Isu-isu Kontemporer Pend. Umum & Islam
A.
HAKIKAT
PENDIDIKAN ISLAM DAN GLOBALISASI
1.
Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses
mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif
dan efisien.[1] Sedangkan
Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut :
Pertama, menurut
Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara
fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut
Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia
dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga
menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta
belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam definisi diatas terlihat jelas
bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya,
baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak
didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.[2]
2.
Dasar-dasar
Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi dasar
pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut :
a.
Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah swt.
Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab guna menjalankan
jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan lil ‘alamin),
baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an sebagai petunjuk ( Hudan
) ditunjukkan dalam firmanNya :
ان هذا القرأن يهدى للتى هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين
يعملون الصلحت أن لهم أجرا كبيرا
Artinya :
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk
kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (Al Israa’ ayat 9)
Pelaksanaan pendidikan islam harus
senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam Al Qur’an. Dengan berpegang
pada nilai-nilai tertentu dalam Al Qur’an – teruatama dalam pelaksanaan
pendidikan islam – umat islam akan mampu mengarahkan dan mengantarkan umat
manusia menjadi kreatif dan dinamis serta mampu mencapai esensi nilai-nilai ubudiyah
kepada khaliknya.[3]
b. Sunnah
Keberadaan Sunnah Nabi tidak lain
adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada didalam Al Qur’an,
sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya.
Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan
keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang tidak
terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.[4]
c.
Ijtihad
Pentingnya Ijtihad tidak lepas dari
kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut agar senantiasa sesuai
dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan cepat. Sementara disisi
lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya sebagai sebuah sistem
pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini merupakan masalah yang
senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan untuk selalu
berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan tuntutan
zaman dan kemajuan IPTEK.[5]
3.
Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly,
tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi
peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung
jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk
sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3)
menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah
penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya
dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.[6]
4.
Hakikat
Globalisasi
Globalisasi secara harfiah berasal
dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat. Menurut A. Qodry
Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan
nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi,
transformasi, dan informasi yang merupakan hasil modernisasi di bidang
teknologi.
Proses global ini pada hakikatnya
bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas,
mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk
pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.[7]
B.
PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Pendidikan Islam diakui
keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama,
Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam
secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran
diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan
pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam
sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem
pendidikan.[8]
Walaupun demikian, pendidikan islam
tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor
dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor
Internal
a.
Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya
hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat
manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan
tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan.
Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan,
lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi pendidikan, sebagaimana
yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini
menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah
tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini patut
untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif,
dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan
yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan
cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan,
kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social
movement (gerakan sosial) menjadi hilang.[9]
b. Masalah
Kurikulum
Sistem sentralistik terkait erat
dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah”
harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul.
Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output
pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem
manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan
manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa
kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga
seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas
pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.[10]
Dalam realitas sejarahnya,
pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan
paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat
dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan
daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin
mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman
tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran
Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan
absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam
memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari
tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya
kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4)
perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya
mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum
pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta
didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan
cara-cara mencapainya.[11]
c.
Pendekatan/Metode
Pembelajaran
Peran guru atau dosen sangat besar
dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia
harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan
menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan
kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola
pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan
kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa bukanlah
manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman
yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun
siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya.
Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa
masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti
ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk
berfikir.
d. Profesionalitas
dan Kualitas SDM
Salah satu masalah besar yang
dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah
profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara
kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup
memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi
harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified,
dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan
menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.[12]
e.
Biaya
Pendidikan
Faktor biaya pendidikan adalah hal
penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur
mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat
konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang
memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di
masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah
mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang
dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2. Faktor
Eksternal
a.
Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia
pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu
Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan
Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung
sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan.
Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan
menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi
untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b.
To General
Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan islam
berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan
kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving).
Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras
dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa,
kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis
dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan
karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan,
ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya
kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c.
Lack of
Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi
penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk
melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan
The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap
rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah
satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d.
Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa,
kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung
selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah
buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang
diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini
menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)
daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad
pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar
dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e.
Certificate
Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa
awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat
dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh
resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai
tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik
para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented.
Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir
tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic,
karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola
yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya
pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata.
Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau
ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas
berikutnya.[13]
C.
SOLUSI
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Pendidikan memiliki keterkaitan erat
dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang
akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, indonesia
harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan
sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan
dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis.
Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para
peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif
dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu,
pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan
segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang
dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.[14]
Selain itu, program pendidikan harus
diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi
harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut
Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam
sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya.
Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization, yaitu
industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari
struktur sosial dan sistem keagamaannya.[15]
Berbagai macam tantangan tersebut
menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam
untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang
harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan
Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu
mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat
berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji
dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib
al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan
perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk
menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan
berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah
dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.[16]
D.
ORIENTASI
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Menurut Ahmad Tantowi, dengan adanya
era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah
sebagai berikut :
1. Pendidikan
Islam sebagai Proses Penyadaran
Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat.
Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan
faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara
kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat
Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi
bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh
Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi
itu sendiri.
2. Pendidikan
Islam sebagai Proses Humanisasi
Proses Humanisasi dalam pendidikan
Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup
yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada
padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan
(ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
3. Pendidikan
Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era
globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan
menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin
Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik
(penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk
kalangan pelajar.
Bagi pendidikan
Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab
akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah
pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu,
pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq
al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya
yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal,
maupun nonformal.
Pembinaan
akhlak sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini
adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa
sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.[17]
II.
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan singkat diatas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Hakikat
pendidikan Islam ialah untuk membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya,
baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak
didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam. Sedangkan hakikat dari
Globalisasi bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang
lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup,
bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.
2.
Problematika Pendidikan Islam di era global ini
dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang didalmnya ada : Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam, Masalah Kurikulum, Pendekatan/Metode
Pembelajaran, Profesionalitas dan Kualitas SDM, dan Biaya Pendidikan. Dan faktor
eksternal yang meliputi Dichotomic, To General Knowledge, Lack of Spirit of
Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented.
3. Solusi dari
problematika tesebut ialah pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya
dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus
dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun
nonformal. Serta pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan
para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif
dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab.
4. Pendidikan
Islam di Era Global ini diorientasikan bahwa Pendidikan Islam sebagai Proses
Penyadaran, sebagai Proses Humanisasi, dan sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
III.
PENUTUP
Penulis menyadari bahwa Makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Dan sebelum penulis
menutup Makalah ini, Penulis ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
ada yang kurang berkenan dalam penyusunan Makalah ini.
Akhirnya,
Segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan rahmat-Nya dan menerangkan
pikiran-pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasa
terima kasih penulis atas segala petunjuk-Nya. Sebagai penutup Penulis sungguh
sangat berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Hasmiyati Gani, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching
Ciputat Press Group, 2008
Daulay,
Haidar Putra, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta :
Rineka Cipta, 2009
, Pendidikan
Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta : Kencana,
2004
Muhaimin, Nuansa
Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2006
, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam :
Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002
Rembangy, Musthofa, Pendidikan Transformatif :
Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Yogyakarta
: Teras, 2010
SM, Isma’il, Strategi Pembelajaran Islam
Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan, Semarang : Rasail, 2008
Tantowi, Ahmad, Pendidikan Islam di Era
Transformasi Global, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009
Wahid, Abdul, Isu-isu Kontemporer Pendidikan
Islam, Semarang : Need’s Press, 2008
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta
: Gigraf Publishing, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar