensialis. Penggunaan terma "esensialis" ini pada mulanya dipinjam oleh Woodward dari Richard C. Martin untuk menunjuk modus praktik-praktik ritual yang sekalipun tidak dimandatkan secara eksplisit oleh teks-teks universalis (al-Qur’a>n dan H{adi>th), namun secara luas diamalkan oleh umat Islam atas dasar justifikasi substansial dari semangat kedua sumber suci tersebut. Masuk ke dalam kategori ini adalah upacara tahunan mawli>d al-nabi>, bacaan-bacaan dhikr yang diamalkan oleh h}alaqah-h}alaqah s}u>fi>, perayaan kaum Shi>‘ah di setiap bulan Muh}arram untuk memperingati kematian H{usayn, juga modus-modus ritual yang secara mentradisi dipraktikkan untuk memuliakan para wali>, ziarah ke tempat-tempat suci, serta tradisi kenduren/slametan/tahlilan yang tersebar luas di negara-negara Muslim seperti India, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, dan Indonesia. Islam esensial, dengan begitu, merupakan kategori Islam yang sangat inklusif.
Ketiga, Received Islam. Secara harfiah, received Islam bisa diterjemahkan sebagai Islam --sebagaimana-- yang diterima atau dipahami. Secara jujur, Woodward tidak menghadirkan deskripsi yang memuaskan tentang kategori yang ketiga ini. Ia hanya menyebut bahwa received Islam menjadi jembatan antara kategori universalis dan esensialis dengan Islam lokal. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa contoh konkret dari kategori ini adalah dominasi ajaran s}u>fi> yang mempengaruhi perkembangan Islam lokal di Jawa. Islam jenis ini bersifat dinamis; ia berubah seiring dengan perubahan pengetahuan atau penafsiran terhadap teks-teks esensialis.
Keempat, Islam lokal. Islam lokal bisa didefinisikan sebagai seperangkat teks tertulis, tradisi oral atau ritual yang kehadirannya tidak dikenal di daerah asal turunnya Islam (Saudi Arabia). Menurut Woodward, naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen merupakan contoh paling jelas adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi logis sebagai hasil interaksi antara kebudayaan lokal dan received Islam. Signifikansi H{adi>th di Indonesia dan kenyataan bahwa sebagian elemen-elemen penting budaya Jawa berasal dari sumber-sumber historis pra-Islam merupakan bukti kuat adanya interaksi kebudayaan lokal dengan Islam universalis dan esensialis.
Dari ancangan yang diberikan oleh Woodward di atas ada kesan bahwa pendekatan tekstual terkesan tidak memiliki batasan yang jelas untuk membedakan mana yang disebut "Islami" dan mana yang tidak. Justru dari sini muncul kesan seolah-olah pendekatan ini bisa diaplikasikan di wilayah mana saja sepanjang masih dalam lingkup ritual Islam. Ketidakjelasan batasan mengenai Islam ini bisa jadi merupakan kelemahan pendekatan tekstual, dan bisa pula sebaliknya, keistimewaan. Disebut kelemahan karena pendekatan tadi tidak menawarkan jawaban yang pasti terhadap diskursus keislaman tertentu. Namun demikian, dalam tataran akademis, batasan definitif untuk menarik garis demarkasi antara mana yang Islami dan mana yang tidak bukan merupakan persoalan mendasar. Justru yang menjadi persoalan penting dalam konteks ini adalah bagaimana sebuah fenomena ritual dalam Islam –dari ritual formal sampai ritual lokal/populer-- bisa dipahami secara proporsional sehingga tidak memunculkan klaim teologis sepihak. 

Pendekatan Kontekstual
Kehadiran pendekatan kontekstual penting untuk memahami Islam dalam kerangka konteksnya, baik ruang dan waktu. Pendekatan yang pertama kali dipopulerkan oleh D. Eickelman ini merupakan perangkat komplementer yang bisa menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam –ritual-- Islam untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas komprehensif yang melingkupi elemen normatif dan elemen praxis. Terutama dalam rangka memahami fenomena ritual lokal/populer dalam Islam, teori-teori sosio-kultural berikut menjadi bagian penting dari pendekatan kontekstual.
Pertama, Teori Fungsional. Teori yang dikembangkan oleh B. Malinowski ini mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, "Powerful Other." Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk "memuaskan" Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.
Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai "alat memperkuat solidaritas sosial" melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun –setidaknya-- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi.
Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena umat Islam membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.
Kedua, Rite de Passage. Secara harfiah, teori yang dikembangkan oleh Arnold van Gennep ini bisa diartikan sebagai "ritual penahapan" yang menandai perpindahan status seseorang dari yang satu ke yang lain, baik perubahan status sosial maupun transformasi spiritual. Ritual jenis ini melibatkan perubahan, baik status eksternal maupun internal, rekonfirmasi sebuah kondisi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum sempat dialami atau diartikulasikan dalam hidup seseorang.
Sejalan dengan perspektif rite de passage di atas, slametan bisa juga dipahami sebagai ritual yang menandai perpindahan status seseorang sepanjang hidupnya, mulai dari kelahiran, akikah, khitan, perkawinan, dan kematian. Setiap penahapan dalam hidup manusia menandai perubahan status sosial dari yang satu ke yang lain. Sebagai misal, ritual perkawinan menandai perubahan status sosial dari masa lajang menuju masa keluarga; ritual kematian menandai perpindahan status manusia dari alam dunia ke alam barzakh, dan seterusnya.
Ketiga, Teori Struktrual. Di mata kalangan strukturalis, terutama Claude Lévi-Strauss sebagai salah seorang pelopornya, ritual (agama) diasumsikan memiliki hubungan struktural dengan mitos-mitos lokal tertentu. Terlepas dari persoalan orisinalitas antara mitos dengan ritual, pendekatan ini melihat keduanya memiliki hubungan resiprokal; mitos eksis pada dataran konsepsi dan ritual pada dataran aksi –atau "homology," dalam bahasa Lévi-Strauss. Dengan demikian, strukturalisme melihat ritual sebagai bagian dari sebuah logical order dalam bangunan sistem kultural; ia mengikuti struktur formal dari sebuah sistem tertutup. Dalam konteks ini, teori model of ("model dari") dan model for ("model bagi") Geertz bisa diterapkan untuk lebih memperjelas perspektif teori ini. Jika Lévi-Strauss melihat mitos dan ritual bisa saling berganti posisi satu sama lain, Geertz melihat mitos sebagai wujud dari teori model of sebuah ritual dan ritual sendiri menjadi model for-nya mitos.
Tradisi slametan, lagi-lagi, menjadi sebuah fenomena menarik untuk memperkuat aplikasi teori ini yang mengasumsikan adanya hubungan struktural antara slametan itu sendiri dengan mitos-mitos lokal tertentu sehingga ia menjadi bagian integral dari kebudayaan Islam Jawa. Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Woodward, tradisi ritual slametan terkait erat dengan mitos Majapahit-Demak sehubungan dengan memburuknya kondisi agrikultur di awal masa kerajaan Demak. Menurut hasil penelitian Woodward di wilayah Yogyakarta pada awal dekade 1980-an, tradisi slametan pernah dipraktikkan oleh masyarakat Jawa jauh sebelum Islam hadir di tanah Jawa, terutama pada masa Majapahit. Tradisi slametan itu muncul sebagai sarana ampuh untuk "meminta" kepada "sang Pencipta" agar hasil-hasil pertaniannya bisa melimpah dan tidak menemui kendala. Ketika Jawa dikuasai oleh kerajaan Demak, praktik slametan ini tidak dilanjutkan. Namun demikian, pemutusan tradisi slametan ini ternyata tidak memenuhi harapan masyarakat, bahkan fenomena kelaparan tidak mampu untuk dielakkan meski tradisi itu diputus. Atas perintah sultan, Sunan Kalijaga kemudian menghidupkan kembali tradisi slametan dengan mengganti formatnya dengan komponen-komponen yang lebih Islami serta dijadikan sarana efektif untuk mengajarkan Islam kepada khalayak ramai. Dari situlah kemudian slametan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan –Islam—Jawa dan menjadi media akulturasi antara Islam dengan budaya setempat.

Penutup
Dalam konteks diskursus keislaman, pendekatan tekstual merupakan pilihan prioritas yang kehadirannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia merupakan conditio sine quanon dalam rangka melihat wajah Islam dari sumber-sumber teks suci, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Kehadiran teks-teks yang ditulis oleh intelektual atau `ulama>’ kenamaan di bidang tertentu dalam Islam juga tak kalah pentingnya, terutama ketika ditemukan justifikasi dari kedua teks suci tersebut terhadap sebuah ritual.
Namun demikian, kehadiran kajian tekstual akan lebih berbobot bila klaim-klaimnya bisa ditopang oleh kajian-kajian kontekstual, bukan untuk mencari klaim sepihak, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam konteks akademis an-sich. Memang harus diakui, pendekatan yang disebut terakhir bukan merupakan produk murni umat Islam, tetapi bisa dipakai untuk melihat nuansa "lain" dari wajah Islam dengan tanpa mereduksi makna keislaman seorang Muslim. Pendekatan kontekstual diperlukan sekadar untuk memperkuat asumsi bahwa di dunia ini tidak hanya berlaku satu versi saja, melainkan banyak versi yang menggambarkan tentang Islam. Karena itu, sikap yang terjebak ke dalam kubangan truth claim apologetik bisa dihindarkan. 2

(http://www.reocities.com/HotSprings/6774/p-6.html)