ISU PENDIDIKAN AGAMA DI PESANTREN
ISU PENDIDIKAN AGAMA DI PESANTREN
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ isu
kontemporer pendidikan islam”
Yang
Dibina Oleh Bapak Drs. Mohammad Hasan,M.Ag
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2009
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang semata-mata
karena limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menjalankan
aktivitas dan rutinitas sehari-hari dengan penuh kesabaran. Dan dengan limpahan
rahmat-Nya pula kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Isu kontemporer pendidikan islam yang membahas tentang isu pendidikan
agama di pesantren. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada BapakDrs.
Mohammad hasan M.Ag. selaku dosen pembimbing mata kuliah tersebut.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran kami terima dengan senang hati, demi
kesempurnaan makalah ini. Pepatah mengatakan “Tiada Gading Yang Tak Retak”.
Akhirnya prakata dari kami (penyusun) :
“Mari kita adobsi hasil-hasil pemikiran modern, tapi
ingat kita selalu dituntut oleh perkembangan zaman yang mengharuskan kita untuk
berfikir lebih maju”.
___________________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pesantren hendaknya berkualitas, mandiri dan berdaya
saing dan kuat kedudukannya dalam system pendidikan nasional, sehingga menjadi
pusat unggulan pendidikan agama Islam dan pengembangan masyarakat, pembentukan
santri sebagai muslim dan warga negara yang bertanggungjawab.
Sedangkan program strategis pendidikan keagamaan
pondok pesantren, system kendali mutu pendidikan keagamaan pondok pesantren,
penguatan unsure instrumental, dan penguatan kelembagaan yang merupakan bagian
dari system pendidikan nasional. Selain itu, jelasnya, system penyelenggaraan
wajib belajar dasar pada pesantren salafiyah, pengambangan potensi dan
pemberdayaan pendidikan keagamaan pondok pesantren, penguatan jaringan
kerjasama dengan pemerintah, ormas dan LSM, serta pengembangan bakat dan minat
serta kesejahteraan santri itu sendiri.
______________________________________________________________
BAB II
PEMBAHASAN
Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah
lembaga tertua di Nusantara, tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan
eksistensinya. Tetapi, situasi yang terus berkembang, maka tidak bisa tidak
pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk umat.
Pada masa lampau, jelas sekali peran pesantren dalam
membentuk budaya bangsa, sehingga para alumninya sangat dirasakan manfaatnya di
lingkungannya masing-masing, baik di tingkat lokal, regional bahkan nasional
dan internasional.
Ilmu yang ditimba para alumni pesantren dari almamater
pesantrennya masing-masing sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat dan
berjuang. Ini tentu ditunjang lebih tekunnya santri tempo dulu dan berkah para
gurunya yang keikhlasan dan kedalaman ilmunya sangat mumpuni.
Suatu hal yang menakjubkan, bahwa umat Islam Nusantara
yang terjajah selama 3,5 abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik serta
kekuasaan, tapi masih bisa mengembangkan dakwah Islamiyah-nya sehingga sensus
penduduk menjadi mayoritas muslim dan transaksi dalam kehidupan masyarakat,
baik ekonomi atau nonekonomi, juga sangat dipengaruhi teori fikih Islami. Ini
tidak lepas dari perjuangan pesantren yang bertebaran di pelosok Tanah Air.
Kelompok santri memang kalah dalam perebutan kekuasaan
dan politik, tapi masih berjaya dalam budaya. Konon, disebutkan bahwa ketika
kolonial datang di Nusantara, penduduk muslim masih 20 persen. Tetapi, justru
ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, umat Islam meningkat menjadi 95
persen. Ironisnya justru ketika kita sudah merdeka, umat Islam menerima
tekanan-tekanan dari budaya, ekonomi, juga politik, sehingga populasinya
mengalami degradasi. Dari sinilah pesantren harus intropeksi diri sendiri agar
misi pendidikan, sosial dan dakwahnya tetap eksis.
Problematika Kurikulum
Kurikulum pesantren yang cenderung berkiblat ke model
pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena para dai pertama di
Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok adalah penekanannya dalam bidang
fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu alat. Barangkali inilah yang
memunculkan predikat pesantren salaf. Kemudian, predikat pesantren salaf
didikotomikan dengan pesantren modern. Walaupun pada awalnya dikotomi itu juga
rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim dirinya modern dengan kurikulumnya
yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada bahasa Arab/Inggris
dan tidak mau fikih. Tetapi, (dulu) tidak mau memasukkan pendidikan formal
(sekolah berafiliasi Departemen Pendidikan Nasional/Departemen Agama).
Sementara, ada pesantren yang masih mangaku salafiyah, tapi malah sudah
mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan
tinggi, baik yang berafiliasi ke Depdiknas maupun Depag.
Untuk saat ini, pesantren modern itu bisa dilihat
hasilnya dengan menempatkan banyak kader alumninya di panggung karier dan
politik tingkat nasional. Hal ini mungkin ditunjang kemampuan komunikasinya
yang berbahasa Arab dan Inggris tersebut, walaupun dari sisi ketangguhan dalam
bidang fikih belum memadai dibanding alumni pesantren salaf. Ini bisa dilihat
dari forum bahsul masail yang nampak didominasi ahumni pesantren salaf yang
biasanya lebih lokal.
Bila mendikotomikan kurikulum salaf (bila dipahami
sebagai kurikulum agama) dengan kurikulum umum, juga masih ada sisa pertanyaan
di sana. Sebab, sebenarnya pelajaran agama itu hanyalah Al-Quran, hadits,
akidah, syariah dan pendukungnya. Sementara, nahwu, shorof, balaghoh (sastra
Arab), manthiq, 'arudl, falak dan lain-lain, bukan ilmu agama. Sebab, mata
pelajaran seperti itu juga diajarkan di sekolah-sekolah umum di Timur Tengah.
Tetapi, karena di sini ditulis Arab dan dengan bahasa Arab, maka dianggap
pelajaran agama.
Dengan bekal pengetahuan umum yang ditulis Arab itulah
barang kali para alumni pesantren salaf dulu sangat bisa berkiprah di
lingkungannya. Tetapi, setelah Indonesia ini merdeka dan bahasa Indonesia yang
ditulis dengan huruf latin menjadi bahasa resmi negara, ditambah bahasa asing
selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan
ilmiah di negara ini. Maka, mau tidak mau, kita rasakan bahwa itu sangat
berdampak bagi menyempitnya ruang gerak kiprah alumni pesantren salaf di
masyarakat. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang,
khususnya Undang-undang Dosen dan Guru, sangat memukul bagi kiprah pengabdian
alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal.
Barangkali berangkat dari sinilah Depag harus
menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 untuk
menolong kiprah para alumni pesantren salaf agar ruang gerak pengabdiannya di
masyarakat lebih leluasa. Intinya, diupayakan agar bagaimana alumni pesantren
salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak masyarakat
sipil. Untuk itu, memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren
salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan
bermasyarakat di negeri ini.
Problematika Kualitas dan Kuantitas Pesantren
Hal yang sangat memprihatinkan di kalangan pesantren
salaf adalah degradasi kualitas pendidikannya. Sebab, kualitas ilmu kiai dan
para ustaznya juga banyak yang menurun. Belum sisi lain yang lebih kita kenal
sebagai "berkah", juga sangat berkurang karena kadar kualitas
keikhlasan kiai dan para ustadznya juga merosot. Apalagi bila pesantren salaf
itu berganti ‘kelamin’ menjadi pesantren formal. Secara umum, jelas sekali
degradasi kualitas kemampuan kitab kuningnya, bahkan juga sampai ke budaya para
santri yang masih menetap di pesantren itu juga ikut berubah.
Inilah tantangan berat bagi pengasuh pesantren salaf,
khususnya yang sudah mengalami regenerasi. Turunnya kualitas kiai dan para
ustaz akhirnya juga berdampak merosotnya kuantitas santri. Seringkali ada
kebijakan jalan pintas untuk mempertahankan eksistensi pesantren tersebut,
dengan berganti ‘kelamin’ tadi (dari pesantren salaf ke pesantren formal).
Tetapi, sekarang secara umum sangat dirasakan
kemerosotan kuantitas pesantren salaf, juga pesantren formal di mana-mana. Ada
yang mencoba melaksanakan penelitian dalam kasus ini. Akhirnya menyimpulkan
beberapa penyebab, di antaranya, sebagai berikut:
Banyaknya alumni pesantren yang mendirikan pesantren
sendiri-sendiri;
Tekanan ekonomi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara, animo pesantren yang banyak dari kalangan tersebut;
Tekanan ekonomi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara, animo pesantren yang banyak dari kalangan tersebut;
Lembaga pesantren dulu dinilai sebagai lembaga
pendidikan termurah. Tetapi, setelah adanya dana Biaya Operasional Sekolah bagi
lembaga pendidikan formal, maka pesantren terkesan lebih mahal;
Bagi pesantren yang sudah mengalami regenerasi,
umumnya kualitas pengasuhnya mengalami kemunduran, baik dari sisi keilmuan
maupun keikhlasan;
Banyak alumni pesantren masa kini yang kurang kuat terhadap godaan duniawi, sehingga kurang bisa mencerminkan akhlak yang baik yang merupakan target utama produk pesantren;
Banyak alumni pesantren masa kini yang kurang kuat terhadap godaan duniawi, sehingga kurang bisa mencerminkan akhlak yang baik yang merupakan target utama produk pesantren;
Keterlibatan para kiai dalam panggung politik praktis
yang sering kali menimbulkan kesimpulan berbeda dari hasil ijtihad siyasiy
mereka. Sehingga menyebabkan sebagian umat ada yang berburuk sangka dan tidak
simpati lagi;
Dan, memang barang kali sudah menjadi suratan Ilahi sebagaimana yang disabdakan Rasulullah bahwa agama ini “asing” dan akan kembali “
Dan, memang barang kali sudah menjadi suratan Ilahi sebagaimana yang disabdakan Rasulullah bahwa agama ini “asing” dan akan kembali “
__________________________________________________________________
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah
lembaga tertua di Nusantara, tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan
eksistensinya. Tetapi, situasi yang terus berkembang, maka tidak bisa tidak
pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk umat.
Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah
lembaga tertua di Nusantara, tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan
eksistensinya. Tetapi, situasi yang terus berkembang, maka tidak bisa tidak
pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk umat.
Problematika Kurikulum pesantren salaf yang cenderung
berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena
para dai pertama di Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok adalah
penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu alat.
Barangkali inilah yang memunculkan predikat pesantren salaf. Kemudian, predikat
pesantren salaf didikotomikan dengan pesantren modern. Walaupun pada awalnya
dikotomi itu juga rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim dirinya modern
dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada
bahasa Arab/Inggris dan tidak mau fikih. Tetapi, (dulu) tidak mau memasukkan
pendidikan formal (sekolah berafiliasi Departemen Pendidikan
Nasional/Departemen Agama). Sementara, ada pesantren yang masih mangaku
salafiyah, tapi malah sudah mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat
dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Depdiknas maupun Depag.
Problematika Kualitas dan Kuantitas Pesantren yang
sangat memprihatinkan di kalangan pesantren salaf adalah degradasi kualitas
pendidikannya. Sebab, kualitas ilmu kiai dan para ustaznya juga banyak yang
menurun. Belum sisi lain yang lebih kita kenal sebagai "berkah", juga
sangat berkurang karena kadar kualitas keikhlasan kiai dan para ustadznya juga
merosot. Apalagi bila pesantren salaf itu berganti ‘kelamin’ menjadi pesantren
formal.
DAFTAR PUSTAKA
M. habib chirzin, Agama Dan Ilmu Dalam Pesantren
PT. Pustaka LP3ES
http://www.kampusislam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar