ISU DAN PROBLEM PENDIDIKAN DI MADRASAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah pendidikan Islam
dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan
seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah
siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan
kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam. Apakah problematika Pendidikan
Islam di Indonesia dewasa ini? Salah satu cara adalah melihat pendidikan Islam
di Indonesia sebagai bagian dari seluruh jenis pendidikan yang ada dan kemudian
mengkaji persoalan terdapat dalam dunia pendidikan Islam.[1] Masalah yang
dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini ialah bagaimana mempersiapkan generasi
muda, agar memiliki kemampuan di kemudian hari untuk menjawab segenap tantangan
yang mereka hadapi secara memadai.
Lembaga pendidikan Islam (pesantren,
madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam) mempunyai misi penting yaitu
mempersiapkan generasi muda ummat Islam untuk ikut berperan bagi pembangunan
ummat dan bangsa di masa depan. Pentingnya misi lembaga pendidikan Islam
ini disebabkan karena hampir seratus persen siswa atau mahasiswa yang belajar
di lembaga pendidikan Islam adalah anak-anak dari keluarga santriiii. Hal
ini berbeda dengan keadaan di sekolah atau perguruan tinggi umum yang siswa
atau mahasiswanya merupakan campuran antara anak keluarga santri dan keluarga
abangan. Apabila kualitas pendidikan yang mereka peroleh di madrasah bagus,
maka, insya Allah, mereka akan menjadi orang yang berkualitas dan akan
memainkan peran penting sebagai pemimpin ummat, masyarakat, dan bangsa.
Sebaliknya, apabila kualitas pendidikan yang mereka peroleh di madrasah tidak
bagus, maka kemungkinan mereka untuk berperan dalam percaturan bangsa akan
menjadi amat kecil. Salah-salah, mereka akan menjadi bagian problem masyarakat
dan bukan bagian penyelesaian problem masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah
tersebut diatas, kami membuat suatu rumusan masalah agar pemahaman dari makalah
ini dapat lebih spesifik, lebih dimengerti dan terarah pembahasannya.
Adapun romusan masalah tersebut
ialah:
1. Bagaimanakah
isu pendidikan islam pada madrasah?
2. Bagaimanakah
problem pendidikan islam pada madrasah?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan penulisan, penyusunan
dan pembahasan makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui isu pendidikan islam pada madrasah?
2. Untuk
mengetahui problem pendidikan islam pada madrasah?
BAB
II
ISU DAN
PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM PADA MADRASAH
Madrasah adalah perkembangan modern
dari pendidikan pesantren. Menurut sejarah, jauh sebelum Belanda menjajah
Indonesia, lembaga pendidikan Islam yang ada adalah pesantren yang memusatkan
kegiatannya untuk mendidik siswanya mendalami ilmu agama. Ketika
pemerintah penjajah Belanda membutuhkan tenaga terampil untuk membantu
administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia, maka diperkenalkanlah jenis
pendidikan yang beroritentasi pekerjaan. Proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia pada tahun 1945 ternyata melahirkan kebutuhan akan banyak
tenaga terdidik dan terampil untuk menangani administrasi pemerintahan dan juga
untuk membangun negara dan bangsa. Untuk itu, pemerintah lalu memperluas
pendidikan model barat yang dikenal dengan sekolah umum itu. Untuk mengimbangi
kemajuan zaman itu, di kalangan ummat Islam santri timbul keinginan untuk
mempermodern lembaga pendidikan mereka dengan mendirikan madrasah.
Perbedaan utama madrasah
dengan pesantren terletak pada sistem pendidikannya. Madrasah menganut
sistem pendidikan formal (dengan kurikulum nasional, pemberian pelajaran dan
ujian yang terjadwal, bangku dan papan tulis seperti umumnya sekolah model
Barat) sementara pesantren menganut sistem non-formal (dengan kurikulum yang
sangat bersifat lokal, pemberian pelajaran yang tidak seragam, sering tanpa
ujian untuk mengukur keberhasilan belajar siswa, dsb.). Ciri lain yang
umumnya membedakan keduanya adalah adanya mata pelajaran umum di
madrasah. Penambahan mata pelajaran umum pada kurikulum madrasah ini
tidak berjalan seketika, melainkan terjadi secara berangsur-angsur. Pada
awalnya, kurikulum madrasah masih 100% berisi pelajaran agama, tanpa ada
pelajaran umum (Jadi, seperti pesantren, hanya di madrasah ada bangku, papan
tulis, ulangan, ujian, dsb.) Lulusan madrasah pada masa itu tidak dapat
melanjutkan pelajarannya ke sekolah umum yang lebih tinggi, bahkan juga tidak
dapat pindah ke sekolah umum yang sejenjang, karena memang kurikulumnya
berbeda. Orang tua yang ingin mendidik anaknya dalam ilmu agama dan ilmu
umum terpaksa harus menyekolahkan anaknya di dua tempat, di sekolah umum dan di
madrasah. Pada tahun 1975, ada surat keputusan bersama tiga menteri
(Menag, Mendikbud, dan Mendagri) yang menetapkan bahwa lulusan madrasah
dianggap setara dengan lulusan sekolah umum dan lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah umum yang lebih tinggi dan siswa madrasah boleh
berpindah ke sekolah umum yang sama jenjangnya. Demikian pula
sebaliknya. Kompensasi dari kesetaraan itu adalah bahwa 70% dari
kurikulum madrasah harus berisi mata pelajaran umum. Kini, berdasarkan
kurikulum madrasah 1994, kurikulum madrasah harus memuat 100% kurikulum
sekolah umum. Dalam undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, madrasah dikategorikan sebagai Sekolah Umum yang Berciri
Islam (SUCI).
Madrasah didalam perkembangannya
memiliki struktur dan penjenjangan baik secara vertical seperti Raudlatul
Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawuyah, Aliyah maupun horizontal dalam bentuk
sekolah-sekolah kejuruan seperti PGA, PHIN, Muallimin, Kulliatul Muballighin
dan lain-lain.[2]
Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai “Peningkatan Mutu Pendidikan pada
Madrasah.” Dalam Surat Keputusan Bersama itu, masing-masing Kementrian Agama,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementrian dalam Negeri memikul
tanggung jawan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah.[3]
A. Isu Pendidikan Islam Pada Madrasah
Minat ummat Islam terhadap madrasah
sebenarnya cukup tinggi. Di beberapa daerah, jumlah siswa madrasah
Ibtidaiyah dan Tsanawiyah bahkan lebih banyak daripada jumlah siswa Sekolah
Dasar atau SLTP. Di mata mereka, madrasah memiliki beberapa kelebihan
jika dibandingkan dengan sekolah umum. Madrasah, terutama yang ada di
dalam pondok pesantren, memberikan bekal mental keagamaan (keimanan dan
ketaqwaan) yang kuat kepada siswanya. Dengan bekal mental yang kuat ini,
diharapkan, apabila mereka menjadi pemimpin di kemudian hari, mereka akan
menjadi pemimpin yang jujur, amanah, dan adil.
Sayang, kualitas lembaga yang
mengemban misi penting ini, menurut banyak pengamat, amat memprihatinkan.
Kualitas pendidikan di madrasah yang ada di luar pondok, terutama yang
yayasannya kurang kuat, sering berada di bawah standar, baik dilihat dari segi
pendidikan agama maupun dari segi pendidikan umum. Di bidang pendidikan
agama madrasah ini kalah dari madrasah yang ada di dalam pondok dan, di bidang
pendidikan umum ia kalah dari sekolah umum yang ada di sekitarnya. Madrasah
yang ada di dalam pondok masih agak lumayan, walaupun kualitas pendidikan
umumnya mungkin kalah jika dibandingkan dengan standar sekolah umum tetapi di
bidang pendidikan agama kebanyakan dari mereka memiliki kualitas di atas
standar. Tentu saja, kekecualian-kekecualian juga ada. Madrasah
yang kualitas pendidikan umumnya lebih tinggi dari sekolah umum, seperti MIN
Malang I, juga ada, walau sedikit sekali.
Persoalan ini menjadi makin serius
apabila dikaitkan dengan isu besar akhir-akhir ini, yakni globalisasi.
Kalau banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia belum siap untuk memasuki
era globalisasi, maka lulusan madrasah dikhawatirkan lebih tidak siap lagi
menghadapi era globalisasi ini. Kaitan antara globalisasi dan kesiapan
madrasah menghadapinya itulah yang akan menjadi pokok bahasan makalah
ini. Makalah ini mula-mula akan membahas apa itu globalisasi dan apa
ancaman serta peluang yang diberikannya kepada kita, para pengelola pendidikan
Islam ini. Berikutnya akan dibahas apa persyaratan agar seseorang dapat
menghindari ancaman dan memanfaatkan peluang yang ditimbulkan oleh globalisasi
itu. Terakhir, akan dibicarakan apa yang harus dilakukan oleh madrasah
atau lembaga pendidikan Islam agar lulusannya dapat tetap memainkan peran dalam
masyarakat di era globalisasi.[4]
Era Globalisasi di Indonesia
Krisis yang melanda Indonesia saat
ini menyadarkan kita bahwa kita kini bukan lagi sedang menghadapi era
globalisasi, melainkan sudah memasuki era tersebut. Krisis moneter yang
semula melanda Thailand dua tahun lalu kemudian merembet ke negara-negara ASEAN
lainnya dan akhirnya juga melanda Indonesia. Dampak dari krisis yang
semula bersifat ekonomis itu ternyata melebar menjadi krisis politik dan sosial
yang sampai saat ini, sesudah dua tahun, belum kunjung selesai.
Globalisasi adalah suatu proses
proses mendunia akibat kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, terutama di bidang telekomunikasi dan transportasi.
Globalisasi mengakibatkan orang tidak lagi memandang dirinya sebagai hanya
warga suatu negara, melainkan juga sebagai warga masyarakat dunia. Ia
tidak lagi menganggap benar nilai-nilai yang selama ini dianut oleh masyarakat
kampung, kota, propinsi, atau bangsanya, melainkan mulai membandingkannya
dengan nilai-nilai yang dia pelajari dari bangsa lain. Dalam bekerja pun,
ia tidak lagi memandang wilayah negaranya sebagai tempat mencari nafkah,
melainkan ia meluaskan pandangannya ke seluruh kawasan dunia sebagai lahan
tempat ia mencari nafkah. Contoh rakyat Indonesia yang berwawasan global
adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja di luar negeri.
Globalisasi di bidang ekonomi telah
menimbulkan desakan-desakan agar diberlakukan perdagangan bebas antar
bangsa. Beberapa negara telah membentuk persekutuan di bidang ekonomi:
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), AFTA (Asean Free Trade Area), dan APEC untuk
kawasan Asia Pasifik.
Peluang dan Ancaman Globalisasi
Globalisasi ini membawa dampak
positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan ummat kita. Dampak
positif, misalnya, makin mudahnya kita memperoleh informasi dari luar sehingga
dapat membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan
masalah yang kita hadapi. (Misalnya, melalui internet kini kita dapat
mencari informasi dari seluruh dunia tanpa harus mengeluarkan banyak dana seperti
dulu. Demikian pula, dalam hal tenaga kerja, dana, maupun barang).
Di bidang ekonomi, perdagangan bebas antar negara berarti makin terbukanya
pasar dunia bagi produk-produk kita, baik yang berupa barang atau jasa (tenaga
kerja).
Dampak negatifnya adalah masuknya
informasi-informasi yang tidak kita perlukan atau bahkan merusak tatanan nilai
yang selama ini kita anut. Misalnya, budaya perselingkuhan yang dibawa
oleh film-film Italy melalui TV, gambar-gambar atau video porno yang masuk
lewat jaringan internet, majalah, atau CD ROM, masuknya faham-faham politik
yang berbeda dari faham politik yang kita anut, dsb. Di bidang ekonomi,
perdagangan bebas juga berarti terbukanya pasar dalam negeri kita bagi barang
dan jasa dari negara lain. Kita terpaksa harus bersaing dengan produk dan
tenaga kerja asing di negara kita sendiri. Para pendatang asing yang,
karena terpaksa, harus lebih ulet dan keras bekerja biasanya lebih berhasil
daripada para penduduk domestik sehingga kesenjangan sosial tak terhindarkan dan
kecemburuan sosial pun mudah timbul. Kalau kita kalah bersaing, kita akan
menjadi penonton di negeri sendiri. (Contoh yang sudah terjadi adalah
perfilman nasional).
Menghindari globalisasi sebagai
proses alami ataupun menghilangkan sama sekali dampak negatif globalisasi itu
barangkali tidak mungkin. Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak
siap, kita harus menghadapi globalisasi ini dan menerima segala dampaknya,
negatif maupun positif. Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi
sebagai kelompok elit ummat adalah: Bagaimana kita dapat memanfaatkan
semaksimal mungkin dampak positif (peluang) globalisasi itu dan meminimalkan
dampak negatif (ancaman) nya. Kalau pertanyaan itu diarahkan kepada kita
para pengelola lembaga pendidikan Islam ini, maka pertanyaan itu akan menjadi:
Bagaimana lembaga pendidikan kita dapat menyiapkan lulusan yang akan bisa
survive dalam era globalisasi ini, tetap dapat memainkan peranan penting dalam
kehidupan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai muslim Indonesia.
Kunci Keberhasilan di Era Globalisasi
Perjanjian Perdagangan Bebas Antar
Negara akan menimbulkan persaingan antar bangsa dalam memperebutkan pengaruh
dan ekonomi. Hukum persaingan di mana-mana adalah sama, yaitu siapa
yang unggul, dialah yang akan menjadi pemenangnya. Mereka yang tidak
mempunyai keunggulan, akan menjadi pecundang. Dalam bahasa dunia dewasa
ini, keunggulan yang amat menentukan adalah keunggulan di bidang ekonomi dan
iptek. Inilah mata uang (currency) dalam kompetisi internasional dewasa
ini. Persaingan di bidang ekonomi dan iptek ini berarti persaingan di
bidang kualitas sumber daya manusia. Hanya bangsa yang memiliki SDM yang
unggul di bidang ekonomi dan iptek lah yang akan keluar sebagai pemenang dalam
kompetisi internasional ini.
Karena pendidikan adalah “usaha
sadar suatu bangsa untuk membentuk generasi mudanya agar menjadi manusia sesuai
yang dia idam-idamkan”, maka tantangan yang dihadapkan oleh globalisasi kepada
pendidikan nasional adalah: mampukah pendidikan nasional menghasilkan manusia-manusia
Indonesia yang berkualitas sehingga mampu memenangkan persaingan antar bangsa
(atau setidaknya survive) dalam era globalisasi itu?
Melalui repelita-repelita,
pemerintah Indonesia telah berusaha untuk membangun bangsa ini dengan prioritas
utama di bidang ekonomi (kesejahteraan duniawi). Ekonomi Indonesia yang
dulu bertumpu pada pertanian (ekonomi agraris) secara bertahap diubah menjadi
bertumpu pada industri (ekonomi industri). Perubahan ini tentu saja
mengakibatkan perubahan kebutuhan tenaga kerja (kini pekerja pabrik lebih
dibutuhkan daripada petani). Orientasi produk Indonesia pun kini beralih
ke pasar internasional untuk mendapatkan lebih banyak devisa bagi pembangunan
bangsa. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di zaman industrialisasi
ini, dan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, pemerintah berkeinginan untuk mengubah komposisi
mahasiswa di Indonesia dari yang, di tahun 1993/1994, 73% berada pada bidang
studi ilmu sosial, 14% pada bidang studi IPA, dan 13% pada bidang studi Teknik
menjadi 30% di bidang sosial, 25% di bidang IPA, dan 45% di bidang Teknik pada
akhir PJP II.
Peran Madrasah dalam Menghadapi Globalisasi
Di muka telah dikemukakan bahwa
madrasah menempati peran strategis bagi pendidikan generasi muda ummat Islam
karena di sanalah tempat kebanyakan anak para santri mempersiapkan diri untuk
menjalankan peran penting mereka bagi masyarakat di kemudian hari. Dalam
konteks mempersiapkan anak didik menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi
ini pun madrasah (lembaga pendidikan Islam) memiliki peran yang amat
penting. Keberhasilan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi
tantangan masa depan yang lebih kompleks akan menghasilkan lulusan yang akan
menjadi pemimpin ummat, pemimpin masyarakat, dan pemimpin bangsa yang ikut
menentukan arah perkembangan bangsa ini. Sebaliknya, kegagalan madrasah
dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan masa depan akan menghasilkan
lulusan-lulusan yang frustrasi, tersisih, dan menjadi beban masyarakat.
Naudzubillahi min dzalik.
Dibandingkan dengan pendidikan di
sekolah umum, madrasah mempunyai misi yang mulia. Ia bukan saja
memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan
pendidikan agama (melalui pelajaran agama dan penciptaan suasana kegamaan di
madrasah) sehiingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat
hidup bahagia di dunia ini (biasanya diukur secara ekonomis) dan hidup bahagia
di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama)iv. Madrasah yang
hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya
akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja (walaupun ini masih
lebih baik daripada hanya memperoleh kebaikan di dunia tanpa memperoleh
kebahagiaan di akhirat)
Dalam kaitannya dengan era
globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah
harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang
mereka masuki. Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan
terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran
dalam gerakan pembangunan bangsa. Mengingat dalam UUSPN (Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional), madrasah dikategorikan sebagai sekolah
umum, maka lulusan madrasah pun berhak melanjutkan belajarnya ke perguruan
tinggi umum, baik Fakultas Ilmu Sosial maupun Fakultas Ilmu Eksaktav.
Terbukanya peluang untuk memasuki perguruan tinggi umum ini harus dimanfaatkan
oleh madrasah sebaik mungkin, terutama untuk Fakultas Ekonomi, Teknik, dan
Eksakta, fakultas-fakultas yang selama ini dijauhi oleh lulusan madrasah.
Hal ini disebabkan karena bidang-bidang ilmu itulah yang diperkirakan akan
memainkan peran penting bagi pembangunan nasional pada masa-masa mendatang.
Untuk itu, madrasah harus meningkatkan kualitas pelajaran ilmu eksakta seperti
matematika, fisika, dan biologi. Madrasah harus mendorong para santrinya
untuk mau bekerja di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu eksakta murni agar bidang
itu tidak hanya dikuasai oleh lulusan non-madrasah yang belum tentu memiliki
mental keagamaan yang kuatvi.
Agar lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh muka bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasah pun harus memiliki wawasan global. Bagaimana mungkin madrasah yang tidak memiliki wawasan global dapat menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan global?vii Madrasah harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri. Untuk ini, maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting. Demikian pula pengenalan budaya dan bangsa asing.
Agar lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh muka bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasah pun harus memiliki wawasan global. Bagaimana mungkin madrasah yang tidak memiliki wawasan global dapat menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan global?vii Madrasah harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri. Untuk ini, maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting. Demikian pula pengenalan budaya dan bangsa asing.
B. Problem Pendidikan Pada Madrasah
Masyarakat Indonesia tidak sedikit
yang lebih mempercayai lembaga pendidikan madrasah daripada sekolah umum.
Kementerian Agama mencatat bahwa jumlah lembaga pendidikan madrasah tidak
kurang dari 18 % dari seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Pada umumnya,
(95%) madrasah berstatus swasta. Hanya sebagian kecil yang berstatus negeri.
Lembaga pendidikan Islam ini diminati oleh masyarakat yang menghendaki para
putra-putrinya memperoleh pendidikan agama yang cukup sekaligus
pendidikan umum yang memadai.
Masyarakat peminat madrasah
sadar bahwa ukuran keberhasilan pendidikan pada umumnya dilihat dari perolehan
nilai Ujian Nasional atau tatkala telah lulus diterima oleh lembaga
pendidikan jenjang berikutnya. Tetapi, pandangan seperti ini tidak selalu dipegangi.
Sekalipun, UN yang diperoleh rendah yang berakibat sulit mendapatkan lembaga
pendidikan berkualitas berikutny, tidak dirasakan menjadi pertimbangan, yang
penting putra-putrinya memperoleh pendidikan agama secara cukup. Mereka
meyakini betul, betapa pendidikan agama menjadi sangat penting daripada
lainnya.
1. Problem Kualitas
Sebagian banyak madrasah, jika dilihat dari hasil Nilai Ujian Nasional pada
umumnya masih rendah apalagi bila dibandingkan dengan sekolah umum pada
umumnya. Kecuali beberapa yang rupanya ditangani secara khusus, ternyata juga
berhasil unggul dan dapat meraih prestasi lebih tinggi bilamana
dibandingkan dengan prestasi sekolah umum pada umumnya. Tetapi jumlah yang
berhasil berprestasi seperti ini masih terbatas jumlahnya. Sebut saja misalnya,
sebagai contoh Madrasah Terpadu Malang, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri,
Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Negeri Malang, prestasi
akadmiknya setiap tahun selalu unggul dan dapat bersaing dengan lembaga pendidikan
pada ummnya.
Membandingkan madrasah dengan
sekolah umum, dengan hanya melihat dari hasil belajar tahap akhir
nasional sesungguhnya tidaklah adil. Kedua jenis lembaga pendidikan ini
sesungguhnya menyandang visi dan misi dan kondisi yang agak berbeda. Visi, misi
dan kondisi yang berbeda tentu berimplikasi pada beban belajar dan
perangkat pendukung yang berbeda pula. Tetapi anehnya, sebagian masyarakat
menuntut hasil yang sama hanya dari sebagian prestasi yang dihasilkan,
katakanlah hasil UN nya. Padahal keduanya sesungguhnya tidaklah sama.
Sekolah umum, pada umumnya berstatus negei. Dengan statusnya itu lembaga
pendidikan pemerintah segala sesuatunya tercukupi sekalipun dalam
batas-batas`minimal, misalnya guru, perpustakaan, laboratorium dan sarana
pendidikan lainnya.
Berbeda dengan sekolah umum,
madrasah yang pada umumnya berstatus swasta, maka selalu saja mengalami
serba kekurangan, misalnya guru yang mengajar belum tentu memperoleh imbalan
kesejahteraan yang cukup, buku-buku belum tentu tersedia dan apalagi sarana dan
prasarana lainnya. Demikian pula, beban belajar siswa, jumlahnya jelas lebih
banyak. Pengertian terbaru madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama
Islam. Mata pelajaran yang bernuansa muatan ciri khas jumlahnya tidak
sedikit, yang hal ini merupakan beban tersendiri bagi para siswa. Siswa
madrasah kemudian mengikuti dua jenis ujian, yaitu ujian madrasah (mata
pelajaran ciri khas), dan juga mengikuti ujian akhir nasional. Ironisnya yang
dilihat tatkala melihat mutu madrasah hanya tertuju pada ujian akhir nasional,
dan tidak memperhatikan prestasi lainnya, misalnya keberhasilannya dalam
memperoleh prastasi kecerdasan spiritual mapun emosionalnya.[5]
Semestinya, jika dua jenis lembaga
pendidikan ini ingin diperbandingkan hasilnya, maka seharusnya segala sesuatu
yang mendukung dan bahkan muatan beban pendidikannya harus diberlakukan secara
sama. Membandingkan hasil pendidikan dari dua jenis lembaga pendidikan yang
tidak sama kondisi dan latar belakang kekuatannya akan menghasilkan kesimpulan
yang tidak adil. Jika prestasi madrasah hanya dilihat dari hasil UN maka
sepertinya tidak memadai, semestinya dilihat juga prestasi lainnya. Misalnya,
tidak banyak terdengar anak madrasah, bahkan tidak pernah ada, yang terlibat
kenakalan remaja secara serius dalam berbagai bentuknya. Bukankah ini
sesungguhnya sebuah prestasi yang perlu diperhatikan secara memadai.
2. Nasib
Lembaga Pendidikan Swasta
Kelahiran lembaga pendidikan swasta
tidak selalu didorong oleh alasan karena tidak adanya lembaga pendidikan,
termasuk lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Sekalipun ada
sekolah negeri, tetapi jika masyarakat memiliki aspirasi berbeda dengan lembaga
pendidikan negeri itu, maka apapun jadinya madrasah pun haus dibangun.
Sementara masyarakat ada yang beranggapan bahwa lembaga pendidikan umum negeri
dipandang belum memberikan pendidikan agama secara cukup. Bagi mereka yang
memandang pendidikan agama lebih utama, maka mendorong masyarakat membangun
lembaga pendidikan madrasah, sekalipun belum tentu madrasah baru itu
tersedia tenaga pengajar maupun sarana dan prasarana pendidikan yang
memadai. Akibatnya, pendidikan berjalan seadanya.
Pemerintah lewat Kementerian
Agama sesungguhnya telah memperhatikan soal-soal yang terkait dengan
mutu hasil pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang
diselenggarakan masyarakat, dengan memberlakukan berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diijinkan mendirikan sebuah
lembaga pendidikan. Tetapi pada kenyataannya, segala persyaratan itu dihiraukan
dan muncullah lembaga pendidikan dimaksud.
Pada umumnya madrasah lahir dalam
keadaan yang serba kekurangan. Bagi sementara masyarakat yang lebih
dipentingkan adalah symbol yang disandangnya, yakni bernama madrasah.
Perkara isi pendidikan maupun hasil yang sebenarnya kurang memperoleh
pertimbangan dan perhatian saksama. Kesadaran simbolik, berupa identitas yang
disandang, oleh sementara masyarakat ternyata dikalahkan oleh
ujuran-ukuran lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah sekalipun.
Meningkatkan kualitas lembaga
pendidikan seperti itu menjadi tidak mudah. Masyarakat si empunya
madrasah merasa memiliki otonomi seluas-luasnya. Tetapi sesungguhnya, jika
pemerintah berketetapan hati meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
semacam ini, masih tersedia pintu masuk seluas-luasnya, asal intervensi itu
tidak mengganggu eksistensi dan aspirasi masyarakat pendirinya. Mereka dengan
tangan terbuka akan bersedia menerima bantuan gedung, buku
pelajaran dan bahkan tenaga pengajar sekalipun. Persoalannya ialah apakah
tersedia dana untuk itu dan lagi pula ada kemauan secara tulus mengikuti
aspirasi masyarakat pecinta madrasah ini?
3.
Lingkaran
Setan Madrasah Swasta
Pada umumnya satu-satunya penyangga
financial kehidupan madrasah adalah wali murid sendiri. Sekalipun madrasah
berada di bawah yayasan, tidak berarti bahwa yayasan tersebut mampu
mencukupi seluruh kebutuhan madrasah. Pendanaan yang bersumber masyarakat,
sesungguhnya tidak mencukupi, baik yang dibayar awal masuk atau bulanan.
Besarnya dana yang dipungut dari wali murid itu, umumnya juga tidak
besar, apalagi madrasah yang berlokasi di daerah masyarakat miskin, amat kecil.
Akibatnya, dana yang dapat dikumpulkan oleh madrasah juga kecil.
Kecilnya dana pendukung ini otomatis
akan berpengaruh pada kecilnya kemungkinan madrasah memberikan insentif pada
guru dan juga penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Padahal, kelemahan
kedua factor pendidikan tersebut berakibat pendidikan dan pengajaran akan
berjalan seadanya dan akibatnya kualitas pendidikan tidak akan dapat
diharapkan. Kualitas hasil pendidikan yang rendah juga mengakibatkan
motivasi dan partisipasi masyarakat terhadap lembaga madrasah juga rendah. Akhirnya,
rendahnya motivasi dan partisipasi juga berakibat kecilnya dana madrasah yang
dapat dihimpun. Hubungan sebab akibat yang mengitari dan bahkan melilit-lilit
kehidupan madrasah inilah yang disebut dengan lingkaran setan madrasah swasta.
Oleh karena itu, sebenarnya jika
pemerintah menginginkan lahirnya lembaga pendidikan yang berkualitas, merata
dan demokratis perlu kiranya memotong lingkaran setan yang mengitari madrasah
tersebut. Mulai dari mana lingkaran setan itu dipotong dan diganti dengan
lingkaran malaikat, maka jawabnya terserah pada kemauan pemerintah. Dengan
menyediakan anggaran yang cukup, sehingga madrasah dapat menghidupi para
guru-gurunya, melengkapi sarana dan prasarana pendidikannya, menyediakan
buku-buku pelajarannya, tanpa mengganggu kemauan aspirasi mereka, insya Allah
persoalan ini dapat terselesaikan.
Undang-Undang Sistem pendidikan
Nasional telah memberikan peluang bagi pemerintah memberikan perhatian
secukupnya terhadap seluruh lembaga penyelenggara pendidikan, termasuk pendidikan
madrasah. Madrasah dengan segala kelemahan dan kekurangannya, pada
hakekatnya telah dibangun atas dasar niat yang tulus yaitu ingin
mengantarkan putra-putrinya berkesempatan mengenali ajaran agamanya (Islam)
secara memadai. Pilihan masyarakat terhadap madrasah tersebut sebenarnya tidak
sulit dipahami, sekalipun hasil pendidikan, misalnya kurang unggul pada
ranah intelektualnya, namun masih memiliki kelebihan pada ranah kecerdasan
spiritual dan kepribadian yang pada saat ini sangat diperlukan oleh bangsa ini.
Wallahu a’lam.
4. Problem Pendidikan Islam Masa Kini
Apakah sumbangan yang dapat
diberikan oleh pendidikan Islam di Indonesia untuk membantu pendidikan nasional
mengembangkan diri, sehingga ia mampu melahirkan angkatan baru dalam masyarakat
Indonesia yang kian lama kian cerdas, kian terampil dan kian bijaksana, dalam
menyelesaikan persoalan bangsa yang dihadapinya?
Sistem dan Struktur
Ada dua hal yang perlu dikaji
mengenai Pendidikan Islam Indonesia sebagai suatu sistem, yaitu mengenai hubungannya
dengan keseluruhan sistem pendidikan; dan mengenai struktur internal yang
terdapat dalam tubuh Pendidikan Islam Indonesia .Dalam soal peremajaan sistem
pendidikan formal, pendidikan Islam merupakan semacam "beban" yang
harus diangkat oleh induknya, yaitu sistem pendidikan nasional pada umumnya.
Sedangkan dalam soal pengembangan pendidikan nonformal, ia menjadi
"pelopor" yang tak mudah diikuti. Pendidikan Islam di Indonesia yang
ada pada saat ini dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
Satu, Pendidikan Pondok Pesanten,
ialah Pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional bertolak dari
ajaran Alquran dan Al- Hadis, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya
untuk mengajarkan para siswa sebagai jalan hidup (way of life);
Dua, Pendidikan Madrasah, ialah
pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga model Barat yang mempergunakan
metode pengajaran klasikal dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup
ke dalam diri para siswa;
Tiga, pendidikan umum yang
bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan
suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum.
Empat, pelajaran agama Islam yang
diselenggarakan di lembaga pendidikan umum sebagai mata pelajaran saja.
Mengenai pendidikan jenis pertama (pondok pesantren) dan kedua (madrasah) tidak
ada masalah. Mengenai pendidikan Islam jenis ketiga (pendidikan umum yang
bernafaskan Islam, ialah lembaga pendidikan seperti Universitas Islam, pada
tingkat pendidikan tinggi; SMA, pada tingkat pendidikan menengah. Sedangkan SD
dan SMP, pada tingkat pendidikan dasar.
Mengenai Pendidikan Islam jenis
keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum, ada sedikit tambahan.
Kegiatan pendidikan Islam jenis ini pada umumnya merupakan pendidikan keislaman
yang sangat terbatas cakupannya dan banyak pihak yang berpendapat, bahwa
kegiatan ini sebenarnya sukar dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, dan
lebih tepat kalau disebut sebagai kegiatan pengajaran.
Pendidikan Islam Indonesia dapat
diandalkan untuk memelopori kegiatan pengembangan sistem pendidikan nonformal
dalam masyarakat. Sedangkan pendidikan Islam di madrasah serta lembaga
pendidikan umum yang bernafaskan Islam merupakan wahana yang dapat dipergunakan
oleh umat Islam untuk ikut mendorong lahirnya proses peremajaan sistem
pendidikan formal .
Pendidikan Islam jenis keempat,
yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum merupakan kegiatan dengan posisi
yang bersifat marginal. Artinya tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para
pendidik Islam lewat pendidikan jenis ini untuk memberikan sumbangan yang
berarti bagi lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan .
Kekuatan utama, dari pondok
pesantren sebagai lembaga penyelenggara pendidikan nonformal terletak pada
kemampuannya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada segenap golongan umur
dan masyarakat.
Di lain pihak, keterbatasan yang
terdapat pada pondok pesantren sebagai pusat pendidikan non-formal ialah bahwa
pelayanan pendidikan yang diberikannya kepada masyarakal terpusat pada soal
keagamaan semata-mata. Padahal kebutuhan masyarakat luas akan pelayanan
pendidikan di masa sekarang meliputi berbagai macam jenis, seperti kesehatan,
pertanian, berbagai jenis teknologi, pengetahuan umum, dan sebagainya.
Dua Jalur
Proses peremajaan sistem pendidikan
formal perlu dilakukan lewat dua jalur kegiatan, yaitu: jalur kegiatan untuk
mengangkat mutu pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah; dan jalur
kegiatan untuk mendorong sekolah dan madrasah mengantisipasi persoalan yang
diperhitungkan akan muncud di masa depan. Melalui perkembangan ini, pendidikan
formal kita akan mampu melahirkan angkatan-angkatan yang makin takwa, makin
cerdas dan makin terampil .
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makalah ini telah mencoba membahas
masalah isu dan problem yang dihadapkan kepada lembaga pendidikan Islam,
khususnya madrasah. Sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan
generasi muda ummat Islam untuk masa depan, madrasah diharapkan mampu menghasilkan
lulusan yang akan mampu memainkan peran penting di semua sektor kehidupan
bangsa, baik itu sektor agama, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Madrasah diunggulkan daripada sekolah umum karena madrasah
memberikan pendidikan agama (yang lebih baik daripada sekolah umum) di samping
pendidikan umum (yang sama dengan sekolah umum). Persoalan yang masih
dihadapi madrasah saat ini adalah masifh rendahnya standar kualitas pendidikan
umum yang diberikannya di madrasah. Hal ini mungkin disebabkan oleh
karena kurang disadarinya peran penting pendidikan umum itu bagi kelanjutan
peran ummat dalam percaturan pembangunan nasional. Namun, dampak dari
kekurang sadaran akan peran penting pendidikan umum, terutama di bidang
teknologi dan ilmu eksakta, ini akan menyebabkan sektor-sektor ekonomi,
politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat menentukan arah pembangunan
nasional terpaksa diserahkan kepada lulusan non-madrasah.
B. Saran
Sebelum terlambat, madrasah
disarankan untuk lebih memperhatikan masalah kualitas pendidikan umum ini bagi
para santrinya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar