Forum Studi Pendidikan Islam
(Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam)
by AKO INDO
on October 25, 2011
PAIenem (UNIV. MUH. MAGELANG)
MEMPERSEMBAHKAN
BUKU KENANGAN WALAUPUN TIDAK DI CETAK DALAM JUMLAH
YANG BESAR
SEMOGA HASIL YANG MASIH BANYAK KEKURANGAN INI BISA
BERMANFAAT BUAT SEMUA ORANG
SEMUA SAYA SERAHKAN KEPADA ALLAH
SEMOGA MENJADI MANFAAT BUAT PEMBACA
(Tidak mengurangi sedikitpun dari teks aslinya)
Forum Studi Pendidikan Islam
Read in the name of the Lord who Creates
Pelangi Pendidikan
Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan Tokoh-Tokoh
Pendidikan Islam
Forum Studi Pendidikan Islam
copyright@Achmat
Nurur Huda dkk 2009
Pelangi
Pendidikan : Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam
Tim
Editor
: Achmat Nurur Huda, Suprayitno, Akoyuono, Siti Kholisiyah,
Nur Jannah,
Muh. Muslikhudin, Yusti Ilham Andika, Nifa W,
Astri
Fachrul Hidayah, Martyas Stiawan.
Penyelaras
Akhir : Achmad Nurur Huda dan Suprayitno
Desain Wajah
: Akoyuono dan Muh.
Muslikhudin
Diterbitkan pertama kali oleh Forum Studi Pendidikan
Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang, September 2009.
Jl. Mayjend Bambang Sugeng, Mertoyudan, Magelang 56172.
Motto
Bacalah dengan menyebut Rabbmu yang Maha Mencipta.
Menciptakan manusia dari segumpal darah.
DAFTAR ISI
PENGANTAR
REKTOR
PENGANTAR
EDITOR
DAFTAR ISI
BAGIAN SATU
ISU-ISU
KONTEMPORER PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDIDIKAN
ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI
BAB II
PENDIDIKAN
ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL
BAB III
LINK AND
MATCH PENDIDIKAN ISLAM
BAB IV
KOMERSIALISASI
PENDIDIKAN
BAGIAN DUA
PERBANDINGAN
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Bab V
SISTEM
PENDIDIKAN PESANTREN
BAB VI
SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM DI NEGARA BERKEMBANG
BAB VII
PERBANDINGAN
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT
BAB VIII
PENDIDIKAN
ISLAM SEBAGAI SUBSISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
BAGIAN III
PENDIDIKAN
ISLAM DALAM PANDANGAN BEBERAPA TOKOH ISLAM
BAB IX
BUYA HAMKA
BAB X
FAZLUR
RAHMAN
BAB XI
NAQUIB AL
ATTAS
BAB XII
MUHAMMAD
NATSHIR
EPILOG
BIOGRAFI EDITOR
PENGANTAR
Kata-kata
bijak “student to day, leader tomorrow “ ( Kini sebagai mahasiswa, di
masa depan adalah pemimpin ) atau ungkapan Syauqi Beq : “inna fii yadikum
amral ummah wa fii iqdamikum hayataha” ( di tanganmulah (generasi muda )
urusan umat dan di kakimulah (langkah majumu) masa depan umat) barangkali tepat
untuk memberikan apresiasi kepada sekolompok mahasiswa yang ingin merajut hasil
perkuliahannya menjadi sebuah buku yang akan disumbangkan kepada masyarakat.
Buku ini
menggambarkan idealita mereka tentang bagaimana seharusnya peran Pendidikan
Islam dalam ikut mencerdaskan dan membangun karakter bangsa. Dimulai dengan
menghadapkan pendidikan Islam dengan Globalisasi dan masyarakat multicultural, kemudian
menyoroti Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan Nasional dan diakhiri
dengan membuka kembali khazanah sejarah pemikiran pendidikan para tokoh
Islam menunjukan alur pemikiran mereka yang cukup sistematis.
Secara
normative ditegaskan bahwa pendidikan Islam sudah siap dengan konsep-konsep
unggul yang bisa mengantarkan masyarakat atau peserta didik menjadi warga
Negara yang baik dan siap menghadapi tantangan globalisasi dan
multikulturalisme. Namun, secara empirik bagaimana peran Pendidikan Islam yang
strategis semacam itu menjadi fungsional perlu dipertanyakan dan ditata ulang.
Untuk menata ulan, pembaca diajak untuk merujuk kembali khazanah pemikiran para
tokoh masa lalu dan kontemporer yang mungkin masih relevan dengan tantangan
masa kini.
Salah satu
ide cerdas yang patut dihargai adalah mereka ingin membangun paradigma
humanisme teosentris dan sikap inklusif dalam pendidikan Islam, sehingga Islam
yang rahmatan lil alamin dapat diwujudkan. Adapun ketajaman analisis dan
keluasan wawasan dalam buku ini masih harus ditingkatkan.
Betapapun
buku ini masih banyak kekurangan, namun sebagai langkah kreatif dan inovatif
pantas menjadi contoh bagi para mahasiswa lainnya dalam mengembangkan potensi
akademisnya. Dengan apa yang mereka lakukan Universitas Muhammadiyah Magelang
terbantu dalam mewujudkan atsmosfir akademis yang sangat dibutuhkan untuk
memajukan lembaga di masa-masa mendatang.
Rektor
Prof. Dr. H. Achmadi
KATA PENGANTAR
Alahmdulillahirabbil
a’alamin. Puji
syukur atas kehadirat Allah swt yang telah mencurahkan rahmat dan hidayahNya
kepada kita semua sehingga buku Pelangi Pendidikan : Studi Kritis Isu-Isu
Kontemporer dan tokoh-tokoh Pendidikan Islam ini dapat terselesaikan.
Pendidikan,
sampai saat ini masih dipercaya sebagai parameter yang baik untuk menentukan
maju dan mundurnya suatu bangsa serta senjata yang ampuh untuk memerangi
kemiskinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu bangsa maka semakin tinggi
pula kulitas dan kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa, misalnya Jepang,
Amerika dan Negara-negara maju lainnya. Dalam Islam sendiri dapat dilihat dalam
kilasan sejarah zaman keemasan Islam yakni pada masa abad pertengahan. Dimana
pendidikan Islam saat ini memiliki kualitas yang tinggi, sehingga umat Islam
bisa memimpin peradaban dunia. Tetapi saat ini pendidikan Islam di sebagian
Negara-negara Islam berkembang masih saja mengalami ketertinggalan. Meski tak
dapat dipungkiri pula bahwa Pendidikan Islam juga mulai mengalami kebangkitan
dan kemajuan yang cukup sigifikan.
Sehingga
dalam upaya memahami Pendidikan Islam dihadapkan berbagai isu kontemporer saat
ini, kami merasa tertarik untuk menyusun sebuah karya dan mewujudkannya dalam
sebuah buku. Penyusunan buku ini merupakan sebuah proses yang rumit dan
melibatkan berbagai pihak serta memakan waktu yang cukup lama. Maka dari itu
sudah sepatutnya kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
- Prof. Dr. H Achmadi selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang yang telah berkenan memberikan kata pengantarnya untuk buku yang sangat sederhana ini.
- Drs. Mujadihidun HN, M.Pd, selaku dekan Fakultas Agama Islam atas kesempatan dan fasilitas yang disediakan dalam menajalankan proses studi.
- M. Zuhron Arofi,S.Pd.I selaku dosen mata kuliah Pendidikan Islam Kontemporer dan juga pembimbing sekaligus penasihat dalam penyusunan buku ini.
- Seluruh rekan-rekan PAI Angkatan tahun 2006/2007 atas segala sumbangan saran, kritik, gagasan serta materi yang menjadi kompilasi dalam buku ini.
- Berbagai pihak yang telah mendukung terwujudnya buku ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Buku ini
merupakan kompilasi dari makalah kuliah Pendidikan Islam Kontemperer yang
disatupadukan menjadi sebuah buku dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan
kajian bagi para pembaca yang budiman serta berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalam buku ini pula pembaca diajak untuk mengetahui posisi pendidikan Islam
dihadapkan pada globalisasi, multikulturalisme dan isu-isu kontemporer lain,
kemudian pembaca juga kami ajak untuk memahami sistem pendidikan Islam dan di tutup
dengan kajian terhadap pemikiran para tokoh pendidikan Islam.
Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih banyak terdapat berbagai
kekurangan dan kesalahan di sana-sini, oleh sebab itu saran, masukan dan kritik
dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan.
Semoga karya
yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Allah
senantiasa memberikan bimbingan dan pentunjuk-Nya kepada kita semua. Amin.
Magelang, Agustus 2009
Editor
BAGIAN I
ISU-ISU KONTEMPORER PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL
BAB III
LINK AND MATCH PENDIDIKAN ISLAM
BAB IV
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
BAB I
PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI
Oleh : Akoyuono dan Achmad Nurur Huda
Pengaruh globalisasi tidak hanya berdampak kepada
sektor perdagangan dan ekonomi , tetapi bisa jadi pengaruhnya kepada moral,
budaya dan tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena
itu, bagi umat muslim menjadi suatu keharusan untuk merespons arus global ini
sebagai sesuatu yang sedang melintasi kehidupan kita.
( Sahrodi dkk )
- A. PENDAHULUAN
Banyak
agenda yang telah, sedang dan akan dilaksanakan dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan Islam. Mulai dari perbaikan system, kurikulum, orientasi tujuan dan
hingga integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum yang diwujudkan dengan
perubahan IAIN menjadi UIN. Upaya-upaya perbaikan tersebut diharapkan dapat
memperkuat posisi pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan era globalisasi
yang sedang bergulir saat ini. Dimana pengaruh globalisasi sangat terasa di
berbagai segment kehidupan.
Globalisasi
sebagai proses percepatan untuk menyatukan dunia[1], telah menjadi megatrend abad 21.
Bagi sebagian kalangan masyarakat dunia globalisasi disambut dengan hangat dan
tangan terbuka. Tapi, bagi sebagian yang lain menolaknya dengan berbagai reaksi
dan kecaman. Karena tak jarang globalisasi menyisakan berbagai problem
kemanusiaan yang tak kunjung usai.
Arus
globalisasi merupakan sebuah fenomena yang diikuti oleh arus perubahan sosial
secara massif sebagai arus sejarah yang tak dapat terelakan[2]. Sehingga hal tersebut dapat
memberikan efek yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Bahkan Nasr Abu
Zaid ( dalam Sharodi dkk, 2005 ) menyatakan bahwa pada masa tersebut manusia
mengalami split personality ( kepribadian yang pecah).
Oleh
karenanya adalah sebuah ancaman, tantangan dan peluang bagi sistem pendidikan
Islam untuk menunjukan peran dan eksistensinya dalam percaturan global yang
terjadi saat ini. Pendidikan Islam yang tidak hanya sarat akan nilai-nilai
kemanusiaan ( humanity ), tetapi juga petunjuk ( al huda, guidance
) yang memberikan daya pembeda untuk membedakan antara yang benar dengan yang
salah ( al furqon )[3]. Dengan demikian pendidikan
Islam diharapkan mampu mengembalikan manusia menjadi pribadi yang utuh ( integrated
personality ) bukan pribadi yang pecah (split personality ).
Berangkat
dari beberapa asumsi di atas, dalam makalah ini kami akan mengkaji mengenai
hakikat gobalisasi, dampak globalisasi, peluang Pendidikan Islam di era
globalisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan untuk menuju Pendidikan Islam yang
berdaya saing tinggi di tengah bergulirnya arus Globalisasi.
- B. HAKIKAT GLOBALISASI
John
Naisbitt dan Patricia
Aburdance futurolog Amerika , memprediksi bahwa pada awal abad ke-21
akan muncul era baru dalam tata kehidupan manusia di muka bumi, baik dalam
aspek politik, ekonomi maupun aspek kehidupan lainnya. Spektrum tantangan masa
depan ini amat luas kaitannya dengan globalisasi yang semakin menguat luas dan
mengakibatkan batas-batas politik, ekonomi, dan sosial budaya antar
bangsa menjadi semakin samar dan hubungan antarnegara menjadi transparan[4].
Gejala
tersebut semakin nampak diperkuat dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang begitu pesat. Arus informasi yang begitu mudah diakses dan
menjangkau hingga pelosok-pelosok dunia. Jarak yang jauh menjadi terasa menjadi
dekat. Peran dan pengaruh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang
semakin kentara.
Globalisasi
telah mengubah wajah dunia. Dari era industrialisasi menuju era informasi tanpa
batas. Dimana batas-batas geografis atau territorial seakan tidak ada lagi.
Kebudayaan asing bisa memasuki suatu negara dengan bebas. Perdagangan
antarbangsa pun menjadi semakin mudah karena tiadanya batas-batas hukum yang rigid.
Akan tetapi krisis multidemsional juga terjadi di berbagai belahan dunia.
Sebagai contoh di negeri kita sendiri Indonesia, krisis multidimensi ini tampak
di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi, perdagangan
NAPZA, perdangan wanita dan anak-anak ( trafficking ) dan sebagainya.
Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan globalisasi sehingga ada masyarakat dunia yang begitu
gegap gempita menyambutnya dan di sisi lain ada yang begitu geram menolaknya?
Dalam
pengertian umum Davies dan Nyland[5] menemukan lima pengertian
globalisasi yaitu 1) Internasionalisasi, 2) Liberasi, 3) Universalisasi,
4) Westernisasi atau Modernisasi dan 5) Suprateritorialitas,
Yang mengandung makna bahwa ruang sosial tidak lagi ditetapkan atas dasar
tempat, jarak dan batas-batas wilayah. Menurut Peter. J.M Nas, globalisasi
dapat dipahami sebagai reaksi dan elaborasi terhadap gejala sosiologis yang
sekarang sedang terjadi yaitu berkembangnya “ the world system and
modernization”[6]. Menurut Featherstone globalisasi
melahirkan “Global culture ( which ) is encompassing the world at the
international level”.
Selain itu
globalisasi juga dimaknai sebagai sebuah proses terintegrasinya bangsa-bangsa
dunia dalam sebuah system global yang melintasi batas-batas negara ( trans-nasional).
Negara-negara nasional-teritorial tersebut mengalami deteritorialisasi. Dengan
deteritorialisasi tersebut, batas-batas geografis menjadi kurang bermakna
karena jarak ruang dan waktu sudah bisa diatasi dengan keunggulan teknologi
informasi. Batas-batas nasional menjadi kabur dan digantikan dengan
dengan transnasional[7].
Dari
beberapa definisi mengenai globalisasi di atas, meskipun dengan menggunakan
gaya yang berbeda-beda semua mengacu pada pemahaman yang sama yakni integrasi
bangsa-bangsa dalam satu sistem global. Yang menghilangkan batas-batas
geografis, politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Sehingga, seakan tidak ada
lagi rahasia bagi suatu negara tanpa diketahui oleh negara lain. Karena
keunggulan teknologi informasi yang menyebabkan akses informasi begitu mudah
dan tanpa batas.
Globalisasi
telah membawa masyarakat dunia pada sebuah tatanan budaya global. Isu-isu
semacam civil society, hak asasi manusia, liberalisasi,
multikuluralisme dan sebagainya berkembang dengan pesat menjangkau
pelosok-pelosok Negara.
Sedangkan
secara historis kecenderungan globalisasi dapat dikategorikan menjadi tiga
tahap[8] yaitu a) Gelombang pertama
antara tahun 1870-1914. periode ini ditandai dengan perkembangan dalam
peralatan transportasi dan penurunan rintangan perdagangan sehingga
meningkatkan perdagangan internasional dan investasi negara-negara Amerika
utara dan Eropa ke berbagai kawasan. b) Gelombang kedua antara tahun 1950-1980
yang ditandai oleh integrasi negara-negara kaya seperti Jepang, Amerika dan
Eropa. Jurang pemisah antara negara maju dengan negara berkembang semakin
besar, c) Gelombang globalisasi mutakhir mulai tahun 1980 sampai sekarang yang
ditandai oleh kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, perkembangan
sejumlah negara berkembang yang membuka diri terhadap perdagangan luar negeri
dan investasi asing.
Menurut
Mansour Fakih[9] pada dasarnya globalisasi terjadi
ketika ditetapkannya formasi sosial global baru dengan ditandai oleh
diberlakukannya secara global suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan
kebijakan free trade yang ditandatangani pada April 1994 yang dikenal
dengan General Agreement on Tariff and Trade ( GATT ). Tahun 1995
didirikan World Trade Organization ( WTO ) yang mengambil alih
tugas GATT. Sehingga WHO menjadi salah satu aktor dan forum perundingan antarperdagangan
dari mekanisme globalisasi yang terpenting.
Sedangkan
apabila dilihat dari sejarah perjalanan peradaban umat manusia, dapat diketahui
bahwa sebenarnya gejala globalisasi telah ada sejak dulu. Meskipun tidak
menggunakan istilah globalisasi. Semangat globalisasi dapat ditemukan pula
dalam kitab suci umat Islam, Yakni Al Qur’an yang menurut hemat penulis
mengindikasikan adanya semangat globalisasi yang hendak dibangun oleh umat
Islam. Diantara ayat yang menunjukan semangat tersebut adalah friman Allah yang
artinya sebagai berikut :
“Dan
Kami tidak mengutus engkau ( Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam[10]” dan juga “ Wahai manusia Kami telah menciptakan
manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh
yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa,
Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti[11]”.
Musthafa Al
Maraghy memberi penjelasan mengenai surat Al Anbiya ayat 107 diatas
dengan mengatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw diutus dengan membawa ajaran
yang mengandung maslahat di dunia dan di akherat[12]. Sedangkan mengenai surat Al
Hujurat ayat 13 beliau berkomentar “Allah menerangkan bahwa manusia seluruhnya
berasal dari seorang ayah dan ibu. Maka kenapalah saling olok-olok sesama
saudara hanya saja Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah
yang berbeda-beda agar diantara mereka terjadi saling kenal dan tolong
menolong dalam kemaslahatan-kemasalahatan mereka yang bermacam-macam.[13]
Tentunya
sangat jauh semangat globalisasi yang diindikasikan Allah dalam kitabNya yang
mulia Al Qur’anil Adhim dengan proses dan gejala globalisasi yang bergulir
dewasa ini. Kehidupan global yang diharapkan Islam adalah sebagai wujud mencari
ridho Allah. Sementara globalisasi yang bergulir saat ini adalah kolaborasi dan
pergantian wajah dari kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme yang sarat
akan kepentingan-kepentingan negara-negara maju yang dipaksakan kepada kepada
negara-negara yang berkembang.
- C. DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana
disinggung diatas bahwa globalisasi telah menumbuhkan dua sisi yang paradoks
yakni sisi positif dan sisi negative. Dalam sisi positifnya globalisasi
memberikan peluang besar bagi semua bangsa dan kalangan untuk berekspresi dan
berapresiasi dalam ruang global terhadap berbagai fenomena yang berkembang baik
secara politis, ekonomi dan akademik[14].
Sisi negatifnya
wajah globalisasi tidak sepenuhnya ramah bagi kemanusiaan seperti kepastian
negara-negara dunia untuk bekerja sama sebagai komunitas yang hidup di bumi
yang satu dalam mengatasi ketidakadilan global, kemiskinan, kerusakan
lingkungan , perdamaian dunia dan lain-lain.
Dari sisi
perspektif Pendidikan Islam kedua dampak tersebut memberikan implikasi yang
siginifikan. Dengan terbukanya cakrawala dunia sebagai imbas perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, didukung dengan teknologi informasi yang canggih,
semakin mempermudah pelaksanaan proses pembelajaran dan pendidikan. Informasi
bisa diakses dengan mudah dan murah, transfer dan alih tangan IPTEK pun semakin
mudah dan hemat biaya.
Kecendrungan
global mendorong umat Islam untuk terus meningkatkan kompetensinya dalam dunia
persaingan yang semakin kompetitif. Keterbukaan akses dan kemudahan komunikasi
dan transportasi memudahkan para pelajar muslim untuk menimba ilmu di luar
negeri.
Di satu sisi
globalisasi juga memberikan efek yang negatif bagi keberadaan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam dihadapkan dengan berbagai problem keummatan yang
bersifat universal. Bergesernya paradigma masyarakat dunia yang cenderung materialis
dan hedonis, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat tapi tanpa nilai, kegersangan ruhani, dehumanisasi dan lain-lain
merupakan problem keummatan yang harus dihadapi sebagai imbas negatif dari
bergulirnya globalisasi.
Ancaman atau
tantangan-tantangan globalisasi tersebut tak terelakkan lagi dan mengarah pada turbulensi
arah pendidikan Islam. Menurut Abdurahman Assegaf arus globalisasi bukanlah
lawan maupun kawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator bagi
mesin yang namanya pendidikan Islam. Bila pendidikan Islam mengambil posisi
anti global maka akan tidak stationare atau macet dan pendidikan
Islampun mengalami intelectual shut down atau penutupan intelektual.
Sebaliknya apabila pendidikan Islam terseret arus global dan kehilangan identitas
ke Islamannya maka ia akan terlindas[15]
Dampak lain
yang timbul sebagai akibat globalisasi adalah timbulnya ketidakadilan global
dan kekerasan global. Sehingga dalam menghadapi hal tersebut sikap dan tindakan
umat Islam sangat variatif, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi
tiga golongan yaitu[16]:
Pertama,
golongan liberal mereka menerima ideology dan nilai-nilai yang berkembang
seiring dengan arus globalisasi, dengan landasan berpikir bahwa untuk memajukan
Islam harus menyesuaikan diri dengan polal pikir bangsa dan Negara maju. JIL
termasuk dalam golongan ini.
Kedua,
golongan moderat. Golongan ini dapat menerima globalisasi dengan berusaha
memilih nilai-nilai yang positif dan memanfaatkan produk-produk globalisasi
untuk memajukan Islam. NU dan Muhammadiyah Masuk dalam golongan ini.
Ketiga,
golongan Fundamentalis. Sebagaimana dikatakan Samuel P Huntington[17] bahwa respon agama-agama untuk
menyelamatkan manusia dari ekses negative globalisasi sering dalam bentuk
gerakan “Fundamentalis”. Di kalangan Islam golongan fundamentalis menolak
ideology-ideologi dan nilai-nilai yang mengiringi globalisasi. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah MMI, HT, IM, FPI dan lain-lain.
- D. PELUANG PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN ISLAMISASI PENGETAHUAN
Globalisasi menghendaki
peningkatan kualitas masyarakat muslim secara menyeluruh supaya siap bersaing
dengan masyarakat dunia yang lain. Keadaan demikian sangat potensial
menimbulkan hal-hal berikut :
- Kegelisahan menghadapi persaingan yang tidak mencerminkan kepastian. Dalam kondisi demikian manusia membutuhkan dukungan, tempat berkonsultasi dan penyeimbang.
- manusia yang bersifat eksplosif atau mudah beringas hanya karena hal-hal sepele.
- Hubungan manusia yang bersifat keringa dari semangat efektifitas, karena senantiasa dipengaruhi oleh dorongan material.
- Perdagangan bebas NAPZA yang menyebabkan hilangnya makna nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai agama.
Arus
globalisasi juga mengubah sistem sosial. Perubahan sosial ini menurut Prof. Dr.
Achmadi (2008:160-161) disebabkan oleh beberapa hal yakni[18]:
- Benturan nilai, budaya dan agama di seluruh dunia yang menurut Samuel P. Huntington disebut dengan benturan peradaban (The clash of civilization) yang berdampak pada perubahan nilai.
- Tuntutan liberalisasi dalam berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan di dalamnya yang menuntut adanya pengakuan atas pluralitas kehidupan.
- Tuntutan kompetensi dalam berbagai bidang kehidupan baik pada skala nasional, regional maupun internasional.
Dengan
adanya peluang yang besar yang diberikan oleh globalisasi kepada berbagai
kalangan termasuk di dalamnya adalah pendidikan Islam, untuk merespons dan
mengapresiasi berbagai fenomena global yang terjadi, maka hal ini adalah
peluang emas bagi sistem pendidikan Islam untuk tampil ke gelanggang
globalisasi memberikan solusi-solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi
oleh manusia di era globalisasi.
Pendidikan
Islam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber pada
fundamental resource Islam yaitu Al Qur’an dan Sunnah harus bisa mengatasi
kecenderungan-kecenderungan negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi seperti
kegersangan ruhani, ketidakpastian, dan bergesernya nilai-nilai agama.
Karena pada
dasarnya pendidikan Islam mengemban amanah yang meliputi empat fungsi
pengembangan manusia yaitu pertama menyadarkan manusia secara individual pada
posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain, serta tanggung jawab dalam
kehidupannya. Kedua menyadarkan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat
serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat. Ketiga menyadarkan
manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.
Keempat menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan
membawanya agar memahami hikmah tuhan atas penciptaan makhluk lain dan
mengambil manfaatnya[19].
Sehingga
dengan kata lain, bila dikolaborasikan antara fungsi yang diemban pendidikan
Islam tersebut dengan semangat universalisme atau globalisasi istilah sekarang yang
terkandung dalam surat Al Anbiya ayat 107 dan Al Hujurat ayat 13 sebagaimana
dikemukakan di atas maka pendidikan Islam akan mampu membawa manusia kembali
kepada hakikatnya sebagai manusia yang dimnusiakan. Tidak ada lagi kegersangan
ruhani, dan alienasi nilai-nilai agama atau ketidakpastian dan kebimbangan yang
dihadapi manusia karena tidak memiliki pegangan.
- E. ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan itu tidak netral, dan oleh karenanya
yang empunya ilmu juga tidak dapat berbuat netral. Tak satupun penelitian yang
murni untuk ilmu pengetahuan tanpa spirit (motivasi).
(Dr. Muhammad Shafiq)
Isu sentral
lain yang berkembang sekaligus menjadi tantangan bagi pendidikan Islam di era
globalisasi adalah Islamisasi pengetahuan. Meskipun masih terjadi adanya
ketidaksepahaman antara para cendikiawan muslim. Tokoh sentral penggagas
islamisasi pengetahuan ini antara lain adalah Ismail Raji’ Al Faruqi, Naquib
Al Attas, Hasan Bilgrami dan Ziaudin Sardar.
Usaha
Islamisasi pengetahuan ini berangkat atau bertitik tolak dari adanya anggapan
masyarakat yang mendikotomikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Bahkan lebih
ironis lagi dikatakan bahwa agama itu bukan ilmu, artinya wacana agama adalah
wacana yang terlepas dari wacana ilmiah. Asumsi ini kemudian menimbulkan
pengotakan yang lebih jauh yakni dengan apa yang disebut dengan reaveled
knowledge (pengetahuan yang berasal dari Tuhan) dan scientific knowledge
(pengetahuan yang bersumber dari analisis pikir manusia)[20]
Semua ilmu
pengetahuan adalah anugrah Allah. Mengetahui segala sesuatu adalah salah satu
sifatNya yakni al alim. Manusia menjadi makhluk yang penting karena mampu
mengetahui, yang merupakan anugrah yang diberikan oleh Allah. Bagi manusia
sifat mengetahui (ilmu) itu penting sebanding dengan eksistensi dirinya (wujud)[21]. Menruut Ibnu Khaldun ilmu
pengetahuan dan pembelajaran adalah thabi’I (pembawaan) manusia karena
kesanggupan berfikir. Sehingga secara teologis, mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan itu pada hakikatnya proses identifikasi diri dengan asmaul husna
“Al Alimu” (Allah yang Maha Tahu).[22]
Dengan
demikian maka Islamisasi pengetahuan menjadi sangat penting karena memiliki
dampak yang tidak hanya pada “out put” yang diluluskan, tetapi juga pada sistem
pendidikan Islam.
Islamisasi
pengetahuan bukan saja akan menghilangkan praktek dikotomik sistem pendidikan,
tetapi juga mengikis dikotomik lembaga pendidikan serta dikotomik dalam menyikapi
lembaga pendidikan.[23]
Dengan
adanya integrasi ilmu pengetahuan atau Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti
yang telah dijalankan di Indonesia dengan mengubah IAIAN menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN) seperti yang dilakukan pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menjadi UIN Syarif Hidayatullah dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi UIN Sunan
Kalijaga, diharapkan outcomes pendidikan Ilsam memiliki tiga kemampuan
sekaligus yaitu kemampuan menganalisis secara akademik, kemampuan melakukan
inovasi, dan kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan peroslan kemasyarakatan
keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan nafas etos
keilmuan dan keagamaan. Serta memiliki pola pemahaman keilmuan yang holistik
integralistik[24].
Dalam upaya
Islamisasi pengetahuan, Ismail Raji Al Faruqi menawarkan beberapa konsep
metodologi yaitu[25]:
- Keesaan Allah (Tauhid), Allah adalah penyebab pertama dan utama serta tujuan akhir dari segala sesuatu. Ilmu pengetahuan Islam mengakui bahwa tak ada wujud, kebenaran atau nilai di luar rangkaian dan jalinan yang selaras di situ Allah merupakan penyebab dan akhir.
- Kesatuan makhluk. Allah menciptakan segala sesuatu dan oleh karenya ciptaanNya ada sebagai keseluruhan integral yang memenuhi tatanan kosmis.
- Kesatuan kebenaran dan ilmu pengetahuan. Berkenaan dengan teori pengetahuan, Islam dapat diposisikan sebagai kesatuan kebenaran. Kesatuan ini diambil dari keesaan mutlak Allah. Sehingga kesatuan kebenaran mensyaratkan :
- Tidak adanya klaim atas nama wahyu yang berlawanan dengan relaitas
- Tidak adanya kontradiksi antara rasio dan wahyu adalah sesuatu yang mutlak
- Tidak adanya penelitian alam atau bagian-bagiannya yang dianggap sebagai kesimpulan akhir.
- Kesatuan hidup, meliputi :
- Amanah. Sebagai kepercayaan Tuhan yang diberikan kepada manusia
- Khilafah. Manusia sebagai kepercayaan Tuhan (amanah) menghasilkan ditetapkannya sebagai wakil Allah di bumi.
- Kelengkapan. Islam menghendaki budaya dan peradaban yang komprehensif.
- F. PENUTUP
Dengan
melakukan kajian terhadap makna dan hakikat pendidikan Islam serta Hakikat dan
makna dari bergulirnya arus globalisasi saat ini dapat diambil suatu benang
merah bahwa Pendidikan Islam saat ini mengalami sebuah tantang yang begitu
besar yang harus diselesaikan sebagai imbas negative dari adanya globalisasi.
Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa globalisasi juga membawa dampak yang
positif bagi kemajuan umat manusia termasuk umat Islam sendiri.
Globalisasi
merupakan peluang bagi pendidikan Islam untuk mengembalikan manusia yang telah
mengalami dehumanisasi dan kegersangan ruhani yang membutuhkan pegangan dan
dukungan spiritual untuk menjalani hidup.
Maka sebagai
penutup, dari makalah ini kami mengajak kepada rekan-rekan mahasiswa untuk
senantiasa siap terhadap perubahan yang terjadi jadilah pembelajar yang
teachable. Mari kita kembangkan semangat globalisasi yang diindikasikan dalam
surat Al Anbiya ayat 107 dan surat Al Hujurat ayat 13 untuk mewujudkan
terwujudnya Izzul Islam wal muslimin. Hidup dalam tatanan global yang diridoi
oleh Allah. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Achmadi.
2008. Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme-Teosentris.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
________2008.
Globalisasi, Fundamentalisme dan Kekerasan Perspektif Islam. Makalah
Internasional dan Call for Paper UMM
Hamid, Endy
Suandi. 2008. Globalisasi : Perspektif Ilmu Ekonomi dan Realitas Ekonomi
Dunia. Makalah Internasional dan Call for Paper UMM.
Shafiq,
Muhammad. 2000. Mendidik Generasi Baru Muslim. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Tholkhah,
Imam dan Ahmad Barizi. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta : PT.
Raja Grafindo.
Sahrodi,
Jamali dkk. 2005. Membedah Nalar Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka
Rihlah Group.
Mastuhu.1999.
Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta : Logos.
Maraghi,
Mustafa Ahmad. 1993. Terjemah Tafsir Al Maraghi Juz 17. Semarang :
Penerbit Thoha Putra.
_____________________1993.
Terjemah Tafsir Al Maraghi Juz 17. Semarang : Penerbit Thoha Putra.
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an. 2006. Al Qur’an dan Terjemahnya.
Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Asykuri dkk.
2003. Civic Education. Yogyakarta : Diktilitbang PP Muhammadiyah.
Ramayulis.
2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Oleh : Siti Kholisiyah, Dewi Zulaikha, dan Nifa
Wijayati
- A. PENDAHULUAN
Luasnya
negara Indonesia ialah suatu kelebihan tersendiri. Beraneka ragamnya suku,
agama, ras dan golongan (SARA) mendorong kita belajar untuk lebih menghargai
orang lain. Penghargaan inilah yang akan mendorong persatuan di antara
elemen bangsa Indonesia. Keanekaragaman tersebut tentunya harus bisa
optimalkan secara positif demi berlangsungnya kehidupan yang harmonis.
Apalagi
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim, maka rasa toleransi
haruslah terwujud sebagai salah satu bentuk implementasi ajaran Islam itu
sendiri. Mengingat beberapa waktu yang lalu di Indonesia-lihat peristiwa Ambon,
Papua dan beberapa pulau di Indonesia- terjadi konflik antar agama yang menelan
tidak sedikit korban jiwa dan menyertakan Islam di dalamnya.
Pengertian
akan peran dan posisi Islam yang sebenarnya haruslah diselenggarakan dan
dipahamkan kepada setiap manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Jalan yang
paling tepat ialah melalui pendidikan. Pendidikan haruslah ditampilkan dengan
nuansa multikultural sehingga tercipta rasa menghargai antar berbagai suku dan
agama di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada suatu pembahasan terkait
pendidikan multikultural itu sendiri dan bagaimana mengimplementasikannya di
Indonesia.
- B. PENDIDIKAN ISLAM
Menurut
Muhaimin, Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang diselenggarakan atau
didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran Islam dan
nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya[26]. Pendidikan Islam tidak hanya
memberikan wawasan yang luas dalam pengetahuan, akan tetapi juga menuntut
adanya realisasi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hakikat
pendidikan Islam tercermin dalam [27]:
- Pendidikan yang integralistik, mengandung komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Tuhan, manusia dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan, individu dan sosial. Pendidikan Integralistik di harapkan bisa menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi. Yang bisa bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya. Yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri (sehingga tidak memiliki kepribadian yang terbelah) menyatu dengan masyarakatnya (sehingga bisa menghilangkan disintegrasi). Dan bisa menyatu dengan alam (sehingga tidak membuat kerusakan).
- Pendidikan yang integralistik, memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas antara hewan dan malaikat- ia menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang dan sebagainya.
Pendidikan
yang integralistik diharapkan dapat mengembalikan hati manusia di tempat
yang semula, dengan mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik
makhluk, khoiru ummah. Manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan
yag integralistik diharapkan bisa berpikir, berasa, dan berkemauan, dan
bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat
individualistik, egoistik, egosentrik, dengan sifat kasih sayang
kepada sesama manusia, sifat ingin memberi dan menerima, saling menolong, sifat
ingin mencari kesamaan dan lain-lain.
- Pendidikan yang pragmatik, adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani, seperti pangan, sandang papan, seks, kendaraan dan sebagainya; juga yang bersifat rohani seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, kasih sayang, dan keadilan maupun kebutuhan sukmawi, seperti dorongan untuk berhubungan dengan yang Adi Kodrati. Pendidikan yang pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
- Pendidikan yang berakar budaya kuat, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat di harapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri, yang merupakan warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan yang anti kemoderannya, yang menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar.
Tujuan
pendidikan Islam
Pada
hakikatnya Pendidikan Islam bertujuan untuk merealisasikan ubudiyah
kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.[28]
- Tujuan Keagamaan : bahwa setiap pribadi orang muslim beramal untuk akhirat atas petunjuk dan ilham keagamaan yang benar, yang tumbuh dan dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam dan suci. Tujuan keagamaan mempertemukan diri pribadi terhadap Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan kewajibannya, sunat dan yang fardhu bagi seseorang mukallaf.
- Tujuan Keduniaan : Tujuan ini seperti yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan modern yang saat ini diarahkan pada pekerjaan yang berguna (pragmatis), atau untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa depan. Para ahli filsafat pragmatisme lebih mengarahkan pendidikan pendidikan anak kepada gerakan amaliyah (ketrampilan) yang bermanfaat dalam pendidikan. Tujuan ini mengambil kebijakan baru yang lebih menonjolkan kecekatan bekerja yang cepat dalam setiap peristiwa kehidupan. Dan juga memakai strategi pendidikan seumur hidup. Sedangkan pendidikan Islam melihat tujuan ini dari aspek dan pandangan baru yaitu berdasarkan Al Qur’anul karim, yang sangat memusatkan perhatian pada pengalaman dimana seluruh kegiatan hidup umat manusia harus bertumpu kepada-Nya.
- C. MULTIKULTURAL
- Pengertian Multikultural
Pengertian multikulturalisme
diberikan oleh para ahli sangat beragam. Mengutip Choirul Mahfud[30] multikulturalisme pada
dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan.
Sedangkan secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi
(banyak), kultur (budaya), isme (aliran/paham). Sedangkan secara hakiki, dalam
kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya
dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
- Tipe-tipe Masyarakat
Dalam
masyarakat sering terjadi perbedaan antara masalah sakral dan sekuler. Di
kalangan sejumlah masyarakat yang sakral itu dianggap sebagai aspek dalam
tingkah laku dan masyarakat yang lain semakin banyak nilai-nilai manusiawi yang
dianggap sebagai hal-hal yang bersifat sekuler dan dinilai bermanfaat dan
diterima secara umum.
Jika kita
tidak mempunyai paling tidak beberapa pengertian tentang perubahan yang umum,
beberapa perbedaan tertentu yang bersifat umum dalam masyarakat . Oleh karena
itu kita perlu tahu tentang tipe-tipe masyarakat. Menurut Nottingham tipe-tipe
masyarakat meliputi [31]:
- Masyarakat-masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral
Tipe pertama
ini adalah masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat
perkembangan teknik mereka rendah dan pembagian kerja masih kecil. Keluarga
adalah lembaga mereka yang paling penting dan spesial, laju perkembangannya
juga masih lambat. Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya, karena
sebagian besar adat-istiadatnya dikenal, masyarakat ini berpendapat bahwa:
1)
Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat
secara mutlak.
2)
Dalam keadaan lembaga lain, selain keluarga, relatif belum berkembang, agama
jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari
masyarakat secara keseluruhan.
Bagi
individu, agama memberi bentuk pada keseluruhan proses sosialisasi. Sosialisasi
ditandai oleh upacara-upacara keagamaan pada peristiwa kelahiran dan saat
penting lainnya dalam kehidupan.
- Masyarakat-masyarakat pra-industri yang sedang berkembang
Masyarakat
kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya
dan lebih besar jumlah penduduknya, serta ditandai dengan tingkat perkembangan
teknologi yang lebih tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama.
Ciri-ciri umumnya adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang
beranekaragam serta adanya kemampuan tulis baca sampai tingkat tertentu, agama
tentu saja memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat
ini, akan tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler
itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan. Meskipun demikian, banyak
fase-fase kehidupan sosial, misalnya dalam aktivitas keluarga dan perekonomian,
peristiwa-peristiwa musim secara teratur terjadi itu diisi dengan
upacara-upacara tertentu.
- Masyarakat-masyarakat industri-sekuler
Tipe dalam
masyarakat kelompok ketiga ini agak condong kepada masyarakat perkotaan modern
di Amerika serikat, tinggiya sekulerismenya bisa dianggap salah satu contoh
yang paling mirip dengan masyarakat ketiga ini. Masyarakat-masyarakat ini
sangat dinamis, teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan,
sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang paling
penting adalah penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan mereka sendiri.
Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat juga mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi agama. Pengaruh inilah yang merupakan
salah satu sebab mengapa keanggotaan masyarakat tersebut semakin lama semakin
terbiasa menggunakan metode-metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi
dalam menaggapi berbagai masalah kemanusiaan.
- Masyarakat Indonesia yang multikultural
Dibutuhkan
beberapa konsep untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang
multikultural agar kuat oleh kondisi lingkungan. Bagi masyarakat Indonesia,
konsep multikultural bukan hanya sebuah wacana atau sesuatu yang dibayangkan,
tetapi konsep ini adalah sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena
dibutuhkan sebagai tegaknya demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Di
Indonesia terdapat berbagai macam kebudayaan yang berasal hampir dari seluruh
suku bangsa. Dengan demikian, keanekaragaman ini kita dapat mewujudkan
masyarakat multikultural apabila warganya dapat hidup berdampingan, toleran dan
saling menghargai.
- D. URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MULTIKULTURALISME
Indonesia
adalah salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, yang mengakibatkan
terjadinya beraneka suku, bahasa, ras, serta agama. Walaupun dalam hal agama,
sebagaimana telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam. Hal ini terbukti sejak kelahirannya, peran
orang-orang muslim sangat dominan. Bahkan pada waktu pembuatan dasar negara
yaitu Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945, dikenal dengan Piagam Jakarta, sila
pertama pada waktu itu berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”[32] diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha
Esa[33]” karena lebih menghargai agama lain
dengan tidak menyimpangkan arti tauhid sendiri bagi umat Islam. Walau memang
tidak dapat dipungkiri ada pihak yang tetap menolak keputusan tersebut.
Inilah
permulaan tantangan Islam di tengah masyarakat multikultural, khususnya di
Indonesia. Bagaimana Islam meletakkan dirinya di tengah perbedaan, atau dengan
kata lain, dapatkah pemeluk agama Islam menghadirkan Islam sebagai agama yang inklusif
terhadap perubahan sekaligus mampu bersaing dengan perubahan yang terjadi di
luar dirinya. Satu-satunya cara yang terbaik ialah melalui pendidikan,
khususnya pendidikan Islam. Oleh karena itu, penanaman tentang hakikat Islam
dan bagaimana seharusnya Islam bertindak ada di dalamnya.
Pendidikan
Islam yang bertujuan untuk merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam
kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat[34], dapat difungsikan sebagai
nilai-nilai instrumental pembangunan yaitu dengan mengembangkan etika dan
moralitas keagamaan untuk dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber
daya manusia yang merupakan pelaku dan pelangsung pembangunan[35]. Mengingat terdapat dua peran
penting agama, yaitu sebagai directive system dan defensive system,
maksudnya agama digunakan sebagai sumber utama dalam proses perubahan sekaligus
sebagai semacam kekuatan resistensial bagi masyarakat ketika berada
dalam persoalan kehidupan yang kompleks. Sehingga agama tidak hanya bermanfaat
bagi pemeluknya saja, tetapi harus berskala global. Oleh karena itu, pendidikan
Islam haruslah dikemas dengan beberapa prinsip yaitu keterbukaan, toleransi,
kebebasan dan otentisitas. Dengan kata lain, nuansa multikultural
haruslah dihadirkan di setiap alur pendidikan yang lebih dikenal dengan
pendidikan multikultural. Yaitu menurut Muhaemin el Ma’hady[36], pendidikan multikultural sebagai
pendidikan tentang keragaman budaya dalam merespon perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sedangkan
menurut prof. H.A.R Tilaar[37], pendidikan multikultural berawal
dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme.
Kemunculannya terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM,
diskriminasi dan juga meningkatnya pluralitas.
Pedidikan
menjadi sebuah alat untuk menempuh jalan keselamatan, bukan hanya untuk
individu/kelompoknya tetapi melibatkan kepentingan orang lain.
Oleh karena
itu perlu tujuan yang jelas dalam penyelenggaraannya. Menurut Paulus Mujiran
hal yang perlu dibidik ialah, pertama, pendidikan multicultural menolak
pandangan pandangan yang menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau
pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Kedua,
pendidikan juga menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok
etnik. Ketiga, pendidikan multicultural meningkatkan kompetinsi dalam beberapa
kebudayaan. Keempat, kemungkinan pendidikan meningkatkan kesadaran mengenai
kompetensi dalam beberapa kebudayaan, akan menjauhkan kita dari konsep
dwibudaya (bicultural) atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi[38].
Sebenarnya
pendidikan multicultural bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Pesantren
sebagai sekolah khas Indonesia ialah implementasi dari pendidikan
multikultural. Berbagai suku dan budaya masuk dan di satukan dengan nuansa
Islam tanpa mendikotomikan salah satu. Namun memang, dalam penerapannya, hal
yang terpenting ialah rasa solidaritas yang tinggi. Bagaimana setiap orang di
tuntut untuk menyiapkan diri untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi
pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri
- E. PENUTUP
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam sangatlah diharapkan menjadi
sebuah alat untuk menempuh jalan keselamatan bagi umat manusia. Oleh karena
itu, dalam menghadapi multikulturalisme di Indonesia, penyelenggaraan
pendidikan haruslah bernuansa multikultur. Pendidikan harus mampu membuka
paradigma peserta didiknya sehingga berwawasan inklusif. Selain itu, supaya
siswa tidak merasa tercerabut dari akar budayanya sehingga terhindar dari
konflik-konflik yang sering terulang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan
Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Madjid,
Nurcholis. 2003. Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Mahfud,
Choirul. 2008. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin,
Haji. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam : Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nottingham.
1985 : 49. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syamsudin
.2000. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu.
Http : //
afrikanz.wordpress.com/2008/12/21/multiculturalism
Http :
//www.darussolah.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=151
Http :
//www.gusdur.net/opini/detal/?id=71/hi:id/masa-depan-pendidikan
BAB III
LINK & MATCH PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Suprayitno, Miftahudin dan Hidayatur Rohmah
- A. Pendahuluan
Indonesia
merupakan Negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Maka untuk
mensukseskan pembangunan Nasional di Negara ini tidak bisa lepas dari peran dan
campur tangan umat Islam. Dalam upaya itu maka mau tidak mau umat Islam harus
saling berupaya dan bekerja sama dalam berbagai lini, terutama di sektor
pendidikan yang akan mewarnai perkembangan dan arah pendidikan Nasional
kedepan. Adapun Tujuan Pendidikan Nasional seperti yang termaktub dalam alenia
terakhir UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.[39]
Pembangunan
Nasional di Indonesia merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan
masyarakat Indonesia yang dilakukan dengan berkelanjutan, berlandaskan
kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi
nasi memiliki visi yang jelas yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang
damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia yang sehat, mandiri, beriman bertaqwa,
berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan menguasai
iptek memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin.[40] Dari hal itu jelas bahwa sektor
pembangunan diarahkan pada orientasi peningkatan sumber daya manusia.
Sebagai
usaha peningkatan sumber daya manusia yang cerdas, trampil, dan siap pakai
untuk masa depan, konsepsi Link and Mach Pendidikan Islam dipandang baik
untuk peningkatan diberbagai bidang, yang diharapkan akan menghasilkan output
pendidikan yang berkualitas yaitu manusia yang matang, kreatif, cerdas dan
beriman yang mampu menghadapi tantangan zaman.
Adapun cara
yang dipakai dalam usaha tersebut ialah pertama, aktifitas nilai-nilai
pendidikan Islam di sekolah dalam beberapa aspek meliputi : kurikulum, kegiatan
siswa baik ekstra kurikuler maupun intrakurikuler dan sumber daya manusia.[41] Kedua, selalu mengaitkan
aspek Islami dalam kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung, yang
diwujudkan dengan mengutamakan musyawarah dan diskusi, mendidik siswa dengan
kasih sayang serta dengan pendekatan individu. Ketiga, harus
memperhatikan beberapa hal khusus dalam kontek orientasi link and mact
diantaranya :
-
Perlunya diwujudkan kemitraan antara sekolah dan dunia kerja.
-
Meningkatkan etos kerja dengan melalui peningkatan dan pengembangan potensi
guru.
-
Penanganan kegiatan Ekstrakurikuler sebagai salah satu program sekolah secara
professional dan materi pelajaran disekolah mengacu pada materi pelajaran yang
ditetapkan pemerintah dengan tanpa melupakan konsepsi pendidikan Islam disegala
aspek, yang selengkapnya bisa di baca dalam keseluruhan makalah ini.
- B. Pengertian dan Konsepsi dasar Link and Match Pendidikan Islam
Perlunya
relevansi atau keterpaduan dan keserasian antara pendidikan dengan berbagai
sektor lainnya dimaksudkan agar proses dan hasil pendidikan dapat menjawab
tantangan dunia kerja, tantangan zaman, serta tantangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dengan kata lain relevansi tersebut bermaksud mengarahkan kepada
terwujudnya output pendidikan sekaligus sebagai input bagi pembangunan
yaitu berupa tenaga yang terdidik, trampil dan siap kerja. Dalam rangka
pencapaian hal ini maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih dikenal
dengan konsep Link and Match.[42] Melalui kebijakan ini diharapkan
dapat memperkuat upaya sinkronisasi dunia pendidikan dengan dunia
industri atau dunia usaha dalam hal perencanaan, penilaian, sertifikasi,
pelatihan-pelatihan dan lain-lain. Adapun pendidikan Islam ialah bimbingan atau
usaha sadar pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik
menuju terbentuknya kepribadian utama yang berdasarkan ajaran Islam.
Abdurahman
Al-Nahlawi (1989) merumuskan bahwa menurut pendapatnya pendidikan (tarbiyah)
terdiri dari tiga unsur penting yaitu :
- Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa,
- Mengembangakan seluruh potensi,
- Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan dilaksanakan secara bertahap.[43]
Maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan ialah pengembangan seluruh potensi anak didik
secara bertahap menurut ajaran islam.
Dalam
pengertian yang lebih luas link secara harfiyah berarti pertautan,
keterkaitan atau hubungan yang interaktif sedangkan match berarti
kecocokan atau kesesuaian. Dengan demikian jika dikaitkan dengan pendidikan
Islam dapat terlihat didalamnya bahwa sesungguhnya konsep Link and Match
bukanlah sesuatu yang baru. Gagasan link and Match yang menekankan agar
dunia pendidikan memiliki keterkaitan dan kesesuaian dengan pembangunan sesuai
yang diajarkan oleh Islam, hal tersebut sudah diajarkan Islam sejak dahulu.
Dalam hal ini pembangunan yang dimaksud ialah mengandung arti menata hari esok
yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan yang sudah dijelaskan dalam
Al-Qur’an surat Al Hasyr ayat 8, Allah telah berfirman :
$pkr’¯»t úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur
Ó§øÿtR $¨B
ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès?
ÇÊÑÈ
“Wahai
Orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
manusia memperhatikan kondisi yang ada dalam rangka menata hari esok. Dan
bertaqwa kau kepada Allah sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS Al-Hasyr : 18)[44]
Rosulullah
SAW sendiri juga senantiasa menganjurkan umatnya agar mendidik generasi mudanya
dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) supaya bisa berkompetisi
dalam kehidupan ini serta menghadapi tantangan zaman ke depan yang dinamis.
Anjuran ini bisa disimak dalam hadist Nabi SAW yang artinya sebagai berikut :
Ajarkanlah
anak-anak kalian dengan berbagai Ilmu Pengetahuan yang berlainan dengan hal-hal
yang pernah diajarkan kepadamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda
dengan zamanmu. (HR. Bukhari)[45].
- C. Relevansi Link and Match Pendidikan Islam
Konsep link
and match pendidikan Islam dipandang sebagai sebuah konsep yang yang
fleksibel, artinya bahwa konsep ini tetap relevan dalam berbagai suasana dan
keadaan. Maka relevansi dari konsep tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:
- Relevasi terhadap perubahan zaman
Merujuk dari
berbagai uraian tentang pengertian link and match pendidikan Islam yang
sudah diuraikan di depan, sebetulnya ialah berawal pada konsep nilai-nilai
perubahan diberbagai sektor. Yaitu dengan konsep ini diharapkan akan tercetak
orang-orang (Output pendidikan) yang terampil, siap terjun didunia kerja di era
global sekaligus sebagai insan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT yang
bisa mengadopsi dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam bidang apapun
dan kondisi apapun.
Konsep Link
and Match pendidikan Islam dalam hal ini dianggap penting, karena dianggap
mampu mengatasi persoalan yang sedang dialami bangsa ini. Persoalan yang paling
mendasar yang dialami pendidikan nasional ialah bahwa secara umum pendidikan
nasional sedang menghadapi dua tantangan yang amat berat yaitu tantangan
internal dan tantangan eksternal.
Secara
internal, kita dihadapkan pada posisi juru kunci untuk pendidikan, dan
sebaliknya di ranking teratas untuk korupsi. Dua kondisi ini yang selalu
disebutkan dan diucapkan dimana-mana secara berulang-ulang, sehingga membentuk
konsep diri masyarakat kita bahwa pendidikan kita jelek, tidak bermutu, dan
terbelakang.
Di sisi lain
secara Eksternal, kita juga dihadapkan dengan tantangan yang berat, yaitu
perubahan yang sangat cepat dari lingkungan strategis diluar Negara kita. Pasar
bebas ASEAN (AFTA) yang sudah berlaku sejak 2003 yang lalu, beberapa saat ke
depan kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) diberlakukan mulai tahun 2010 untuk
negara maju dan 2020 untuk seluruh anggota termasuk Indonesia. Jadi kita berada
dalam posisi untuk tidak bisa mengelak dari tekanan eksternal tersebut. Jika
saat ini Negara kita menghadapi kompetisi tenaga kerja yang begitu kuat, maka
pada masa depan kompetisi tersebut akan lebih ketat lagi terutama di era global
yang akan berhadapan dengan tenaga-tenaga kerja asing yang ikut berebut dalam
memasuki pasar kerja di Negara kita ini.[46]
Yang menjadi
pertanyaan besar ialah, mampukah masyarakat kita menghadapi tantangan
tersebut? dan mulai dari mana titik tolak pendidikan negara kita harus bangkit?
Dari sinilah kita kembalikan bahwa dengan konsep link and Match
Pendidikan Islam dipandang bisa mengatasi persoalan tersebut, jika dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh, peran berbagai pihak dan kata kuncinya ialah perubahan
dan inovasi di berbagai sektor, sebagai titik tolak dalam mengembangkan
pendidikan nasional pada umumnya.
Perubahan
inovasi akan berjalan lancar bila dilaksanakan secara serius oleh pemerintah,
baik pemerintah pusat maupun daerah dan didorong oleh masukan-masukan dan
gerakan bersama antar semua institusi baik institusi pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi, Institusi ekonomi, politik sosial, budidaya serta
masyarakat pada umumnya. Untuk mendukung terwujudnya cita-cita tersebut.
- Relevansi terhadap perkembangan Tehnologi dan Industri
Seiring
dengan perkembangan zaman maka tidak bisa dielakkan lagi bahwa tehnologi dan
industri juga berkembang pesat. Sejalan dengan hal itu pendidikan yang
dikehendaki pemerintah ialah menciptakan manusia pendidikan yang bisa memenuhi
pasar kerja. Maka dimanakah letak sistim pendidikan Islam? Mungkinkah lembaga
pendidikan Islam masih akan banyak diminati peserta didik di masa datang ?[47]
Pertanyaan
tersebut merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi sistem dan lembaga
pendidikan Islam, khususnya para Alumni dan sarjana Islam untuk mengisi peluang
dan menjawab tantangan. Artinya membuat rancang bangun pendidikan Islam yang
berwawasan masa depan dan sekaligus mempeloporinya.
Optimisme
pengelola sistem pendidikan Islam, khususya sarjana agama dalam melihat
perkembangan kehidupan adalah menjadi suatu keharusan. Karena hakikat
pendidikan Islam ialah pendidikan yang berkesinambungan dan mempunyai dinamika
Kultural. Sesuai dengan Makna dasar kata Al-Islam sebagai kata kerja positif,
dalam perspektif pendidikan, mengislamkan berarti menjalankan pendidikan sesuai
dengan dinamika dan kebutuhan.[48]
Berangkat
dari titik tolak itulah sehingga konsep Link and Match pendidikan Islam
dipandang masih cukup relevan untuk dilaksanakan, demi tercapainya orientasi
pendidikan yang dikehendaki yaitu output pendidikan yang mampu bersaing di
pasar kerja modern sekaligus memiliki kredibilitas yang tinggi dan etos kerja
yang maksimal sekaligus memiliki benteng iman yang kokoh.
- D. Aplikasi Link and Match pendidikan Islam
Seperti yang
telah dijelaskan di awal bahwa link secara harfiah berarti
pertautan, keterkaitan atau hubungan interaktif. Sedangkan match berarti
kecocokan atau kesesuaian. Jika dihubungkan dengan pendidikan islam akan
menjadi sebuah teori yang bermakna aplikatif, karena merujuk pada kebutuhan (needs,
demands).[49] Yaitu hubungan keterkaitan dan
kecocokan pendidikan dengan dunia kerja serta ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam nuansa penanaman nilai-nilai Islam.
Dari
pemahaman diatas dapat ditarik suatu pandangan bahwa konsep link and match
merupakan konsepsi Aplikasi yang bukan hanya sebuah teori belaka, tetapi
merupakan acuan yang bisa diterapkan dalam dunia pendidikan secara bertahap
baik di sekolah umum, maupun disekolah yang berbasis agama terlebih lagi di
sekolah kejuruan.
Sebagai
contoh nyata ialah, kita bisa melihat bahwa konsepsi ini bisa diterapkan di
sekolah – sekolah, termasuk di Madrasah Aliyah. Caranya yaitu dengan memberi
sentuhan pendidikan keterampilan untuk melengkapi bekal hidup para lulusannya
dalam memenuhi tuntutan kehidupan yang obyektif, dengan dmikian lulusan
madrasah secara bertahap dan terprogram bisa menyebabkan pada cita-cita ideal
yakni memenuhi tuntutan normatif Islam juga mampu menjawab tantangan masyarakat
modern.
Bentuk
sentuhan itu bisa berwujud antara lain :
-
Membangun kemitraan antara pihak Madrasah dengan dunia kerja dapat diwujudkan
kerja sama dalam penanganan sistem pelatihan secara bersama. Jadi konkretnya
Madrasah seyogyanya menjadikan balai latihan kerja (BLK), dunia industri,
lembaga pendidikan, lembaga pendidikan kejuruan, politeknik dan sejenisnya
sebagai mitra kerja.
-
Membuat inovasi terhadap kurikulum muatan lokal dan memperkaya bekal
keterampilan.
-
Mencari format ekstrakurikuler yang produktif, yaitu selain kegiatan
ekstrakurikuler yang bersifat pendidikan formal seperti olah raga, musik, dan
lain-lain juga menyajikan kegiatan ekstra yang bersifat keterampilan praktis
seperti computer, tata boga, tata rias, manajemen dan lain sebagainya.
- E. Penutup
Setelah
memaparkan konsep link and match secara panjang lebar, baik tentang
berbagai kelebihan, relevansi dan kekurangannya, serta arah yang akan di capai
maka dapat ditarik beberapa hal pokok yang cukup penting diantaranya :
-
Untuk menjalankan konsep Link and Match pendidikan Islam dengan baik
maka diperlukan suatu kemitraan antara sekolah dengan dunia kerja.
-
Memperbanyak kegiatan-kegiatan job training bagi siswa agar menjadi
siswa yang trampil.
-
Perlunya etos kerja yang tinggi dari guru, siswa, dan juga komunikasi yang baik
antara guru dan siswa.
-
Penanganan ekstra kurikulum sebagai salah satu program sekolah secara
profesional sehingga hal tersebut betul-betul menjadi daya tarik tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Agama Republik Indonesia, 1997. .Al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya:
C.V. Jaya Sakti
Muhaimin.2006.
Nuansa Baru Pendidikan Islam.Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Putra Daulai
Haidar.2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jakarta:
Prenada Media.
Tafsir
Ahmad.2006.Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Tholkhah
Imam,Ahmad Barizi. 2004. Membuka Jendela Pendidikan.Jakarta: PT Raja
Grafindo.
______________,UUD”45
Dan Amandemen I,II,III,IV.2003.Semarang: Karya Cahaya.
Zulkarnain.
2008. Tranformasi Nilai –Nilai Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
BAB IV
PERAN WANITA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Nurjanah, Risti Widiastuti dan Muh. Muslichudin
- A. PENDAHULUAN
Kemajuan
ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Pendidikan yang
baik menjadi awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu dan pendidikan
merupakan modal mutlak yang harus dimiliki manusia tanpa memandang status
gender. Kemuliaan akhlak, toleransi, solidaritas sopan santun , menghormati
sesama, bersikap peduli dan tidak acuh terhadap kepentingan orang lain
merupakan hal yang dibebankan kepada semua individu baik laki-laki maupun
perempuan, tanpa diskriminasi dan perbedaan.
Secara
empirik pendidikan dan pelatihan yang rendah mutunya, tingkat kesehatan dan
status nutrisi rendah, serta akses yang terbatas terhadap sumber daya tidak
hanya menekan kualitas hidup perempuan. Namun, juga membatasi produktivitas,
menghalangi pertumbuhan dan efisiensi ekonomi. Dengan demikian, peningkatan dan
perbaikan status perempuan perlu dikejar,guna mencapai kesejajaran dan keadilan
sosial serta keseimbangan ekonomi.
Membicarakan
tentang kedudukan seorang wanita, mengingatkan kita akan ayat-ayat
Al Qur’an yang telah menginformasikan adanya kesetaraan kedudukan manusia
di hadapan Tuhan. Salah satu ayat tersebut adalah firman Alloh dalam Q.S Al
Hujurat:13 yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa –
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu”. Ayat tersebut membicarakan tentang penciptaan manusia
yang beraneka suku, bangsa, ras dan bahasa dengan tujuan untuk saling mengenal.
Tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam batas-batas tertentu,
tetapi Allah melihat manusia berdasrkan atas ketakwaannya.
Laki-laki
dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama secara publik. Alloh telah
menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki
kemampuan serta potensi yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan
keduanya dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas baik umum maupun khusus.
Untuk
memulai merintis jalan dalam pencapaian perbaikan nasib wanita, salah satu
jalan yang dianggap tepat adalah pendidikan Islam bagi wanita.
Dengan
pendidikan Islam, wanita diharapkan dapat menjunjung kaum wanita dari
kesengsaraan, penghinaan, dan kebodohan sehingga datang masa terang bagi kaum
wanita dengan timbulnya perintis-perintis, sebagai perintis kebangkitan
pendidikan wanita.[50]
Kedudukan
wanita dalam pendidikan Islam menjadi sangat penting. Tidak hanya laki-laki
saja yang yang bisa berkecimpung aktif dalam dunia pendidikan, tetapi wanita
juga sangat penting sebagai partisipant dalam kemajuan pendidikan Islam.
Syekh
Muhammad Abduh menulis bahwa, “Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari
hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka
untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak,
dan sebagainya merupakan persoalan-persoalan duniawi (sesuai perbedaan waktu,
tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah keagamaan.[51]
Betapa
kedudukan wanita menjadi sangat mulia dimana wanita mendapat hak yang sama
untuk berpartisipasi dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam menjadi
dasar bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk mengembangkan
potensi dan kemampuannya dalam rangka mengelola kemakmuran bumi.
- B. PEMBAHASAN
- a. Ilmu dan Pendidikan yang Seimbang
- Partisipasi Wanita dalam Pendidikan Islam
Agama Islam
sangat menganjurkan pemeluknya supaya gemar menunutut ilmu dan mengamalkannya.
Karena dengan ilmu kedudukan manusia akan terangkat beberapa derajat
sebagaimana yang diinformasikan Allah dalam surat Al Mujadilah ayat 11. Dan
salah satu jalan atau bahkan mungkin satu-satunya jalan dalam rangka menuntut
ilmu adalah dengan melalui pendidikan. Baik jalur formal, informal maupun
nonformal. Dengan adanya jalur pendidikan tersebut diharapkan pikiran, ide-ide
yang inovatif dan kreatif dari setiap manusia dapat disalurkan dan
dikembangkan.
Sehingga
dalam pemilihan jenis pendidikan pun sangat menentukan bagi pembentukan anak
didik. Karena pemilihan pendidikan yang sembarangan akan merusak perkembangan
anak didik. Oleh karenanya diperlukan pendidikan yang akan melahirkan anak
shaleh, yakni pendidikan yang seimbang, pendidikan yang memperhatikan
seluruh aspek dalam diri manusia (hati, akal, dan fisik).
Di sinilah
peran seorang wanita sebagai pendidik pertama bagi seorang anak. Sebagai
seorang pendidik pertama ia harus mampu untuk memenuhi kebutuhan perkembangan
hati, akal dan fisiknya dalam proses pendidikan.
- b. Peran Penting Wanita dalam Keluarga dan Pendidikan Islam
Setiap orang
tua mempunyai kewajiban memelihara dan mengembangkan fitrah atau potensi dasar
keislaman anak, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi muslim yang benar-benar
menyerahkan diri secara total kepada Allah SWT. Wajib bagi setiap ibu
mengajar/mendidik anak-anaknya taat kepada Alloh SWT, yakni dengan menjauhi
larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya, serta patuh kepada kedua
orangtuanya.
Seorang ibu
memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan langsung dalam
proses pemberian warna dasar pada anak, yakni peletak dasar/landasan
pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat dengan anak sejak
awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya.[52]
Dalam
pendidikan keluarga seorang anak dididik sejak mulai lahir hingga ia dewasa .
Pendapat ini mirip sekali dengan kurikulum pendidikan modern pada bangsa-bangsa
zaman dahulu, akan tetapi beberapa abad sebelumnya telah ada pendapat yang
berkaitan dengan hal tersebut yang menganjurkan supaya mulai diusahakan
mendidik anak sejak sebelum lahir (pendidikan pra-natal). Al-Ghazaly
mengharuskan agar anak diasuh oleh seorang perempuan yang shalihah dan dapat
menjaga diri, dan tidak boleh menyusukan anak kepada perempuan kecuali
perempuan yang memiliki sifat sama dengan perempuan yang mengasuhnya. Jangan
sampai menyerahkan anak yang diasuh dan disusui oleh perempuan yang tidak
beragama dan tidak shalihah, yang memakan makanan yang tidak halal.[53]
Di dalam
pendidikan akidah, seorang ibu harus mampu menanamkan akidah sedini mungkin,
sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi dalam kehidupan
itu ada pengatur, pengawas, tujuan hidup, dan akhir dari kehidupan. Anak diajak
mengenal Allah SWT dengan memperkenalkan bermacam-macam ciptaan Allah SWT.
Pendidikan tauhid sangat penting sebagai modal dasar bagi anak dalam menjalani
kehidupan nanti.
Dalam
pendidikan ibadah, ketika ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan, tidaklah
berat baginya dalam mengajak si calon bayi untuk ikut serta melakukan ibadah
harian. Seperti shalat, puasa, membaca al-qur’an, berdoa, berdzikir, dan lain
sebagainya. Sesuatu betapapun ringannya, kalau tidak dibiasakan akan terasa
berat. Sebaliknya, sesuatu bagaimanapun beratnya jika dibiasakan akan terasa
ringan. Seperti halnya disiplin, jika ditanamkan sejak kecil oleh orang tua,
maka akan meninggakan bekas yang lama, sehingga nantinya anak tidak mudah tergoda
meninggalkan perintah-perintah Alloh SWT.
Dalam
pendidikan dakwah, anak dididik agar menjadi seseorang yang mampu menyampaikan
ilmu kepada orang lain. Untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, anak
dididik supaya tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga memperhatikan
lingkungan sekitarnya.
Pendidikan
akhlak juga harus diberikan kepada anak. Suatu tugas, mau tidak mau pasti dan
harus mempunyai konsekuensi dan resiko. Dalam menyampaikan suatu ilmu dan
kebenaran, seorang wanita hendaknya menanamkan jiwa pemberani dan percaya diri
agar anak (putera/puterinya) mempunyai kesiapan mental menerima segala macam
cobaan. Tidak mudah menyerah dan patah semangat, harus mencerminkan akhlak
seorang yang teguh iman dan sabar.
Mengenai
pendidikan akhlak, kebiasaan yang baik kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang
lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak yang baik. Justru ketika kebiasaan baik
tidak ada dalam diri kita, maka dengan sendirinya kebiasaan buruk akan mewarnai
dan menghiasi seseorang tanpa harus dibiasakan. Kalau dibiarkan tidak terbina,
potensi dasar tersebut akan berkembang ke arah yang bertentangan dengan maksud
Allah SWT menciptakannya.
Pendidikan
pada pembentukan pemikiran (‘aqaliyyah) seorang anak juga dilakukan
seorang ibu. Pengasahan otak seorang anak semenjak kecil akan lebih bagus,
daripada jika sudah besar, seperti sebuah pepatah yang sudah populer “Belajar
di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, sedangkan belajar sesudah dewasa
bagai melukis di atas air “. Ibarat sebuah pisau, semakin lama waktu
mengasahnya maka semakin tajam. Tapi seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal
ini jangan sembarangan dalam memberikan bahan/alat pendidikan, seperti
buku-buku bacaan, untuk mengasah otak. Sekarang ini harus diwaspadai karena
banyak buku-buku yang ingin menghancurkan generasi Islam. Bisa jadi pendidikan
anak-anak usia dini menjadi arah atau sasaran perusakan tersebut.
Pendidikan
rohani dapat dilakukan juga dengan mengajak anak untuk shalat sejak anak
berumur 7 tahun, memberikan sansi (yang mendidik dan sewajarnya) kalau anak
meninggalkan shalat setelah anak berusia 10 tahun, mendidik anak mencintai
Rasulullah SAW, mengajari anak membaca al-qur’an, dan lain sebagainya.
Peran wanita
sebagai ibu atau istri tak ayal lagi berperan sentral dalam keberhasilan suami
atau anak. Suami dapat menjadi seorang tokoh besar karena kegigihan seorang
istri yang senantiasa mendampingi dan mendukung suami. Anak dapat menjadi
ilmuwan besar juga dengan kesabaran dan ketelatenan ibu dalam mendidik anaknya.
Di samping itu, wanita juga berperan sebagai pendidik generasi muda negeri ini,
yaitu dengan mendidik para pemudinya, bahkan juga para ibu rumah tangga yang
lain sebagai bagian dari masyarakat.
Kesiapan
seorang wanita dalam pendidikan agama, etika, bermasyarakat, dan sains menjadi
sangat penting apalagi jika ia berperan sebagai ibu yang menjadi sumber pertama
bagi pendidikan anak-anaknya. “Longlife education” menjadi suatu wacana yang
penting untuk dipahamkan. Pendidikan didapat bukan hanya dari bangku sekolah
dan kuliah. Sebenarnya kesempatan kerja dan proses bermasyarakat juga merupakan
sarana dan proses pendidikan. Seorang alumni pesantren misalnya, hendaknya
jangan merasa cukup dengan pengajaran yang ia dapatkan dari sekolahnya dahulu,
sebaiknya ia tetap mengkaji dan mengulang ilmu-ilmu keagamaan yang dibutuhkan
keluarga dan masyarakat.[54]
Seorang
wanita tidaklah cukup berkutat dalam rumah saja sebagai Ibu Rumah Tangga,
karena para tunas bangsa dan agama telah menunggu uluran tangannya. Karena
kewajiban bagi setiap wanita terhadap kawan-kawannya yang seagama yaitu
menganjurkan untuk membersihkan akidah dan tauhidnya dari pengaruh di luar
Islam; menjauhi paham-paham yang bersifat merusak dan menghancurkan sendi-sendi
Islam dan akhlak yang luhur yang diterimanya melalui buku, majalah, fillm, dan
sebagainya[55].
Menjadikan keluarga sebagai prioritas adalah pilihan bijak, tetapi alangkah
baiknya meskipun telah menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita tidak mematikan
potensi dirinya.[56]
Kesenjangan
atau gap pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di Indonesia
dan juga negara berkembang lainnya antara lain disebabkan oleh faktor budaya di
mana sebagian masyarakat Indonesia beranggapan bahwa pendidikan tinggi untuk
wanita dianggap tidak penting karena setinggi apapun pendidikan seorang wanita
tidak akan berguna karena pada akhirnya wanita hanya akan menjadi pengurus
rumah tangga, selain itu ada anggapan lain bahwa setinggi apapun kemampuan atau
pendidikan seorang wanita, hal itu tidak akan sebanding dengan pria karena
anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah daripada pria dan memang itu
kodrat wanita.[57]
- Wanita dalam Pandangan Islam
Peran wanita
muslimah dalam pendidikan generasi di masa akan datang dapat optimal untuk
menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus ulung dan para mujahid,
maka proses pembinaan para wanita muslimah tidak boleh dicukupkan ala kadarnya
apalagi diabaikan. Mereka perlu dibina dengan pendidikan Islam secara mapan
atau mendalam. Sehingga dapat mengarahkan, bahkan mendidik generasi penerusnya
menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan meraih kejayaan Islam
kembali.
Sesungguhnya
di dalam Islam terdaftar banyak cendekiawan dan ulama wanita, hal ini
menunjukkan bahwa wanita tidak disimpan di dalam kebodohan dan buta huruf.
Namun, sepenuhnya didukung untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran agama
Islam dan kepandaiannya adalah sebagai seorang guru pertama dari anak-anaknya.
Ada beberapa contoh dimana sejumlah wanita menolak sejumlah ulama besar di
zamannya jika mereka mengatakan yang bertentangan dengan hak bagi wanita yang
telah ditetapkan dalam al-qur’an dan as-Sunnah. Wanita muslim tidak hanya
diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan, tetapi juga mengkombinasikannya
dengan kualitas moral yang tinggi, yang diilhamkan oleh Islam bagi para ibu
dari kaum muslim.
Selain
berperan mengembangkan ilmu pengetahuan (secara tidak langsung) melalui jalur
pendidikan, banyak tokoh wanita yang mengukir prestasi besar dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan secara langsung kepada public (obyek). Tokoh
wanita yang mungkin layak disebutkan pertama kali adalah Aisyah ra. Pada masanya,
Aisyah ra. Banyak memberikan masukan dan ide-ide cemerlang dalam memajukan
Islam. Selain itu, beliau juga berperan besar dalam menjaga kemurnian sunnah
Rasulullah SAW, yang menjadikannya salah seorang sumber rujukan hukum Islam
pada zamannya.
Aisyah ra.
juga terkenal ahli dalam bidang fiqh yang nyaris tak tertandingi kehebatannya
dalam sejarah keilmuan Islam. Keahliannya dalam bidang Sunnah dan fiqh tersebut
membuat namanya tercatat dalam golongan intelektual papan atas di tahun-tahun
pertama Islam.[58]
Lois Lamya
al Faruqi atau Lois Ibsen (istri al Faruqi) menyuarakan pentingnya setiap muslim
menyadari perannya dan ia mengusahakan lahirnya sarjana-sarjana yang menguasai
tradisi Islam sekaligus tradisi barat. Lois Ibsen percaya umat Islam harus
menerima tantangan dunia modern dengan pikiran terbuka. Ia berkata bahwa
pendahulu-pendahulu kita dalu juga pernah meminjam peradaban lain yang
bermanfaat. Rangsangan ini untuk memacu mereka mencapai prestasi besar.
Dia mampu
memberi konstribusi dalam karier kesarjanaan al Faruqi, menyebarkan ide-idenya,
dan lebih-lebih nekad berusaha melindungi al Faruqi pada saat malam
pembunuhannya.[59]
Keberhasilan
kita yang sejati sebagai wanita adalah sesuai yang diharapkan Alloh SWT sebagai
ibu kaum muslimin yang taat. Itu adalah perbuatan yang benar-benar berharga,
yang menjadi bekal di alam kubur kelak dan satu-satunya perbuatan yang berarti
di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat.[60]
- Kesimpulan
Sesungguhnya
bahwa peranan wanita dalam pendidikan Islam, terutama dalam kehidupan moral dan
agama sangatlah penting. Maka untuk menunaikan tugas dan fungsi-fungsinya yang
sangat penting itu, wanita perlu dipersiapkan dengan baik, dengan melalui
berbagai cara, baik pendidikan formal maupun non formal. Wanita diharapkan
dapat dijadikan contoh dari akhlaknya yang baik itu, baik dalam kehidupan rumah
tangga ataupun kehidupan sosial.[61]
Wanita tidak
dapat diremehkan dan diabaikan, karena di balik semua keberhasilan dan
kontinuitas kehidupan, di situlah peran yang besar dari wanita. Wanita adalah
guru pertama bagi seorang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan
ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai.
Wanita
berpartisipasi dalam pendidikan Islam sejak manusia diciptakan dalam rahimnya.
Pendidikan tersebut meliputi berbagai sendi, antara lain adalah pendidikan
sebelum lahir (pendidikan pra-nata), pendidikan akidah, pendidikan ibadah,
pendidikan dakwah, pendidikan akhlak, pendidikan ‘aqaliyyah (akal), pendidikan
rohani, dan lain sebagainya. Selain berperan dalam lingkup keluarga, wanita
juga berpartisipasi besar di dunia pendidikan pada generasi muslim yang tangguh
dan berjiwa sosial.
Selain
berperan dalam pendidikan Islam dalam keluarga, banyak pula wanita yang
berperan di luar lingkup keluarga, tanpa melalaikan tugas dan kewajiban sebagai
seorang ibu dan istri untuk mendukung keberhasilan dan semangat suami dalam
hal-hal yang positif. Hal ini telah dicontohkan dari beberapa tokoh wanita
dalam pendidikan Islam yang tersebut di atas, seperti ‘Aisyah ra.
- C. PENUTUP
Setelah
mengkaji beberapa hal tentang peran dan partisipasi dari wanita dalam
pendidikan Islam. Maka dapat dirasakan benar-benar pentingnya peran wanita
dalam pendidikan, karena setiap manusia lahir di dunia telah membawa potensi.
Baik dan buruknya pertumbuhan dan perkembangannya dalam kehidupan manusia
tersebut tentu tidak terlepas dari peran dan partisipasi wanita. Sehingga,
bagaimana perilaku dan kepribadian manusia terbentuk sesuai dengan bagaimana
seorang ibu dari manusia tersebut melakukan partisipasinya atau melaksanakan
perannya sebagai seorang ibu, istri, dan sebagai teladan bagi anak-anaknya dan
generasi muda yang akan datang.
Peranan
wanita yang solikhah tentu akan menghasilkan manusia yang mempunyai perilaku
dan kepribadian yang baik. Tentunya dengan perilaku dan kepribadian yang baik
tersebut akan menjadikannya seorang muslim yang berakhlak mulia, yaitu taat
kepada Alloh SWT dan patuh kepada kedua orang tuanya. Seberapa partisipasi atau
peran wanita tersebut akan menentukan pendidikan Islam pada kehidupan manusia
di dunia dalam mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At Tuwanisi, 2002. Perbandingan Pendidikan
Islam. Jakarta: RINEKA CIPTA.
Exotic-smansaka.110mb.com.
Peran Wanita dalam Ilmu Pengetahuan.
Hendraku.blog.co.uk.
Tugas Utama Wanita.
Insidenwinme.blogspot.com.
Wanita dalam pembangunan (wanita dalam pendidikan)
Islamiyah.Wordpress.com.
Wanita dan Pendidikan yang sebenarnya.
Media.isnet.org.
Peranan Wanita dan Kebangkitan Umat Islam Masa Kini.
Mustaghfirin
dkk. 2008. Membuka Cakrawala Pendidikan Islam. FSPI.
Shafiq,
Muhammad, 2000. Mendidik generasi Baru Muslim. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
www.hudzaifah.org/Article49.phtml. Peran wanita dalam membangun
Negara dan Umat.
Rukiati,
Enung K dan Fenti Hikmawati. 2006. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Bandung: CV Pustaka Setia.
IIU
Islamabad/www.nupakistan.or.id.
BAB V
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Oleh : Ahmad Afwan dan Tia Artiana
- A. PENDAHULUAN.
Gambaran
konsep pendidikan yang sempurna dan di idam – idamkan oleh berbagai kalangan
agaknya adalah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Potret dunia pendidikan
Indonesia yang terpuruk menjadi semakin terpuruk dan sangat sulit dicari
solusinya. Banyak problem pendidikan yang hampir 100% dikarenakan masalah biaya,
menjadikan mutu pendidikan negara Indonesia semakin buruk.
Di tengah kehidupan yang cenderung materialistik saat ini, di benak setiap orang hanya ada kalimat “bagaimana cara saya bertahan hidup”. Kecenderungan era globalisasi yang menyebabkan kaum kaya makin sejahtera dan kaum miskin makin merana dan bertambah jumlahnya. Apabila pendidikan sudah dikomersialisasikan, mungkin masyarakat kalangan atas masih bisa dan mampu menerima dengan tangan terbuka, maksudnya adalah mereka mau dan mampu membayar berapapun untuk mendapatkan pendidikan yang layak, baik, dan tinggi.
Di tengah kehidupan yang cenderung materialistik saat ini, di benak setiap orang hanya ada kalimat “bagaimana cara saya bertahan hidup”. Kecenderungan era globalisasi yang menyebabkan kaum kaya makin sejahtera dan kaum miskin makin merana dan bertambah jumlahnya. Apabila pendidikan sudah dikomersialisasikan, mungkin masyarakat kalangan atas masih bisa dan mampu menerima dengan tangan terbuka, maksudnya adalah mereka mau dan mampu membayar berapapun untuk mendapatkan pendidikan yang layak, baik, dan tinggi.
Tetapi jika
kita lihat ke belakang masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis
kemiskinan yang tidak mampu mengecap kesejahteraan itu. Apakah mereka tidak
diperkenankan mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan cita – cita
bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa memandang status
ekonomi kaumnya. Akankah mereka mendapatkan pendidikan yang layak atau mungkin
mereka hanya cukup melihat orang lain yang mampu menanggung biaya di setiap
jenjang pendidikan, baik dari tingkat paling dasar ( TK/SD ), menengah (SMP/SMA
atau yang sederajat) hingga pendidikan tinggi yang dirasakan masyarakat semakin
mahal. Dan apakah pendidikan hanya diperuntukkan bagi kaum yang ber”uang”. Dari
kenyataan itu, pendidikan ternyata justru malah menciptakan kondisi kesenjangan
sosial. Hal tersebut dapat terlihat ketika kaum elite berebut ”kue” pembangunan
dan kaum miskin merjadi objek pembangunan. Pendidikan seakan menjadi sesuatu
yang diperjualbelikan yang akan memberikan keuntungan dan penghasilan bagi
pengelolanya[62]
Sebenarnya
sudah jelas didalam konstitusi kita yakni sesuai amanat UUD 1945 dan UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam amendemen UUD
1945 Pasal 31 Ayat (2) disebutkan “setiap warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.[63] Hal itu dipertegas di Bab 8 bagian
4 tentang pengalokasian dana pendidikan pasal 49 ayat (1), “dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dari sektor pendidikan dan
minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) “.[64]
Selain
kecenderungan komersialisasi dunia pendidikan, yang tidak kalah merisaukan
adalah gejala kuat liberalisasi akibat kekuatan kapitalis dalam sekala global
yang dimotori World Trade Organization (WTO) antara lain melalui General
Agreement on Trade in Services(GATS). Dalam GATS tercantum secara eksplisit
bahwa pendidikan termasuk salah satu komponen jasa atau bidang usaha yang
menjadi objek pengaturan WTO.[65]
- B. PEMBAHASAN
- 1. PENGERTIAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Komersialisasi
: penerapan sistem mencari untung. yakni memandang
segala sesuatu diukur dengan keuntungan secara finansial atau uang. Tujuannya
yakni memperoleh keuntungan sebesar-besarnya guna memenuhi kepentingan bisnis
semata.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat
bangsa dan negara.[66] Pendidikan meliputi pengajaran
keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih
mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah
satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Jadi komersialisasi pendidikan adalah menjadikan pendidikan sebagai komoditas
untuk mencari keuntungan finansial atau kepentingan bisnis.
Ada suatu
pola rutin yang dijalani di sekolah-sekolah di indonesia setiap penutupan dan
pembukaan tahun ajaran,terutama sejak dekade 1980-an. Pada penutupan tahun
ajaran-biasanya setelah tes sumatif atau kenaikan kelas banyak yang mengadakan
stady tour ke daerah – daerah tujuan wisata, seperti Yogyakarta, Bali, dan
Jakarta yang biasanya dikunjungi oleh wisata pelajar dari berbagai penjuru
daerah.sedangkan pada tahun ajaran baru sekolah secara sistimatis memaksa murid
untuk melakukan pendaftaran ulang dengan membayar uang , membeli seragam baru
atau buku paket. Pelaksanaan kedua pola tersebut hanya berdasar asumsi terbaik
saja, bahwa keduanya bahwa keduanya berdampak positf terhadap pendidikan
nasional, tapi tidak pernah dipertimbangkan dampak negatifnya sama sekali.[67]
Pendidikan
pada dasarnya adalah membuat manusia lebih berkemanusiaan dan
berkeadilan. Menurut Ivan Illich, suatu pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, diantaranya adalah, ia harus menyediakan
peluang bagi semua orang untuk belajar dan memperoleh
pendidikannya. Tapi ironisnya, pendidikan yang seharusnya menciptakan keadilan malah justru semakin
melegitimasi dan bahkan menyuburkan ketidakadilan
tersebut, ketidakadilan tersebut kemudian menciptakan siklus
kemiskinan sistemik, bahwa yang bodoh dan miskin selamanya akan miskin. Padahal pendidikan harus untuk semua, anak-anak miskin tetap
harus memperoleh pendidikan yang bermutu, karena itu peran negara pun kemudian dipertaruhkan. Negara sebagai institusi pengambil kebijakan harus
merekonstruksi ulang aturan-aturan yang
mendiskreditkan golongan miskin dan bodoh, bahwa orang miskin dan bodoh itu sebetulnya sama dengan manusia-manusia lainnya,
mereka sama-sama ingin pintar dan kaya, dalam artian
hidup berkecukupan.[68]
- 2. KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI
Indonesia
merupakan negara yang dari segi ekonomi masyarakatnya banyak dari
golongan tidak mampu, oleh karena itu dalam persoalan pendidikan pemerintah harus menyusun regulasi dalam upaya melakukan kontrol
terhadap makin liarnya komersialisasi dalam
pendidikan, sudah menjadi rahasia umum kalau sekolah itu mahal,
karena memang tidak ada undang-undang yang mengatur tentang penentuan biaya pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi,
sehinga yang terjadi adalah sekolah dengan biaya mahal
menjadi harga mati bagi rakyat miskin.
Komersialisasi
terjadi karena negara malas mengambil peran, negara sekarang menghamba
kepada demokrasi liberal. Demokrasi liberal ini memiliki sejumlah dogma yang menjadi kepercayaan dasarnya, pertama negara
wajib mengadopsi sistem ekonomi liberal, sebuah sistem
yang mempertautkan satu negara dengan yang lain berdasar
pada aturan perdagangan bebas yang dikomandoi oleh rezim WTO, ekonomi liberal ini telah membuat semua negara dipicu untuk membuka
pasar dan mencabut semua subsidi yang memiliki tujuan
perlindungan, aturan kedua adalah melakukan privatisasi
terhadap semua sektor publik, pemerintah dilucuti perannya agar tidak melakukan kontrol, tapi membiarkan sektor swasta untuk
mengambil alih, dan yang ketiga adalah menempatkan
negara sebagai penjamin bagi kelangsungan sistem ekonomi
pasar.
Dengan
gagasan demokrasi liberal itu kemudian berimplikasi terhadap kapitalisasi
dan komersialisasi terhadap semua bentuk layanan publik, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, tak heran kalau kemudian
negara membuat serangkaian aturan hukum yang
memberikan kebebasan penuh pada pasar untuk mengelola
pendidikan, contohnya adalah membuat kebijakan tentang pengalihan status beberapa universitas dari PTN (Perguruan Tinggi
Negeri) menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan
memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mendirikan
lembaga pendidikan dalam berbagai bentuk. Dengan alasan mendasar yang
melatrbelakangi mengapa pemerintah melakukan perubahan setatus badan hukum PTN
yaitu:Dalam ragka menjalankan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional pada pasal 51 ayat (2) tentang
prinsip pelaksanaa pengelolaan satuan pendidikan tinggi yang dilaksanaka secara
otonom dan pasal 53 ayat (1)-(3) tentang badan hukum pendidikan, maka
pemerintah mengupayakan suatu sistem pendidikan tinggi yang dilaksanakn secara
mandiri, berorientasi pada mutu, prinsip nirlaba, serta mampu mengelola dana
pendidian secara mandiri. Upaya tersebut menggiring pemerintah untuk
melaksanakan pilot project pelaksanaan peguruan tinggi BHMN pada beberapa PTN.
Yaitu Universitas Indonesia, UGM, ITB, dan IPB, yang acuan pelaksanaanya
berdasar PP No. 152 Tahun 2000 untuk UI, PP Nomor 153 tahun 200 untuk UGM,
PP Nomor 154 Tahun 2000 untuk ITB, dan PP Nomor 155 Tahun 2000 untuk IPB.[69]
Tapi
bagaimana yang terjadi kemudian, kebijakan tersebut malah justru berdampak pada biaya kuliah yang tinggi, karena memang
pemerintah melepaskan perannya secara penuh terhadap
perguruan tinggi tersebut, sedangkan perguruan tinggi
tersebut tidak mampu untuk menggali dana sendiri selain dari mahasiswa, otonomi sekolah dan kampus yang pada dasarnya
dimunculkan dalam rangka upaya menuju desentralisasi
pendidikan malah justru berbuah pada mahalnya biaya pendidikan,
karena otonomisasi itu lebih mengarah pada kemandirian sekolah atau perguruan tinggi dalam mencari sumber biaya guna memenuhi
proses kegiatan belajar mengajar (KBM), sedangkan otonomi kurikulum malah terkesan kurang diperhatikan. Oleh sebab itu maka otonomisasi harus
diluruskan pemaknaannya, karena dalam kenyataannya
otonomi pendidikan malah justru melahirkan differensiasi
kualitas pendidikan yang mencolok, di wilayah masyarakat kaya pendidikan
dapat berkualitas, sedangkan di wilayah miskin pendidikan akan stagnan.
Seharusnya
pemerintah harus menyusun undang-undang tentang biaya
pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi seperti yang
terjadi di negara-negara lain, seperti di Inggris misalnya, penentuan uang
kuliah dilakukan melalui undang-undang yang disepakati
oleh parlemen. Pemerintah jangan
melepaskan pembiayaan pendidikan hanya dengan dalih otonomi, seorang ibu akan membiarkan anaknya untuk bermain, melakukan sesuatu
sesuai kemauan hatinya, tapi seorang ibu masih
membiayai kehidupan anaknya, maka anak tidak boleh
bekerja mencari uang. Negara harus belajar dari ibu dan anak, artinya biarlah sekolah dan perguruan tinggi membikin sendiri manajemennya,
sistem pembelajarannya, maupun paradigmanya, tapi
dalam persoalan pembiayaan, pemerintah harus
bertanggung jawab, baik pembiayaan terhadap negeri maupun swasta,
seperti yang terjadi pada pendidikan di Singapura misalnya, pembiayaan pendidikan semuanya ditanggung oleh negara tanpa membedakan
negeri maupun swasta.
jangan terjadi seperti sekarang ini, otonomisasi berarti perguruan tinggi menggali dananya sendiri, sehingga masyarakat yang menjadi
korbannya.
- 3. KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DENGAN BHP
RUU badan
hukum pendidikan (BHP), sebagaiman diamantkan pasal 53 ayat (1) UU No. 23 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), sudah memasuki tahap uji
piblik. Menurut sisdiknas, penyelenggaraan pendidikan harus berbentuk badan
hukum pendidikan (BHP). Pro dan kontra pun bermunculan, pihak yang pro
menyatakan bahwa BHP akan mampu menciptakan atmosfer bagi perguruan tinggi yang
berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya, serta dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. sedangkan madrasah /sekolah
akan mampu menerapkan otonomi berdasarka prinsip manajemen berbasis
sekolah,yang beraksi keras khususnya dari kalangan yayasan penyelenggaran
pendidikan, menghawatirkan, kehadiran BHP menimbulkan
keresahan dikalangan pengelola yayasan pendidikan lantaran
keberadaan yayasan sebagai pengelola pendidikan secara langsung tidak diakui.[70]
Terlepas
dari sikap pro dan kontra yang terus mencuat agaknya stigma dunia pendidikan
kita selama ini sudah berbau fasis dan komersil semakin menyengat tajam. dari
tahun ke tahun, isu komersialisasi terus meruyak. Pendaftaran siswa baru bahkan
sampai perguruan tinggi memberikan peluang bagi pemuja budaya instan untuk
melakukan aksi suap – menyuap, fenomena itu dapat dilihat dari dua persepektif:
- Merebaknya budaya instan di tengah masyarakat yang makin abai dalam kesalehan hidup.
- Kekeliruan dalam menafsirkanmakna otonomi yang sejak beberapa tahun terakhir menggejala dalamdunia pendidikan.
Dengan dalih
untuk menjalin kemitraan dalam menggali dana, sebuah institusi pendidikan
seolah-olah sah apabila melakukan pengembangan institusi dengan cara
komersialisasi pendidikan. Bukan budaya mutu yang dikembangkan disekolah,
melainkan budaya petak umpet yang terjadi pada dunia pendidikan saat ini untuk
mendapatkan keuntungan berkedok otonomi pendidikan.
- 4. DAMPAK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
- Komersialisasi pendidikan mengakibatkan sulitnya akses bagi masyarakat terhadap pendidikan dari tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi karena syarat utama untuk memasuki lembaga pendidikan adalah kemampuan finansial masyarakat bukan kemampuan berpikir.
- Di dalam lembaga pendidikan, khususnya PTN yang telah menjadi BHMN terdapat kesenjangan lebar antara mahasiswa yang diserap murni dari kemampuan berpikir dengan mahasiswa yang diserap karena kemampuan finanasial. Kondisi ini tidak baik bagi perkembangan dunia akademik.
- Perguruan Tinggi tidak lagi fokus mengurus dan melayani pendidikan bagi para mahasiswanya, perhatiannya terpecah kepada urusan-urusan yang bersifat profit dan bisnis sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia.
- BHMN dan BHP diberikan peluang melakukan. Hal ini menjadi sarana bagi pihak asing (khususnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara maju lainnya) untuk melakukan intervensi pendidikan melalui senjata utang langsung ke lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.
- Peranan masyarakat Indonesia untuk pembiayaan pendidikan tidak dapat terlalu diharapkan terhadap dunia pendidikan Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya apa yang dimaksud UU Sisdiknas dan RUU BHP tentang kemandirian masyarakat adalah menyerahkan institusi pendidikan kepada para pemilik modal. Bagi lembaga-lembaga donor yang berbasis ideologis seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation, hal ini melapangkan jalan bagi mereka guna mendorong perguruan tinggi melakukan riset yang berbasis kepentingan ideologi Kapitalis-Sekuler.[71]
- C. KESIMPULAN
Komersialisasi
pendidikan di Indonesia terjadi pada perguruan tinggi, perubahan status perguruan tinggi menjadi BHMN (Badan Hukum Milik
Negara) merupakan embrio dari liberalisasi yang
diamini oleh pemerintah, implikasi dari itu adalah perguruan
tinggi melakukan proses komersialisasinya dengan ‘seenaknya’ menentukan
biaya kuliah, sehingga kuliah mahal menjadi harga mati bagi rakyat miskin tak berdaya, selain itu lembaga pendidikan semacam
perguruan tinggi juga telah kehilangan rohnya sebagai
media pembaharu atau ladang ilmu yang disebabkan oleh
matinya budaya di perguruan tinggi tersebut. Karena itu perlu dilakukan
pembagian tugas bagi pemerintah dan masyarakat, peran pemerintah dalam pendidikan harus lebih dipertegas lagi, tugas
pemerintah tidak hanya mengeluarkan undang-undang saja
tapi lebih dari itu pemerintah harus berfungsi sebagai
pengawas yang adil. sedangkan komersialisasi di sekolah terjadi karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga
sekolah bermetamorfosis menjadi area pasar dengan
tujuan mengeruk laba melalui bisnis buku pelajaran
atau seragam sekolah, semangat elitisme sekolah juga dapat dilihat dari sulitnya menjadi pintar bagi anak yang bodoh dan
miskin, selama ini mereka tidak diberi ruang untuk
memperoleh akses pendidikan yang lebih bermutu dikarenakan
semangat elitisme dan kapitalisme yang menggejala di setiap sekolah dengan mempertimbangkan kekuatan finansial untuk masuk ke
sekolah negeri atau favorit melalui test masuk.
Karena itu
komersialisasi harus dihentikan, sekolah harus tidak membeda-bedakan
golongan, entah itu golongan miskin-kaya, pintar atau bodoh, semua harus diberi hak untuk memperoleh pendidikannya, sekolah bisa
dikatakan berhasil kalau sekolah itu bisa meluluskan
siswa-siswa yang tadinya bodoh menjadi pintar. Menurut penulis
sendiri sekolah-sekolah favorit atau negeri itu belum dikatakan berhasil, karena sekolah-sekolah tersebut hanya menerima murid-murid
pintar saja, artinya dari pintar kemudian dididik
menjadi pintar itu wajar, yang luar biasa adalah sekolah yang
mendidik murid bodoh kemudian menjadi pintar.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtiyas.2004.
Pendidikan Yang Memiskinkan.Yogyakarta: Galang Press.
Hasbullah.2007.Otonomi
Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mustagfirin,dkk.2008.Membuka
Cakrawala Pendidikan.forum studi pendidikan islam & FOMM publisser.
http://www.wedangjae.com/index.php?option=com_content&task=view&id=286&Itemid=30. diakses pada tanggal 4 juni 2009
pukul 20:00
http://sawali.info/2008/04/09/mewaspadai
komersialisasi pendidikan/ diakses pada tanggal 4 juni 2009 pukul 20:00
http://www.klik19.co.cc/ diakses pada 12 juni 2009 pukul
21:00
PMII
komisariat tribhakt,komersialisasi pendidikan pasca orde baru. diakses pada
tanggal 4 juni 2009 pukul 20:00
Pemerintah
RI.2006. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS). Yogyakarta:Pustaka Belajar
Undang –
undang dasar RI.1945.Semarang : Karya Cahaya.
BAGIAN II
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Bab VI
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
BAB VII
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI NEGARA BERKEMBANG
BAB VIII
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT
BAB IX
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUBSISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Bab VI
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
Oleh : Feri Fadli, Nur Endah dan Tri Ika K
A.
Pendahuluan
Pesantren
adalah lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem
pendidikan. Secara historis, pesantren tidak saja mengandung makna keislaman,
tetapi juga keaslian Indonesia. Dewasa ini pandangan masyarakat terhadap
dunia pesantren dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, masyarakat
yang menyongsong masa depan. Kedua,masyarakat yang menaruh perhatian
sekaligus harapan bahwa pesantren merupakan model alternatif pendidikan Islam
di masa depan.[72]
Sejak
ratusan tahun yang lalu ketika pesantren mulai berdiri, di lembaga ini telah
diajarkan ilmu dan nilai-nilai agama kepada santri. Pada tahap pendidikan
pesantren bertujuan semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama saja melalui
kitab-kitab klasik atau kitab kuning yang diajarkan dalam bentuk sorogan,
hafalan dan mezakarah. Ciri yang menonjol adalah penanaman nilai-nilai
agama pada santri melalui kitab-kitab santri.
Dengan
seiring perkembangan zaman masuklah ide-ide pembaharuan pemikiran ke Indonesia,
yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam pendidikan. Pendidikan pesantren
yang mulanya hanya berorientasi pada pendalaman ilmu-ilmu agama, kini mulai
dimasukkan mata pelajaran umum dan berbagai bentuk ketrampilan untuk memperluas
cakrawala berpikir santri, dapat ikut serta dalam ujian negara dan memiliki
keterampilan dalam berbagai bidang. Diharapkan dengan penanaman ilmu-ilmu
agama, ilmu-ilmu umum dan berbagai bidang ketrampilan, pesantren mampu
menciptakan kader ulama bangsa dan negara dan menjadikan pesantren sebagai
lembaga model alternatif di masa depan.[73]
B. Latar
Belakang Pendidikan Islam di Pesantren
Pendidikan
Islam di pesantren bila kita lihat dari segi latar belakang munculnya,
jauh sebelum negara kita dijajah oleh negara barat yang membawa misi
kristenisasi dan westernisasi, telah ada hubungan antara ulama-ulama Indonesia
dengan ulama-ulama Timur Tengah dan pedagang-pedagang Arab, India dan Cina yang
hadir di Indonesia pada masa kerajaan. Kedatangan penjajah ke Indonesia pada
waktu telah merdeka adalah untuk menerapkan sistem kolonialisme. Kemudian,
Bangsa Indonesia mulai melakukan perlawanan terhadap sistem kolonial yang
mereka terapkan demi kebebasan agama dan bangsa. Dari sinilah ulama-ulama
Indonesia mulai menggerakkan santri-santri pondok pesantren yang mereka pimpin
untuk anti penjajahan, khususnya dalam bidang pendidikan Islam di pondok pesantren.
Ulama-ulama
dan pesantren pada masa penjajahan memegang peranan yang sangat besar dalam
membebaskan agama dan negara serta sebagai pelopor perjuangan melawan penjajah,
sebagaimana yang dikatakan KH. Yusuf Hasyim : “Dalam sejarah terutama tahun
1945, pesantren di Jawa dan di luar Jawa memainkan peran yang sangat penting
dalam perjuangan. Pada waktu siang menjalankan fungsinya sebagai lembaga
pendidikan, tetapi begitu matahari terbenam, pesantren berubah menjadi ajang
latihan laskar yang siap untuk berperang. Sehingga tidak sedikit pesantren yang
menjadi korban keganasan penjajah”.[74]
Pondok pesantren
sendiri pada saat ini masih menerapkan sistem pendidikan bentuk asrama
sebagaimana yang diterapkan oleh ulama-ulama dahulu. Namun seiring perkembangan
zaman pondok pesantren saat ini membuka peluang bagi pelajar-pelajar dan
mahasiswa untuk mendalami ilmu agama setelah mereka pulang dari lembaga-lembaga
pendidikan yang diberikan pada sore hari.
Bila kita
teliti kembali pada sistem pendidikan Islam di Indonesia maka akan kita temukan
dua model pendidikan agama Islam :
- 1. Model pendidikan dengan sitem dan metodologi baru yang dikenal dengan kaum modern ada pada pondok pesantren modern.
- Model pendidikan yang masih mempertahankan tradisi lama yang dikenal dengan kaum tradisional, ada pada pondok pesantren salaf. [75]
Dengan
memperhatikan dua model pendidikan pondok pesantren diatas, maka kita dapat
menemukan beberapa perbedaan. Pertama, terlihat dalam keilmuan. Kedua,
dalam metode pembelajaran dan penggunaaan alat-alat bantu pendidikan. Ketiga,
Penggunaan sarana pendidikan.
C.
Bentuk-bentuk Pesantren
- Pesantren yang masih terikat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Ciri-ciri
dari pesantren ini adalah :
- Pengkajian kitab klasik semata
- Memakai metode sorogan, wetonan dan hafalan
- Tidak memakai sistem klasikal. Pengetahuan seseorang diukur sejumlah kitab yang pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia berguru
- Tujuan pendidikan adalah untuk meninggikan moral, melatih spiritual dan kemanusiaan
- Pesantren yang inti pelajarannya menggunakan kitab-kitab klasik yang diajarkan dalam bentuk klasikal dan nonklasikal. Disamping itu, diajarkan ekstra kurikuler dalam bentuk sistem klasikal. Tingkat pendidikan dibagi pada jenjang pendidikan dasar 6 tahun, menengah pertama 3 tahun dan pendidikan atas 3 tahun. Selain pelajaran agama di pesantren ini juga diajarkan pengetahuan umum.
- Pesantren yang di dalamnya progam keilmuan telah diupayakan menyeimbangkan ilmu agama dan umum, struktur kurikulum yang dipakai ada yang mendasarkan pada struktur madrasah negeri dengan memodifikasi mata pelajaran agama dan ada yang memakai kurikulum yang dibuat pondok pesantren.
- Pesantren yang mengutamakan pengajaran ilmu ketrampilan disamping ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok.
- Pesantren yang mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan formal dan non formal.[76]
Sebagai
lembaga pendidikan Islam tertua pesantren telah banyak mencetak kader-kader
pendidik di dalam masyarakat, pengemban misi dan penetralisir budaya-budaya
barat yang merusak. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketahanan keislaman
masyarakat Indonesia selama 350 tahun dijajah dan diganggu akidahnya oleh
Belanda.
D. Metode
Pendidikan di Pesantren
Dalam sebuah
pondok pesantren setidaknya ada 6 kategori materi yang diterapkan dalam
pendidikan di pesantren yakni : 1) metode keteladanan (uswah al hasanah),
2) Latihan dan pembiasaan, 3) mengambil pelajaran (ibrah), 4) nasehat (mauidzah),
5) kedisiplinan, 6) pujian dan hukuman (targhib wa tahdzib).
1)
Metode Keteladanan ( uswah al hasanah )
Secara
psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan
sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan lewat keteladanan adalah pendidikan
dengan cara memberi contoh-contoh kongkrit pada para siswa. Dalam pendidikan
pesantren, Kyai atau Ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik
bagi para santri dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang
lain. Karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang
disampaikan. Semakin konsekuen seorang Kyai atau Ustadz menjaga tingkah
lakunya, semakin didengar ajaran dan nasehatnya.
2)
Metode latihan dan pembiasaan
Mendidik
dengan latihan dan pembiasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan
terhadap suatu norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam
pendidikan pesantren metode ini biasanya diterapkan pada ibadah-ibadah seperti
sholat berjamaah, kesopanan pada Ustadz dan Kyai, pergaulan dengan sesama
santri dan lainnya.
3)
Metode mengambil pelajaran ( ibrah )
Seorang
tokoh pendidikan asal Timur Tengah mendefinisikan ibrah dengan suatu
kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu
perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur
dan diputuskan secara nalar. Sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati
untuk tunduk kepadanya yang akan mendorongnya kepada perilaku berpikir sosial
yang sesuai.
Tujuan
pedagogis dari Al-Ibrah adalah mengantarkan manusia pada kepuasan
berpikir tentang perkara agama yang bisa menggerakkan, mendidik atau menambah
perasaan keagamaan.
4)
Mendidik malalui mauidzah ( nasehat )
Mauidzah berarti nasehat. Rasyid Ridla
mengartikan mauidzah sebagai berikut :
“Mauidzah
adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa saja
yang dapat menyentuh hati dan membangkitkannya untuk mengamalkan”.
Metode
mauidzah harus
mengandung tiga unsur, yakni : (1) uraian tentang kebaikan dan kebenaran; (2)
motivasi melakukan kebaikan; (3) peringatan tentang dosa atau bahaya yang akan
muncul dari adanya larangan, bagi diri sendiri maupun orang lain.
5)
Mendidik melalui kedisiplinan
Pendidikan
melalui kedislinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan
mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi pada setiap pelanggaran,
sementara kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik berbuat adil dan arif, tidak
terbawa emosi atau dorongan-dorongan lain.
Beberapa hal
yang harus diperhatikan seorang pendidik sebelum menjatuhkan sangsi :
- Peringatan atau penyadaran. Diberikan pada santri yang sudah pernah melakukan pelanggaran pertama.
- Hukuman sesuai dengan peraturan yang ada. Ini bagi santri yang sudah melakukan pelanggaran.
- Dikeluarkan dari pesantren atau dikembalikan kepada walinya. Ini bagi santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran dan tidak mengindahkan segala nasehat dan arahan.
6)
Mendidik melalui ( targhib wa tahdzib )
Targhib adalah kebajikan dan menjauhi
kejahatan. Tahdzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat
tidak benar.[77]
Dari keenam
metode pendidikan pesantren diatas peran seorang Kyai atau Ustadz sangat
dominan dalam mengembangkan metode pengajaran dan metode yang diterapkan masih
bersifat klasik seperti ketika memberikan materi masih menggunakan sistem
sorogan dan bandongan. Lepas dari persolan itu, ketradisionalan yang melekat
dalam pondok pesantren tidak selamanya buruk, artinya sistem dan metode
tradisional yang diterapkan di pesantren tidak harus ditinggalkan begitu saja,
hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat
secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan
tekhnologi. Mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernisasi dalam
konteks praktek pengajaran merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Sebab jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit
bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.
E. Manajemen
Pendidikan Pesantren
Pola
manajemen pesantren cenderung dilakukan secara insidental dan kurang
memperhatikan tujuan yang telah disistematisasikan secara hierarkhis. Perubahan
mendasar dalam pengelolaan pesantren belum terlihat misalnya penerimaan siswa
baru masih dilakukan dengan terbuka untuk semua individu yang mempunyai latar
belakang dan kemampuan tanpa mengadakan tes terlebih dahulu. Usaha kategorisasi
dan klasifikasi santri secara kualitatif tidak pernah dilakukan.
Pesantren saat ini sudah berusaha membuka mata untuk dunia luar dengan
meniscayakan kebutuhan pola kerjasama antara simbiosis mutualisme antar pesantren
dengan institusi yang mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa
transformasi, Pola ini dapat dilakukan dalam pengembangan sumber daya
pesantren agar mampu menghadapi tantangan kontemporer yang semakin
komplek.
F.
Nilai-Nilai Pesantren
Pada dasarnya
pesantren dibangun atas keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu,
yaitu komunitas santri yang ingin menimba ilmunya dan pengalamannya. Relasi
ditaktik ini akan saling melengkapi.
Komunitas
keagamaan pesantren dilandasi oleh keinginan bertafaqquh fi al-din (
mendalami/mengkaji agama ) dengan kaidah al-muhafzhah ‘ala al-qadin
al-ashalih wa al-akhdzabi al-zadid al-ashlah ( memelihara tradisi lama yang
baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik ). Keinginan dan kaidah ini
merupakan nilai pokok yang cukup untuk kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk
falsafah yang cukup sederhana tetapi mampu mentransformasikan potensi dan
menjadikan pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat.
Sehingga eksistensi pesantren dapat dikategorikan sebagai lembaga pengembangan
masyarakat.
Pesantren
menjadi kokoh juga karena adanya Panca Jiwa pesantren yang membantu dua nilai
diatas agar eksistensi pesantren terus berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Pertama, jiwa keikhlasan yaitu rangkaian
sikap dan tindakan serta perilaku yang didasari hanya mengharapkan ridlo dari
Allah SWT, hal ini harus tertanam dalam jiwa komunitas pesantren.
Kedua, jiwa kesederhanaan yaitu bukan
hanya menerima apa adanya tetapi ada unsur mengendalikan diri dan kemampuan
menguasai diri, ada unsur kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan.
Ketiga, jiwa kemandirian yaitu bukanlah
kemampuan mengurusi masalah-masalah internal pesantren, tetapi kemampuan untuk
membentuk kondisi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak menggantungkan
diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain.
Keempat, jiwa bebas yaitu pesantren mampu
memilih jalan hidup dan masa depannya sendiri. Dengan jiwa besar dan
sikap yang siap untuk menghadapi segala problematika kehidupan dengan
nilai-nilai Islam.
Kelima, jiwa ukhuwah islamiyah
yaitu jiwa yang mematri suasana damai, sejuk, senasib, saling membantu dan
saling menghargai bahkan saling men-support dalam pembentukan dan
pengembangan idealisme santri.
Sejumlah
nilai di atas sangat membantu pesantren dalam mengeksiskan keberadaannya
sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika zaman. Globalisasi teknologi industri
yang mendunia tidak menggoyahkan eksistensi pesantren sebagai penjaga dan
sekaligus pelestari nilai-nilai Islam.[78]
G.
Prediksi tentang Pesantren Masa Depan
Apabila
seluruh pesantren kita anggap satu, maka kita semua akan memperoleh gambaran
tentang masyarakat Islam itu sendiri. Suatu gejala yang sejak lama
melanda masyarakat Islam adalah pendekatan antara orang-orang yang menggunakan
filsafat / fikih dan tashawuf. Pengaku filsafat sering menganggap
orang fikih itu menyatakan orang filsafat sering meninggalkan ajaran
ritual. Orang tashawuf berkata bahwa orang fikih itu hanya
menggeluti agama, orang fikih tidak merasakan lezatnya agama.
Sementara orang fikih menyatakan bahwa orang tashawuf banyak
melakukan bid’ah.
Keadaan
seperti itu terjadi juga di Indonesia, bahkan sampai hari ini pesantren ikut
terlibat dalam perang tersebut. Ini terjadi karena belum dikuasainya
suatu paradigma yang mampu menyelesaikan pertikaian itu.
Dalam Islam
ada tiga paradigma besar pengetahuan yaitu :
- Paradigma sains adalah pengetahuan yang diperoleh dari akal/indra
- Paradigma logis adalah pengetahuan obyek
- Paradigma mistik adalah pengetahuan tentang obyek-obyek abstrak supralogis dengan hati.
Bila benar
kelak pesantren mampu mengambil ketiga paradigma itu. Maka nilai-nilai
lama yang positif akan bertahan pada pesantren. Sementara nilai baru akan
terseleksi, pesantren tidak akan gugup menghadapi arus globalisasi, bahkan
paradigma kedua memberikan kemungkinan pada pesantren-pesantren agar mampu,
tidak sekedar sebagai filter budaya melainkan mampu menjadi perekayasa dan
pengontrol budaya. Inilah pesantren masa depan. Inilah ide saya
tentang pesantren masa depan. Gejala untuk munculnya pesantren yang saya
idealkan kelihatan disana sini sudah ada, bila banyak orang ikut mempercepat
kemunculannya. Tentu pesantren ideal itu akan lebih terwujud dan bila
sudah terwujud maka sumbernya bagi pembangunan masyarakat termasuk pencapaian
tujuan pendidikan diharapkan semakin besar.[79]
H.
Penutup
Pendidikan
Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi
muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk
jasmani maupun rohani. Menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi
dengan Allah SWT, manusia dan alam semesta. Masyarakat sangat berharap lembaga
pesantren dapat menjadi lembaga alternatif untuk mempersiapkan diri anak didik
menghadapi masa depan yang bukan hanya memberikan, mengkaji, dan mengamalkan
ilmu-ilmu agama tetapi juga dapat memberikan ilmu-ilmu umum dari berbagai
bidang ketrampilan agar anak didik dapat mengembangkan cakrawala pengetahuan
dan memiliki ketrampilan dan sikap menghadapi perubahan dan perkembangan zaman.
Untuk saat
ini sudah tiba saatnya pesantren membuka mata agar dapat mengembangkan dan
memperbaiki berbagai kekurangan yang ada dalam metode, sistem, manajemen dan
penanaman nilai-nilai Islam agar anak didik tidak hanya memiliki pengetahuan
agama dan umum tetapi memiliki iman dan takwa serta siap mengadapi arus
globalisasi dan zaman yang terus berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi.
2008. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Burhanudin,
Tamyiz. 2001. Akhlak Pesantren. Yogyakarta : Ittaga Press.
Dawlay,
Putra Haidar. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta : Prenada Media.
Tafsir,
Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
Tholkhah,
Imam dan Bariz Ahmad. 2004. Membuka Jendela Pendidikan “Mengurai Akar
Tradisi dan Integritas Keimanan Pendidikan Islam”.Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Zuhairini,
dkk. 2000. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Ttradisionalisme
pesantren. ( Penulis lupa tanggal pengutipan ).
BAB VII
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI NEGARA BERKEMBANG
Oleh : Muhamad Fachrurodin dan Heriyanto
- A. PENDAHULUAN
Modernisasi
di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “pembangunan” (development),
yaitu proses multidimensional yang kompleks.[80] Pendidikan di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia, dipandang masih terbelakang dalam berbagai
hal,dan karena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program
modernisasi. Karena itulah pendidikan harus diperbaharui atau dimodernisasi, sehingga
dapat memenuhi harapan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Modernisasi
pendidikan Islam dapat dilakukan antara lain dengan adanya pembaharuan dalam
segi sistem dan kebijakan politik pendidikan Islam.
Mengutip
suara Dipertais : No. 16 tahun. II, 30 September 2004 bahwa, Indonesia adalah
sebuah Negara yang mayoritas pendudukanya memeluk agama Islam. Jika
dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, maka penduduk Muslim
Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut
akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional.
Namun, realitasnya tidak demikian. Jumlah umat muslim yang sangat besar
tersebut ternyata tidak memiliki ideologi, politik dan budaya yang kuat. [81]
Oleh karena
itu, pembaruan dibidang pendidikan Islam sangatlah penting. Karena dengan
adanya pembaruan tersebut diharapkan mampu menjadikan penduduk muslim di
Indonesia menjadi warga Negara yang memiliki ideologi, politik serta budaya
yang kuat.
- B. SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Sebelum kita
membahas lebih jauh tentang sistem pendidikan Islam, terlebih dahulu kita
ketahui tentang tujuan daripada pendidikan Islam itu. Tujuan pendidikan
Islam antara lain adalah :
- Tujuan Keagamaan
Yaitu
pendidikan Islam bertujuan mempertemukan manusia dengan Allah (pribadi dengan
tuhanya) melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak, kewajiban,
sunat dan yang fardhu bagi seorang mukallaf,
- Tujuan Keduniaan
Dapat juga
disebut tujuan pendidikan modern. Yaitu tujuan pendidikan diarahkan pada
pekerjaan yang berguna (pragmatis) atau untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan
masa depan.[82]
Pada awal
berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara
informal. Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim. Setiap
ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam.
Didikan dan
ajaran agama Islam mereka berikan dengan perbuatan, dengan contoh dan tiru
teladan, misalnya sopan santun, ramah tamah, tulus ikhlas, amanah dan
kepercayaan, pengasih dan pemurah dan sebagainya. Dengan demikian tertariklah
penduduk Indonesia ingin memeluk Islam.[83]
Seiring
dengan berjalannya waktu sistem pendidikan informal, lebih disempurnakan
menjadi sistem pendidikan non formal. Pendidikan ini dilakukan di tempat-tempat
tertentu, misalnya langgar, surau, masjid dan lain sebagainya untuk belajar
mengaji kepada seorang guru agama.
Tempat-tempat
pendidikan seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan
pondok pesantren dan pendidikan yang formal yang berbentuk madrasah atau
sekolah yang berdasar agama.
a)
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem
pendidikan pondok pesantren masih sama seperti sistem pendidikan di surau,
langgar atau masjid hanya saja lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Di pondok
pesantren pendidikan dilakukan secara halakah. Mereka menerima pelajaran
yang sama, belum dirancang sebuah kurikulum tertentu berdasar umur, lama
belajar atau tingkat pengetahuan. [84]
b)
Sistem Pendidikan Madrasah
Dalam
perkembangannya, sistem pendidikan madrasah dibedakan menjadi :
1)
Madrasah Diniyah yaitu madrasah khusus memberi pendidikan dan pengajaran agama.
2)
Madrasah yang disamping memberikan pendidikan dan pengajaran agama juga memberi
pelajaran umum. [85]
Setelah
Indonesia merdeka pemerintah sangat memperhatikan tumbuhnya pendidikan agama
Islam. Pendidikan agama Islam dijadikan salah satu bidang studi yang
diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. MPR telah menetapkan dalam GBHN bahwa
pendidikan agama dimasukan dalam kurikulum sekolah sejak sekolah dasar sampai
universitas.
- C. KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN PEMERINTAH INDONESIA
- Politik Masa Pra Kemerdekaan
Kebijakan
politik masa tersebut berada di tangan penjajah Belanda. Belanda menerapkan
politik diskriminatif terhadap rakyat jajahannya terutama pada umat Islam. Oleh
karena, itu kebijakan pada masa pra kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh politik
dan kebijakan pemerintah pada masa itu, yakni pemerintah kolonialis Belanda.
- Kebijakan Kebijakan Politik Masa Orde Lama
Pada masa
ini, politik pendidikan Islam lebih diarahkan pada upaya memperbarui dan
memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan
tuntutan zaman.
Masa orde
lama berada dalam tarikan tiga kekuatan, yakni nasionalis,
sekularis-komunis dan Islamis. Hal ini mengakibatkan perhatian pemerintah
terhadap pendidikan islam sangat kurang. Bahkan umat Islam terpinggirkan dan
banyak tokoh Muslim dipenjarakan. Sehingga politik pemerintah waktu itu lebih
terfokus terhadap upaya membendung paham komunis.
- Kebijakan Politik Masa Orde Baru
Pada awal
masa orde baru politik pendidikan berdasarkan ketetapan MPRS No.XXVII/MPRS/1966,
yang secara umum tujuan pendidikan masa orde baru adalah untuk membentuk
manusia yang berjiwa pancasila, cerdas, terampil dan berbudi pekerti luhur
serta berkepribadian Indonesia yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pembangunan.
- Kebijakan Politik Masa Reformasi
Pemerintahan
Reformasi ditandai oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi. Namun tidak
terdapat banyak perbedaan dengan politik pemerintah sebelumnya, yaitu masih
diberlakukanya sentralisasi pendidikan seperti dalam hal kurikulum, ujian,
akreditasi, anggaran dan berbagai aturan lainnya[86].
Sampai saat
ini, pendidikan di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara Asia lainnya.
Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang belum terfokus pada bidang
pendidikan khususnya masalah pembangunan pendidikan yang sesungguhnya sangat
dibutuhkan oleh Negara untuk kemajuan Indonesia sendiri.[87]
- D. ISI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Membicarakan
tentang isi pendidikan Islam di Indonesia, kita tidak terlepas dari tujuan yang
hendak dicapai oleh pendidikan Islam sendiri. Yang mana tujuanya adalah
mengajarkan pokok-pokok aqidah agama Islam dan ajaran-ajaran Islam menjadi
mudah difahami serta dilaksanakan.[88]
Adapun isi
pendidikan Islam pada tingkat permulaan meliputi :
- Belajar membaca Alqur’an
- Pelajaran dan praktek sholat
- Pelajaran ketuhanan (teologis) atau ketauhidan
Pada tingkat
yang lebih tinggi diajarkan pelajaran bahasa arab, ushul fiqh serta diajarkan
pula aturan-aturan tentang nikah, mawaris dan sebagainya.[89]
Apabila
disimpulkan maka isi pendidikan agama Islam sampai munculnya madrasah adalah
sebagai berikut :
- Pengajian Al Qur’an, pelajaranya :
- Huruf hijaiyah dan membaca al qur’an
- Ibadat (praktek dan perukunan)
- Keimanan (tentang sifat Allah yang 20)
- Akhlaq (dengan cerita dan suri teladan)
- Pengajian Kitab :
- Ilmu Saraf
- Ilmu Nahwu
- Ilmu Fiqh
- Ilmu Tafsir[90]
Materi-materi
tersebut diatas sama untuk seluruh Indonesia, terutama materi pelajaran kitab.
- Munculnya Sistem Madrasah
Penyelenggaraan
pendidikan pada sistem lebih baik dan lebih terorganisir. Dalam sistem ini
telah dibuat kurikulum yang teratur dan telah direncanakan. Akan tetapi materi
yang diberikan masih seperti sebelumnya.
Setelah
munculnya sistem madrasah, pendidikan Islam telah mencakup 12 macam ilmu dengan
berbagai macam kitabnya, yaitu :
Ilmu Nahwu
|
Ilmu Ushul
Fiqh
|
Ilmu Saraf
|
Ilmu Badi’
|
Ilmu
Tafsir
|
Ilmu
Ma’ani
|
Ilmu
Tauhid
|
Ilmu Bayan
|
Ilmu
Hadist
|
Mantiq
(logika)
|
Ilmu Fiqh
|
Mustalah
Hadist
|
- Masa Pembaharuan Islam
Gerakan pembaruan
Islam mempengaruhi pula tujuan pendidikan Islam dan materi-materi pendidikan
Islam. Apabila sebelumnya menitik beratkan pada penguasaan bahasa arab secara
fasih dan mengetahui ajaran Islam, maka gerakan pembaharuan Islam menghendaki
agar murid dapat mengembangkanya. Maka, pendidikan Islam lebih banyak
ditekankan pada penguasaan bahasa arab dan ilmu pengetahuan umum.
Sebagai
contoh, rencana pelajaran dari Madrasah Salafiyah Pesantren Tebu Ireng Jombang
pada tahun 1919. Disamping pelajaran agama dan bahasa arab seperti yang telah
dilaksanakan, ditambah dengan pelajaran pengetahuan umum, yaitu12 :
- Membaca dan menulis huruf latin
- Mempelajari bahasa Indonesia
- Mempelajari ilmu berhitung
Menyadari
pembaharuan sistem pendidikan Islam di Indonesia, sistem pendidikan di
madrasah-madrasah mulai dibenahi dan kurikulumnya tidak lagi mengkhususkan pada
pendidikan agama tapi telah dimasukan ilmu pengetahuan umum yang lebih luas.[91]
Pemberian
ilmu pengetahuan umum pada lembaga-lembaga agama ini tampak semakin menjadi
kebutuhan. Agar lulusan sekolah-sekolah madrasah bisa menyesuaikan diri dengan
alam maka timbul usaha pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu madrasah agar
sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sederajat.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, dikeluarkan SKB 3 Mentri. Berdasarkan SKB tersebut
pengetahuan umum dan pengetahuan agama di madrasah berbanding 70% (umum) dan
30% (agama). Tujuan pokok dari SKB tersebut adalah agar mutu pengetahuan umum
di madrasah sama dengan mutu pengetahuan disekolah yang sederajat. [92]
- E. PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA SAAT INI
Pendidikan
Islam Indonesia sampai saat ini masih terasa sangat terpinggirkan jika
dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Hal tersebut disebabkan karena
kemampuan ekonomi lembaga pendidikan Islam itu sendiri.
Terdapat
hambatan serta peluang dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Hambatan yang dimaksud adalah persoalan penduduk, wawasan, dana dan pembangunan
pendidikan Islam terpadu. Dan peluangnya adalah penyebaran kebenaran ajaran
agama Islam, tunggalitas pancasila, mayoritasnya masyarakat muslim Indonesia,
terbukanya perkembangan teknologi serta dukungan pemerintah karena otonomi
daerah. Dari pemetaan hambatan dan peluang tersebut terdapat tiga paradigma,
yaitu: formisme, mekanisme dan organisme.
Untuk
mengembangkan pendidikan Islam Indonesia diformulasikan dengan membangun
kesamaan langkah dalam dua hal yaitu, membangun kerangka filosofis dan teoritis
pendidikan Islam serta membangun sistem pendidikan Islam yang diproyeksikan
melalui laboratorium fungsi ganda. Yang dimaksud laboratorium fungsi ganda
adalah antara lain perumusan visi, misi, tujuan pendidikan Islam dan lain
sebagainya.[93]
- F. KERJA SAMA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI BIDANG PENDIDIKAN ISLAM
Diantara Indonesia dan Malaysia
terjalin kerjasama dibidang pendidikan Islam karena Pendidikan Islam di
Indonesia selangkah lebih maju dibanding di Malaysia. Menurut Wakil Direktur
Pendidikan Islam dan Moral Kementrian Malaysia, Haji Dangitan Mustafa bahwa
pendidikan Islam Indonesia suatu model ideal.
Indonesia
mempunyai peran yang sangat besar bagi perkembangan pendidikan Islam Malaysia.
Salah satunya adalah bahwa Malaysia mengakui banyak mengadopsi sistem
pendidikan Islam Indonesia, misalnya sistem pendidikan model pesantren di
Indonesia, mengirim sarjana-sarjana Malaysia ke Institut-Institut Islam di
Indonesia. Malaysia juga mengadopsi cara membaca Alqur’an dengan sistem iqro’
serta banyak guru Malaysia yang dikirim ke Indonesia untuk mempelajari dan
membandingkan kurikulum pendidikan agama Islam di Indonesia.
Tujuan dari
berbagai kerja sama tersebut salah satunya adalah untuk membangun perspektif
soal perdamaian. [94]
- G. TOKOH PEMBANGUNAN PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Kemajuan
yang terjadi dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia tidak terlapas dari
peran serta pemikiran para tokoh pembaruan pendidikan Islam. Dibawah ini akan
dibahas beberapa tokoh yang berjasa dalam pembangunan pendidikan Islam.
- K.H.Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan
berpandangan bahwa pembentukan kepribadian adalah sangat penting. Beliau
menganggap pembentukan kepribadian sebagai target terpenting dari tujuan
pendidikan.
Menurutnya,
pendidikan harus membekali siswanya dengan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, (menurut K.H
Ahmad Dahlan) pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan
tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup.
Untuk
mencapai visi misinya dalam pembangunan pendidikan Islam di Indonnesia, beliau
mendirikan Muhammadiyah. Pendirian organisasi tersebut turut mempercepat
pendirian sekolah-sekolah baru dengan model yang baru. Misalnya sekolah-sekolah
yang didirikan di Karangkajen (1913), Lempuyangan (1915) dan Pasargede (1916)[95]
- K.H.Hasyim Asy’ari
Aktivitas Hasyim
Asy’ari yang berhubungan dengan pendidikan :
a)
Mengajar
b)
Mendirikan Pesantren
Beliau
mendirikan pondok pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899.
c)
Mendirikan Organisasi
Organisasi
yang didirikan adalah Jamiah Nadhatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Pokok pikiran
dalam organisasi tersebut dikenal dengan sebutan qanun asasi Jamiah NU14.
Inti dari pokok pikiran tersebut mencakup latar belakang berdirinya Jamiah NU,
hakikat dan jatidiri Jamiah NU, potensi umat yang diharapkan akan menjadi
pendukung NU, perlunya ijtima’, ta’aruf, ittihad, dan ta’alluf
dalam NU serta keharusan warga NU bertaklid pada salah satu pendapat imam
mazhab.[96]
- Ki Hajar Dewantara
Visi, misi
dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat
perjuangan untuk mengangkat harkat martabat dan kemajuan umat manusia secara
universal sehingga ia dapat berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain
yang telah maju dengan tetap berpijak pada identitas dirinya sebagai bangsa
yang memiliki peradaban yang berbeda dengan bangsa lain.[97]
- K.H Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) muncul sebagai seorang politisi dan akademisi. Gagasan dan
pemikiran Gus Dur tentang pendidikan berkisar pada modernisasi pendidikan
pesantren. Berbagai aspek pendidikan pesantren mulai dari visi, misi, tujuan,
kurikulum, manajemen serta kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki
sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi[98].
- Prof . Dr.Azyumardi Azra,M.A.
Gagasan dan
pemikirannya tentang pendidikan dapat ditelusuri dari berbagai kebijakan yang
diambil selama menjabat sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Azyumardi Azra ikut berperan dalam perubahan IAIN menjadi UIN.
Beliau
mengemukakan gagasannya tentang modernisasi pendidikan Islam yang berhubungan
dengan tantangan abad ke-21 dan era globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi. Gagasannya adalah antara lain melalui pengembangan kajian Islam
sebagai disiplin keilmuan universitas, peningkatan kualitas sumber daya
manusia, serta pembentukan sekolah-sekolah unggul.[99]
- H. PENUTUP
Pendidikan
merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Begitu
juga dengan Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan (pendidikan umum maupun
pendidikan Islam) harus diprioritaskan. Pendidikan di Indonesia selalu
mengalami perkembangan walaupun belum dapat seperti yang dicita-citakan, salah
satunya adalah dari segi sistem pendidikan yang digunakan.
Seiring
dengan perkembangan zaman, sistem pendidikan Islam di Indonesia juga semakin
disempurnakan sesuai dengan kebutuhan saat ini. Apabila dibandingkan dengan
pedidikan Islam di Negara berkembang lainnya, sebagai contoh adalah Negara
Malaysia. Di Indonesia sedikit lebih maju. Oleh karena itu, pemerintah Malaysia
melakukan kerjasama dengan Indonesia di bidang tersebut. Dengan kerjasama
tersebut diharapkan dapat memberikan hal positif bagi kedua Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan
Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nata,
Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan. Bogor: Fajar Interpratama
Offset.
____________.
2004. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada.
____________.
2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia.
Jakarta: PT Grafindo Persada.
Zahairini,
Dra. 2000. Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta: PT Bumi Aksara.
http : //
www. cmm. or. id.
http : //
www. msi- uii. net/
http: //www.
Sib- Bangkok.org/news/index.com
BAB VIII
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT
Oleh : Martyas Stiawan, Muharomah dan Rindra Tri
Istianto
- A. PENDAHULUAN
The series
which connect the movement of Islamic philoshophy idea, are long assimilation
and acculturation of Islam and Greece culture process, since al Kindi and Ibnu
Rusyd try to make realitation between both of the cultures. Philosophis
study which depart from Al-Qur’an, and actually the way to think of
Islamic Education Philosophy is not too different from the way to think of
Greece Philosophy. According to the reality of Islam tradition and West
realism, they are profess the existention of the Creator, although is confessed
that the God in Islam and God in West philosophy is different.[100]
Pandangan
tersebut ketika dihadapkan dengan barat tidak relevan. Al-Quran sebagai dasar
pemikiran adalah mutlak rujukan utama. Berbeda dengan dunia barat yang bertitik
tolak dari rasio. Problematikanya adalah apakah pemahaman itu akan saling
melengkapi atau saling menyingkirkan?
Berangkat
dari pendidikan jika diintrepretasikan sebagai wahana pembentukan watak, maka
filsafat harus dipahami sebagai teori umum. Disamping itu, teori filsafat
pendidikan membutuhkan data empiris yang hanya didapat dari praktik pendidikan.
Demikian halnya, praktek tanpa didasari teori tidak mempunyai acuan dan tujuan
yang jelas.[101]
Filsafat
Pendidikan Islam sebagai teori yang melandasi pendidikan Islam dalam tataran
praktik hendaknya dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam realitas.
Dengan kata lain, nilai dan keyakinan dapat terinternalisasikan sesuai dengan
prinsip “Rahmatan lil’alamin”. Maka, pendidikan Islam harus bisa memberi
warna dalam setiap sendi kehidupan. Sehingga manusia yang memiliki kelebihan
dari makhluk lain, sebagai “Kholifah fil Ardl” dapat menerjemahkan
kedudukannya dalam Hablu min Alloh dan Hablu min Annas.
Bagaimana
dengan Barat yang sama-sama mengakui adanya Tuhan? Suatu perbandingan bukanlah
cara untuk mendiskreditkan salah satu di antaranya, namun adalah jalan untuk
mencari sebuah relasi antara keduanya.
- B. FILOSOFI PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan
adalah suatu usaha nyata dan terarah untuk sebuah tujuan yang dicita-citakan yakni
mendewasakan anak didik (transformasi ilmu pengetahuan). Secara sederhana
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai Pendidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadits
serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek seejarah umat
Islam.merupakan suatu hal yang mensifati dan menjiwai esensi pendidikan
tersebut.
Pendasaran
filosofi pendidikan Islam secara intepretatif diterapkan pada masa kini untuk
mengimbangi pendidikan barat yang hanya menitik beratkan pada ilmu keduniaan
dan mengesampingkan aspek etika agama. Pendidikan Islam dapat menjadi
alternatif model pendidikan, sebagai langkah awal dalam penyusunan sistem
pendidikan untuk mengimbangi sistem Pendidikan barat, Islamisasi Pengetahuan
yakni mencoba mengisinya dengan nilai-nilai Islam, untuk selanjutnya pendirian
universitas Islam sebagai alternatif terhadap model Barat.[102] Islam bersumber pada wahyu yakni
Al-Quran dan hadist, sehingga Pendidikan Islam secara logis sebagai kelanjutan
dari renungan mengenai Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam Pendidikan,
Islam memiliki empat konsep yaitu:
- Islam sebagai Agama terakhir dan penyempurnaan agama wahyu sebelumnya.
- Islam mengajak manusia kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti .
- Islam merupakan sebuah nilai dan norma secara dinamis berdasarkan pada setting sosial dan dimensi ruang dan waktu.
- Islam adalah petunjuk hidup yang menghidupkan, tidak bersifat baku dan operasional.
Untuk
mengetahui arah Pendidikan Islam sebagai suatu sistem diperlukan tiga pilar
dasar pengkajian yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Manusia sebagai
kholifah mendapat tugas untuk menerjemahkan, menjabarkan dan mewujudkan fungsi
Tuhan sebagai Robbul’alamin dan Robunnas di dunia ini. Dengan demikian, tugas
pendidikan Islam tidak terpisahkan dari tugas hidup manusia untuk rahmatan
lil’alamin. Ada tiga hal pokok yang perlu dipahami dalam Filosofi Pendidikan
Islam dalam hal konsep manusia sebagai kholifah yaitu wawasan ketuhanan,
kemanusian dan kealaman. Tuhan yang merekomendasikan manusia untuk mengolah
alam dengan akalnya, baik buruknya akan bergantung dan merupakan tanggung jawab
manusia terhadap Tuhannya. Wawasan ketuhanan menumbuhkan ideologi, idealisme
dan cita-cita perjuangan yang akan melahirkan ilmu-ilmu keagamaan.
Wawasan kemanusiaan akan menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan, kebersamaan,
demokratis serta akan muncul ilmu-ilmu humaniora. Selanjutnya wawasan tentang
alam melahirkan semangat dan sikap ilmiah, sehingga melahirkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta kesadaran untuk melestarikannya, sebab alam bukan
semata-mata obyek yang harus diekploitasi, melainkan sebagai mitra dan sahabat
yang ikut menentukan cara kehidupan.[103]
Manusia
tersusun dari unsur materi, yaitu tubuh yang mempunyai hayat dan unsur immateri
yaitu ruh yang mempunyai dua daya yaitu daya rasa (aspek qolbiyah) dan daya
pikir (aspek aqliyah). Daya rasa bila diasah dengan baik akan mempertajam hati
nurani, daya pikir jika dilatih akan mempertajam penalaran. Adanya dwi sifat
manusia rohaniah dan jasmaniah maka ilmu yang harus dikembangkan oleh
manusia terdiri dua jenis. Pertama, ilmu yang merupakan pemberian Allah
(potensi bawaan) yaitu fitroh dan yang kedua adalah ilmu capaian
(diperoleh dengan usaha atau ijtihad).
Manusia
sebagai kholifah yang mempunyai potensi bawaan ke alam nyata ketika
memasuki wilayah praktis pendidikan harus diarahkan pada kemampuan peserta
didik dengan fitrahnya masing-masing, Hubungan murid dan guru berjalan sebagai
konsep mahluk Allah yang sama-sama memiliki tanggung jawab sebagai kholifah,
sehingga anggapan bahwa guru segala-galanya adalah tidak benar.
Dalam aspek
aksiologi yang harus dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam adalah Islam
itu sendiri yaitu terwujudnya pribadi yang berperilaku luhur sesuai ajaran Al-Quran
dan Sunah.
- C. FILOSOFI PENDIDIKAN BARAT
Filosofi
Pendidikan di Barat merupakan terapan dari filsafat umum. Berangkat dari hasil
pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan dan nilai kemudian bermuara
pada pendidikan itu sendiri.[104] Aliran Pendidikan Barat berkarakter
dan berkembang pada barat karena para penggagasnya adalah tokoh barat.
Rasionalitas sangat mendominasi dalam perkembangannya, sehingga aspek nilai
“termarginalkan”. Pengaruh sistem Pendidikan Barat terhadap sistem
Pendidikan Islam terbukti berakibat tidak hanya Pendidikan Islam tidak lagi
berorientasi sepenuhnya pada tujuan dan cita-cita Islam, tetapi juga tidak
mencapai tujuan Pendidikan Barat yang bersifat sekuler.[105]
- D. PENGERTIAN PERBANDINGAN PENDIDIKAN
Istilah
perbandingan pendidikan jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris berarti comparative
education. Kata comparative diartikan sebagai bersamaan atau sama,
sedangkan kata education diartikan sebagai pendidikan. Dengan demikian,
berdasarkan pengertian etimologis tersebut maka istilah comparative
education memiliki makna terhadap adanya kecenderungan yang sama dalam
kegiatan pendidikan.
Dari pengertian etimologis tersebut maka pengertian perbandingan pendidikan secara terminologis berkaitan erat dengan aspek praktis, yakni: membandingkan sesuatu dengan (compare with). Sehingga dari kedua pengertian ini memunculkan pemahaman terhadap istilah comparative yang apabila dihubungkan dengan kata education berarti suatu upaya untuk membandingkan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan atau menemukan perbandingan yang ada dalam pendidikan.
Mengenai perbandingan pendidikan ini, pada awal mula kemunculannya disebut sebagai pendidikan internasional. Setelah disiplin ilmu ini berkembang kemudian barulah disebut sebagai comparative education. Kemunculan disiplin ilmu ini dalam bidang pendidikan memunculkan dua versi penyebutan, ada yang menyebutnya dengan istilah pendidikan perbandingan dan ada pula yang menyebutkannya dengan istilah perbandingan pendidikan.
Versi pertama yakni pendidikan perbandingan, dalam penyebutannya cenderung memungkinkan terjadinya mis-interpretasi, mengingat struktur bahasa Indonesia selalu menggambarkan hubungan subjek dan objek (antara yang menerangkan dan yang diterangkan). Pada versi ini, kesalahan penafsiran mungkin terjadi jika kata perbandingan dianggap menjadi objek kajiannya, sedangkan kata pendidikan menjadi subjeknya. Apakah mungkin, istilah pendidikan (sebagai subjek yang lebih dekat dengan faktor fungsional) menjadi metodologi bagi istilah perbandingan (sebagai objek yang lebih dekat dengan faktor sistematika)? Sehingga menimbulkan pengertian bahwa dalam pendidikan perbandingan yang dipelajari adalah seputar informasi perbandingan-perbandingan semata, padahal orientasi disiplin ilmu ini lebih luas pembahasannya mencakup dinamika pendidikan di berbagai negara atau studi perbandingan tentang kegiatan pendidikan di berbagai negara (a comparative study of education betweencountries).
Pada versi yang kedua yakni perbandingan pendidikan, istilah perbandingan (sebagai subjek yang memuat faktor sistematika) menjadi metodologi yang menerangkan tentang pendidikan (sebagai objek yang memuat orientasi pelaksanaan pendidikan secara fungsional), yang erat keterkaitannya dengan berbagai determinasi, seperti determinan filosofi dan ideologi suatu bangsa atau negara, determinan sosial, budaya, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain. Tinjauan perbandingan pendidikan kepada berbagai determinasi tersebut akan melahirkan ciri khas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa atau negara bagi masyarakatnya. Sehingga akan memunculkan tokoh- tokoh yang mempelopori Pendidikan.
Dari pengertian etimologis tersebut maka pengertian perbandingan pendidikan secara terminologis berkaitan erat dengan aspek praktis, yakni: membandingkan sesuatu dengan (compare with). Sehingga dari kedua pengertian ini memunculkan pemahaman terhadap istilah comparative yang apabila dihubungkan dengan kata education berarti suatu upaya untuk membandingkan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan atau menemukan perbandingan yang ada dalam pendidikan.
Mengenai perbandingan pendidikan ini, pada awal mula kemunculannya disebut sebagai pendidikan internasional. Setelah disiplin ilmu ini berkembang kemudian barulah disebut sebagai comparative education. Kemunculan disiplin ilmu ini dalam bidang pendidikan memunculkan dua versi penyebutan, ada yang menyebutnya dengan istilah pendidikan perbandingan dan ada pula yang menyebutkannya dengan istilah perbandingan pendidikan.
Versi pertama yakni pendidikan perbandingan, dalam penyebutannya cenderung memungkinkan terjadinya mis-interpretasi, mengingat struktur bahasa Indonesia selalu menggambarkan hubungan subjek dan objek (antara yang menerangkan dan yang diterangkan). Pada versi ini, kesalahan penafsiran mungkin terjadi jika kata perbandingan dianggap menjadi objek kajiannya, sedangkan kata pendidikan menjadi subjeknya. Apakah mungkin, istilah pendidikan (sebagai subjek yang lebih dekat dengan faktor fungsional) menjadi metodologi bagi istilah perbandingan (sebagai objek yang lebih dekat dengan faktor sistematika)? Sehingga menimbulkan pengertian bahwa dalam pendidikan perbandingan yang dipelajari adalah seputar informasi perbandingan-perbandingan semata, padahal orientasi disiplin ilmu ini lebih luas pembahasannya mencakup dinamika pendidikan di berbagai negara atau studi perbandingan tentang kegiatan pendidikan di berbagai negara (a comparative study of education betweencountries).
Pada versi yang kedua yakni perbandingan pendidikan, istilah perbandingan (sebagai subjek yang memuat faktor sistematika) menjadi metodologi yang menerangkan tentang pendidikan (sebagai objek yang memuat orientasi pelaksanaan pendidikan secara fungsional), yang erat keterkaitannya dengan berbagai determinasi, seperti determinan filosofi dan ideologi suatu bangsa atau negara, determinan sosial, budaya, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain. Tinjauan perbandingan pendidikan kepada berbagai determinasi tersebut akan melahirkan ciri khas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa atau negara bagi masyarakatnya. Sehingga akan memunculkan tokoh- tokoh yang mempelopori Pendidikan.
- E. SKEMA PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT
No
|
Pembeda
|
Pendidikan
Islam
|
Pendidikan
Barat
|
1.
|
Filosofi
|
Wahyu
Al-Quran dan Sunah
Serta
ijtihad.
|
Rasio/
pemikiran
|
|
Sifat
|
Tidak
memisahkan antara
Pendidikan
dan pengajaran.[106]
|
Eksplorasi
ilmu pengetahuan, aspek(nilai) Pendidikan termaginalkan
|
|
Tujuan
|
Mewujudkan
masyarakat yang beradab
|
Sama
dengan Islam, membangun manusia menuju dunia cita.[107]
|
|
Pendidik
|
Selain
kompetitif , juga harus berakhlak
|
Kompetensi
yang handal
|
|
Metode
|
Menempuh
cara yang sesuai dengan ilmu yang diajarkan.[108]
|
Metode
Dialektik yang diutamakan.[109]
|
- F. KESIMPULAN
Perbandingan
pendidikan adalah langkah mencari identitas diri, bukan hal untuk mencari
kelemahan diantara satu pihak yang kemudian menjadikan diskriminatif.
Islam
sebagai salah satu model, diharapkan dapat mengembangkan dari aspek ontologi ke
dalam epistemologi dan aksiologi. Dengan demikian, eksplorasi pengetahuan yang
notabene untuk kemaslahatan hidup umat manusia dapat terealisasi dengan
diimbangi moralitas.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi.
2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Jumbulati
Ali.1994. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ali
Al-Jumbulati, Al-Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Catatan
Kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Pendahuluan: 2008.
Langgulung.
1995. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Nata,
Abudin. 2003. Manajemen Pendidikan. Bogor: Fajar Interpratama
Offset.
http://Irfan’s.blog
http://Riwayat
Net.com
BAB IX
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUB SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
Oleh : Yusti Ilham Andika
- A. PENDAHULUAN
Sebagai sub
sistem, pendidikan Islam mempunyai tujuan khusus yang harus dicapai dan
tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan
nasional secara keseluruhan. Visi pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi
pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia
Indonesia yang beriman, taqwa dan produktif sebagai anggota masyarakat
Indonesia yang bhinneka. Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai
perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam
pembentukan manusia Indonesia.[110]
Dengan misi
tersebut pendidikan Islam ingin mengejewantahkan nilai-nilai keislaman, yang
mana dengan keberadaan Pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri
khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini
sebagai yang paling ideal.[111]
Untuk itu
dengan adanya Pendidikan Islam dan pendidikan nasional di atas, kita sebagai
warga Negara Indonesia yang beriman dan bertaqwa telah menjadikan falsafah
pancasila sebagai pedoman hidup bernegara dan bermasyarakat. Yang mana
pendidikan agama Islam harus kita wujudkan dalam pelaksanaannya melalui
berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
- B. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan
memiliki nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa.
Pendidikan itu juga berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa tersebut.
Sebab lewat pedidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh
bangsa tersebut.
Oleh karena
demikian pentingnya masalah yang berkenaan dengan pendidikan, maka perlu diatur
suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut yang dipayungi dalam sistem
pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional satu keseluruhan yang terpadu
dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang
lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.[112]
Pembangunan
pendidikan di Indonesia mengacu pada satu sistem pendidikan nasional yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam Undang-Undang ini, dinyatakan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[113]
Untuk
mewujudkan fungsi dan tujuan diatas, kurikulum pendidikan nasional harus
memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan
potensi, kecerdasan dan minat peserta didik. Terkait dengan itu, kurikulum pada
semua jenjang pendidikan harus memuat mata pelajaran wajib antara lain
pendidikan agama yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.[114]
Dengan
keberhasilan Pendidikan Islam maka akan membantu keberhasilan pendidikan
nasional. Begitu juga sebaliknya, keberhasilan pendidikan nasional secara makro
turut membantu pencapaian tujuan pendidikan Islam. Oleh sebab itu, keberadaan
lembaga pendidikan Islam mestinya oleh pemerintah dijadikan mitra untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, berarti UU No. 20 Tahun 2003
merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional. Dengan adanya wadah tersebut, pendidikan Islam mendapatkan peluang
serta kesempatan untuk terus dikembangkan.[115]
- C. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan
Islam merupakan sebuah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran
islam terhadap peserta didik, melalui proses pengembangan fitrah manusia agar
memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya.
Agama akan
membentuk manusia bermoral apabila dilakukan melalui proses pendidikan.
Pendidikan Islam di Indonesia sebagai sub sistem pendidikan nasional, pada
hakikatnya juga bertujuan untuk berpartisipasi dalam membangun kualitas bangsa,
terutama dalam hal peningkatan moral.[116]
Untuk
menjaga kesinambungan proses pendidikan dalam menjabarkan pencapaian tujuan
pendidikan, maka keberadaan kurikulum pendidikan yang integral menjadi sebuah
kebutuhan yang tak terelakkan. Kurikulum pendidikan integral ini memiliki ciri-ciri
yang sangat menonjol pada arah, azas dan tujuan pendidikan, unsur-unsur
pelaksana pendidikan serta pada struktur kurikulumnya.[117]
Pendidikan
Islam diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam sistem
pendidikan nasional. Disamping dikembangkan untuk memenuhi standar nasional,
pendidikan Islam juga dikembangkan untuk menjaga karakteristik dan ciri
keunggulan yang kompetitif, antar lain :[118]
- Pendidikan Islam menempatkan nila-nilai agama dan budaya luhur bangsa sebagai spirit dalam proses pengelolaan dan pembelajaran. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa upaya seperti :
- Mengintensifkan proses dan mengembangkan model pembelajaran agama.
- Mengalokasikan penambahan jumlah jam pelajaran agama.
- Mengintegrasikan wawasan keagamaan pada kurikulum pendidikan.
- Menciptakan suasana keberagaman di lingkungan lembaga pendidikan.
- Mengutamakan keteladanan dalam perilaku dan amalan keagamaan para pengelola dan pendidikan.
- Menyediakan dukungan bahan dan sarana pembelajaran seperti kitab suci, buku referensi keagamaan dan tempat ibadah.
- Pendidikan Islam mengembangkan prinsip-prinsip pendidikan, yaitu holistic antara akidah, ibadah, muamalah dan akhlakul karimah.
- Pendidikan Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan demokrasi.
- D. RELEVANSI SUBSTANSI ANTARA PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Substansi
pendidikan nasional relevan dengan pendidikan Islam, artinya selama Pancasila
sebagai ideologi bangsa kita pahami seperti pemahaman kita sekarang dimana
kelima sila, dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (ketauhidan) sampai
keadilan sosial dijunjung tinggi sebagai pandangan hidup dan dasar pendidikan,
maka secara substansif prinsip-prinsip pendidikan nasional relevan dengan
pendidikan Islam. Hal ini dapat dilacak dari substansi yang terkandung dalam
Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003, pasal 2 dan 3.[119]
Relevansi
substansi antara pendidikan nasional dengan pendidikan Islam terletak pada:[120] pertama, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan
nilai-nilai dasar Islam ( tauhid ); kedua, pandangan terhadap manusia
sebagai makhluk jasmani rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia
bermartabat ( makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan potensi ( fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur ( akhlak mulia)
dan berbagai kemampuan untuk memikul tanggung jawab ( sebagai khalifatullah ).
Dengan
terintegrasinya sistem pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasioanal
dan mengingat bahwa substansi pendidikan nasional relevan dengan substansi
pendidikan Islam, maka konsep lama yang membatasi pengertian pendidikan Islam
hanya pendidikan keagamaan harus dihilangkan.
- E. PENUTUP
Pendidikan
Islam semakin kukuh kedudukannya setelah masuk dalam sistem pendidikan
nasioanal yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang selanjutnya diatur pula
serangkaian, Peraturan Pemerintahan yang berkenaan dengan pendidikan yang
relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003.
Untuk
mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam, maka usaha kedepan adalah bagaimana
memberdayakannya dan mengembangkannya, agar adanya pendidikan Islam dan
pendidikan nasional diatas, kita sebagai warga Negara Indonesia yang beriman
dan bertaqwa telah menjadikan falsafah Pancasila sebagai pedoman hidup
bernegara dan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,
Prof. Dr. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daulay,
Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Hasbullah.
2007. Otonomi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http
://eldina.com/2008/01/10
http
://issuu.com/pendis/docs/pembangunan-pendidikan-islam 2009/65
http
://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/viewFile/185/174
http
://one.indoskripsi.com/2009/03/01
BAGIAN III
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN BEBERAPA TOKOH ISLAM
BAB X
BUYA HAMKA
BAB XI
FAZLUR RAHMAN
BAB XII
SYED NAQUIB AL ATTAS
BAB XIII
MUHAMMAD NATSHIR
BAB X
BUYA HAMKA
Oleh: Astri Fachrul Hidayah, Dwi Futihaturrahmah,
Warsito Noor Maskur
- A. PENDAHULUAN
Dalam bahasa
Inggris, education (pendidikan) adalah perbuatan atau proses perbuatan
untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang
diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran
islam dan nilai-nilai islam dalam kegiatan pendidikanya. Menurut Samsul Nizar
bahwa pendidikan itu secara umum ialah suatu proses pengubahan sikap dan
tingkah laku seorang / kelompok orang (peserta didik) dalam upaya mendewasakan
manusia (peserta didik) melalui upaya pengajaran dan proses perbuatan dan
cara-cara mendidik.[121]
Menurut
HAMKA untuk membentuk peseta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka
eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kepastian untuk diajarkan,
meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam operasional prosesnya
tidak hanya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh
lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu
sikap yang baik (akhlaq alkarimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang
dimilikinya. HAMKA seorang aktivis islam dan intelektual, mengemukakan
pentingnya akhlaq dalam pendidikan.[122]
Dengan
berangkat dari pemikiran diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih
jauh tentang dinamika pemikiran pendidikan Hamka. Sehingga dalam makalah ini
akan diuraikan, tentang bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut HAMKA.
- B. BIOGRAFI HAMKA
HAMKA atau
H.Abdul Malik bin Abdul Karim Amarullah, lahir di sungai Batang, Maninjau,
Sumatra Barat pada 17 Februari 1908. Sebagai putra H.Abdul Amrullah, ulama
besar dan salah seorang pelopor gerakan tajdid di Minangkabau. Abdul Karim
dikenal dengan didikan agama yang ditimbanya di Sumatra Thawalib
(sekolah beraliran pembaharuan yang didirikan sang ayah beliau) dan dari para
kiai disurau / masjid.[123]
HAMKA
dikenal sebagai salah satu intelektual dan aktivis islam yang sangat disegani.
Dengan bekal dan modal ilmu pengetahuan yang dialaminya dan dikuasainya, HAMKA
menjadi penulis yang produktif. Ia menulis puluhan buku, baik novel, cerpen,
artikel maupun tafsir Al-Quran (Tafsir Al-azhar).
Pendidikan
formal yang dilalui HAMKA di mulai sejak tahun 1916 sampai 1923 dengan belajar
agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padang panjang serta
Sumatera Thawalib di Padang panjang dan Parabek. Pelaksanaan pendidikan waktu
itu masih bersifat tradisional. Materi pendidikan waktu itu masih berorientasi
pada pengajian kitab-kitab klasik seperti nahwu, sharaf, manthiq bayan, fiqh
dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada
aspek hafalan. Meskipun diajarkan membaca dan menulis Arab dan latin,
tetapi diutamakan adalah mempelajari kitab-kitab Arab klasik dengan standar
buku-buku pelajaran sekolah rendah di Mesir. Akibatnya, banyak diantara
teman-temannnya yang fasih membaca kitab, tetapi tidak bisa menulis dengan
baik. HAMKA tidak puas dengan sistem pendidikan semacam ini, tapi ia tetap
mengikutinya dengan baik[124].
- C. KARYA-KARYA TULIS HAMKA
Mengenai
karya tulis yang ditulis oleh HAMKA cukup banyak dan masih bisa di baca sampai
sekarang diantaranya:
- Tasawuf Modern. Merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam Pedoman Masyarakat antara tahun 1937-1938. Karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersebut kemudian dibukukan. Buku ini pertama kali ditertebitkan di Medan pada tahun 1987 dan mengalami 16 kali cetak ulang.
- Lembaga budi. Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang terdiri dari XI bab. Pembicaraannya meliputi: Budi yang mulia, sebab budi menjadi rusak, penyakit budi, dll.
- Falsafah hidup. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1940 di Medan dan telah mengalami cetak ulang sebanyak XII kali. Buku ini terdiri dari IX bab. Ia memulai dengan memaparkan Hidup dan makna kehidupan, kemudian dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam berbagai aspek dan dimensinya.
- Lembaga Hidup. Buku ini pertama kali terbit di Medan pada tahun 1941. Dalam karyanya Lembaga Hidup, ia mengembangkan pemikirannya dalam XII bab. Ia mencoba mengupas tentang berbagai kewajiban diri manusia, asal usul munculnya kewajiban. Kewajiban manusia kepada Allah dll.
- Pelajaran Agama Islam. Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut mana manusia mencari Tuhan, rukun iman dll.[125]
- D. PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
HAMKA
membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan Islam
merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk
watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik. Sementara pengajaran
Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan. Setiap proses pendidikan didalamnya terdapat proses pengajaran
keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain dalam rangka mecapai
tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses
pengajaran[126].
HAMKA
mengejawantahkan pemikiranya tentang komponen pendidikan yang meliputi
pendidikan Islam, kewajiban kedua orang tua sebagai pendidik dan utama dalam
menanamkan nilai akhlaq pada seorang anak, kewajiban guru, metode pendidikan,
memberikan peluang kepada anak didik untuk berfikir secara kritis dan merdeka, integralitas
materi pendidikan. [127]
Pembaharuan
dalam diri HAMKA terlihat dalam bagaimana Ia menantang pelaksanaan
pendidikan umat Islam Minangkabau yang waktu itu hanya berorientasi kepada
ilmu-ilmu klasik dan mengacu pada pola-pola pendidikan agama sebagaimana yang
diterapkan di Mesir. Dalam pemahaman umat Islam waktu itu, hanya mempelajari
ilmu-ilmu umum sebagai yang dikembangkan di sekolah-sekolah Belanda yang
merupakan produk orang-orang kafir yang haram untuk dipelajari, serta tidak
menjadikan ia terhormat. Pandangan yang demikian telah membentuk pola pemikiran
umat Islam Minangkabau, menjadi kaku dan melihat bahwa menjadi seorang ulama
agama, ia dipandang mulia dan terhormat di tengah-tengah masyarakat. Menurut
HAMKA, pandangan yang demikian merupakan pemahaman yang keliru. Untuk menjadi
orang yang mulia tidak hanya menjadi ulama agama. Seorang ilmuan yang mengkaji
ilmu-ilmu umum pun akan dipandang mulia apabila ia memanfaatkan ilmunya bagi
kemaslahatan umat dan menghiasi dirinya dengan ilmu-ilmu agama Islam.
Menurut
HAMKA, sistem pendidikan Islam yang ideal seharusnya berorientasi pada pada
akhirat sekaligus visi kekinian dengan mengaktifkan fungsi akal peserta didik
secara maksimal.[128]
- E. BATASAN HAMKA TENTANG MAKNA PENDIDIKAN ISLAM
Menurut para
ahli istilah pendidikan Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. HAMKA
memosisikan pendidikan Islam sebagai proses (ta’lim) dan menyampaikan
sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan
pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah
maupun rohaniah. Untuk lebih jelasnya, berikut dijabarkan pemikiran tentang
kedua kata tersebut dalam menunjukkan makna pendidikan islam.
- Kata Ta’lim
Sebagaimana
para ahli lainnya, HAMKA merujuk pada penggunaan kata ta’lim pada QS.
Al-Baqarah:31. Dalam tafsirnya, ia mengatakan bahwa “Dan dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar.” Pengertian Ta’lim pada ayat tersebut
mengandung makna, bahwa pendidikan merupakan proses pentrasferan seperangkat
pengetahuan yang dianugrahkan oleh Allah kepada manusia (Adam).[129] Dengan kekuatan yang dimilikinya, baik kekuatan
pancaindra maupun akal, manusia dituntut untuk menguasai materi yang
ditransfer. Kekuatan tersebut berkembang secara bertahap dari yang sederhana
kearah yang lebih baik. Dengan kekuatan ini pula manusia dapat melaksanakan
fungsinya sebagai pemegang amanat Alla, sekaligus membongkar rahasia alam bagi
kemaslahatan seluruh alam semesta.[130]
- Kata Tarbiyah
Kata Tarbiyah
memiliki arti mengasuh, bertanggunga jawab, memberi makan, mengembangkan,
memelihara, membesarkan, menumbuhkan,memproduksi, dan menjinakkannya baik aspek
jasmaniah ataupun rohaniah.[131] Penekanannya dalam memahami makna “memelihara” dalam
kata Tarbiyah sebagai perbuatan pemeliharaan yang dilakukan kedua orang tua
terhadap anaknya. Proses ini dilakukan dengan sabar dan penuh kasih saying,
guna membantu anak dari ketidakberdayaannya sampai ai mampu mandiri. Baik
secara fisik maupun psikis.[132]
Misi
pendidikan Islam menitik beratkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan
manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya,
sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta
hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis.
Pandangan HAMKA tentang tarbiyah :
- Menjaga dan memelihara pertumbuhan Fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan.
- Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dengan berbagai saranapendukung (terutama bagi akal dan budinya).
- Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
- Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.[133]
- F. PENGARUH PENDIDIKAN HAMKA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA
HAMKA sudah
menyelami realitas sosial dalam khasanah kebangsaan Indonesia dimasa lalu.
Keterbukaannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkkan sikap dasar toleransi
adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua peluang dialog dan hidup
berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang dibangun atas dasar kesamaan nasib
bukan semata-mata kesamaan berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa bangsa ini
diolah dan dibangun dengan cara pandang yang terbuka pula.
HAMKA
memberikan banyak teladan kepada Indonesia sebagai bangsa ditengah-tengah
realitas perbedaan yang ada.sosok yang tangguh dan mau bersahabat dengan siapa
saja yang memiliki kemanusiaan, perlu dicontoh bukan hanya oleh mereka yang
Muslim, melainkan siapa saja yang mengaku sebagai manusia Indonesia. Sumbangsih
pemikiran yang otentik dan kontekstual untuk kehidupan kebangsaan yang sehat
itulah yang perlu digali dari sosok HAMKA. Menelusuri jejak –jejak pemikiran
seharusnya memupuk keteladanan berfikir, bertindak dan berperilaku. Para elit
politik sosial, dan agama yang masih mengedepankan cara berpikir segolongan
seharusnya lebih banyak menimba pemikiran HAMKA.[134]
- G. PENUTUP
Dalam
memahami Pendidikan Islam Hamka lebih cenderung memosisikan istilah ta’lim yang
mengandung makna Tarbiyah. Hamka lebih menekankan pada proses Pendidikan yang
berdimensi ruhaniah dan jasmaniah agar seimbang. Beliau juga menekankan pada
pentingnya pembaharuan Pendidikan Islam.
HAMKA
sebagai seorang ulama pemikir, mubaliqh, dan sastrawan juga ikut membentuk
dirinya dan memupuk cita-citanya sehingga ia yang terlanjur terlena
dengan masa mudanya dan segera bangkit sehingga bangsa dan umat pun
mendapatkan rahmat dan petunjuk. Dengan kebangkitannya saat itu bangsa pun
merasakan juga apa artinya intelektual dan keagamaan dari seorang yang bernama
H. Abdul Malik Amrullah.
DAFTAR PUSTAKA
Djajamuri,
1962. Hamka Lembaga Hidup. Jakarta:
Hamka, 1998.
Tafsir Al-Azhar juz 1. Pustaka, Jakarta
Hamka, 1998,
Tafsir Al-Azhar juz 6. Pustaka. Jakarta
Mustaghfirin,dkk.2008
Membuka Cakrawala Pendidikan. Magelang
Nizar,Samsul,Prof,Dr,H.
2008 Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam.Jakarta: Kelana Persada media Group
BAB XI
FAZLURRAHMAN
Oleh : Anisa Ahmad, Khusni Famela, Nurrohman Tri
Pamuji.
- A. PENDAHULUAN
Menurut
Islam pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup
seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan
salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria wanita, dan berlangsung
seumur hidup, semenjak dari buaian hingga ajal datang.[135]
Agama Islam adalah
agama yang universal. Yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai
aspek kehidupan , baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu
ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan
pendidikan. Karena menurut ajaran Islam pendidikan juga merupakan kebutuhan
hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi tercapai kesejahteraan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan
mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya.[136]
Fazlurrahman,
telah membuka cakrawala pengetahuan kita tentang adanya dua dimensi di dalam
Islam, yakni : dimensi Islam Normatif dan dimensi Islam Historis.[137] Rahman merekomendasikan perlunya
perbedaan Islam Normatif dengan Islam Historis. Menurutnya Islam Normatif
adalah ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang berbentuk nilai-nilai moral
dan prinsip-prinsip dasar, sedang Islam Historis adalah penafsiran yang
dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang beragam.[138]
Berangkat
dari beberapa asumsi yang disampaikan oleh Fazlurahman di atas, maka dalam
makalah ini akan diuraikan mengenai pandangan Fazlurahman tentang pendidikan
Islam, baik yang berkaitan dengan metode atau epistemologi pendidikan Islam
dalam pandangan Rahman. Bagaimana sikap Rahman terhadap kebiudayaan Barat dan
sejauh mana pengaruh pemikiran Rahman terhadap proses pendidikan Islam di
Indonesia.
- B. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FAZLURRAHMAN DI BIDANG PENDIDIKAN ISLAM
Fazlurrahman
adalah seorang pembaharu pemikiran Islam yang lahir dari tradisi keagamaan
mazhab Hanafi yang cukup kuat. Lahir pada tanggal 21 September 1919,
Fazlurrahman kecil terbiasa dengan pendidikan dan kajian-kajian keIslaman yang
dilakukan oleh ayahnya sendiri, Maulana Syahab al-Din. Dalam usia sepuluh tahun
ia sudah hafal Al-Qur’an di luar kepala. Ketika berusia empat belas
tahun, sudah mulai belajar filsafat, bahasa arab, teologi, hadist, dan
tafsir.[139]
Pendidikan
Islam dalam pandangan Fazlurrahman bukan sekedar perlengkapan dan peralatan
fisik seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan,
melainkan sebagai intetektualisme Islam. Karena, baginya hal inilah yang
dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi Islam. Hal ini merupakan pertumbuhan
suatu pemikiran Islam yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan
atau kegagalan sebuah sistem pendidikan.
Pendidikan
Islam dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan Islam dalam
pengertian praktis, yaitu pendidikan yang dilakukan di dunia Islam mulai dari
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kemudian yang kedua, pendidikan agama
Islam yang disebut dengan Intelektualisme Islam. Lebih dari itu, pendidikan
Islam menurut Rahman dapat juga dipahami sebagai proses untuk
menghasilkan manusia (ilmuwan) integratif. Seperti kritis, kreatif, dinamis,
inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya. Ilmuwan yang demikian
diharapkan dapat memberikan alternatif solusi atas problem-problem yang
dihadapi umat manusia di muka bumi.
Beberapa
pengamat pendidikan Islam,menyatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam
lebih ada upaya kebahagiaan di dunia dan akhirat, menghamba diri kepada Allah
dalam memperkuat keIslaman, melayani kepentingan masyarakat Islam, dan akhlak
mulia. Tampaknya dalam perumusan tujuan pendidikan, umat Islam atau sebagian
para ahli pendidikan Islam mengalami kesulitan dalam membedakan syariat Islam
sebagai ilmu yang disusun ulama sebagai tafsir atas wahyu serta syariat Islam
sebagai ajaran Tuhan dalam wahyu yang termaktub dalam al-Quran. Islam lalu
megalami penyempitan menjadi hanya ilmu syariat dan ilmu-ilmu Islam lainnya.[140]
Sedangkan
menurut Fazlurrahman, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan manusia
sedemikianrupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ
pada keseluruhan pribadi kreatif yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan
sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan,
kemajuan, dan keteraturan dunia.[141]
C.
AL-QUR’AN DALAM PENAFSIRAN FAZLURRAHMAN
Pada
dasarnya, Rahman menawarkan dua gerakan (double movement) dalam
menafsirkan al-Qur’an. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya
al-Qur’an: dan kedua, dari masa turunnya al-Qur’an kembali ke masa kini.
Gerakan yang pertama terdiri dari dua langkah, yaitu:
- Pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan al-Qur’an melalui cara mengkaji situasi atau problem histori dimana pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabannya
- Membuat generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik itu dan mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral yang bersifat umum. Sedangkan gerakan yang kedua, tugasnya adalah untuk merumuskan ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut, dan kemudian meletakkannya ke dalam konteks sosio-historis yang kongkrit saat ini.[142]
Interpretasi
sebagai sarana untuk memahami secara obyektif akan membawa penafsir pada
ketetapan pemahaman dari pikiran obyektif dari pihak lain. Demikian pula
Rahman, dengan pemahaman secara obyektif yang berbasis double movement
dalam kerja interprestasi itu, berupaya menggali prinsip-prinsip hukum atau
nilai subtansi dari wahyu yang konstektual untuk diejawantahkan di masa kini.
Rahman yang
menyakini adanya pengetahuan obyektif dalam suatu teks mengaplikasikan
metodologinya itu untuk mengkaji Kitab Suci al-Qur’an. Untuk itu dia memerlukan
bentangan latar belakang dan situasi historis yang melingkupi turunnya
al-Qur’an. Yang memerlukan ilmu bantu untuk melakukan kerja-kerjanya
tersebut,misalnya: sejarah, bahasa, sastra, psikologi, filosofi, dan bahkan morfologi
teknis.
Pencarian
metodologi Rahman, menghasilkan disposisi pemikiran yang menyangkut world
view qur’ani secara komprehensip. Yang berbicara tentang Tuhan Yang Maha
Esa dan Pengasih sebagai eksitensi yang fungsional, al-Qur’an sebagai nilai dan
moral, dan kenabian sebagai bukti kongkrit kepengasihan Allah, serta manusia
sebagai makhluk yang bertanggungjawab. Dia juga berbicara tentang alam semesta
untuk dijdikan petanda ( keberadaan dan kebesaran ) Allah dan harus disyukuri
dengan pengolahan dan pelestarian, tentang setan sebagai penguji manusia, serta
akhirat sebagai terminal akhir perjalanan manusia dimana dia harus
bertanggungjawab atas perbuatannya di dunia.[143]
Al-Qur’an
berbicara tentang Tuhan yang tidak harus selalu berorientasi ke atas tapi juga
ke bawah. Artinya, sebagaimana dikemukakan Rahman sendiri, yang menjadi masalah
bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti
teologis mengenai eksistensi Tuhan. Tetapi, bagaimana membuatnya beriman dengan
mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta-fakta yang jelas dan mengubah
fakta-fakta ini menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan.
Dengan demikian, Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan dimensi lain; Dia
memberi arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; tak
berhingga dan yang selain-Nya selalu berhingga. Allah adalah cahaya yang
menerangi sehingga setiap sesuatu menemukan kehidupan dan tingkah laku yang
wajar.
Eksistensi
Tuhan Yang Maha Esa adalah benar-benar hadir bersama manusia, dan meliputi
segala yang ada. Konsekuensi dari monoteisme yang semacam ini, menurut Rahman,
al-Qur’an menekankan keharusan iman sebagai sesuatu yang bersifat aksi yang
harus berdampak nyata pada aktivitas dan perilaku manusia. Di dalam aktivitas
dan perilaku manusia tersebut berpadu dua hal, yakni kekuasaan Allah untuk
bertindak apa saja terhadap manusia di satu sisi dan kebebasan manusia untuk
berbuat sesuai dengan kemampuan dan kehendaknya di sisi yang lain. Yang
dituntut kemudian dari manusia adalah pertanggung jawaban moralnya, yang mana
ukurannya adalah takwa.
Selanjutnya
Al-Qur’an berbicara tentang kelebihan manusia atas makhluk yang lain, yakni
dalam hal kepemilikannya akan pengetahuan. Ketika Allah menciptakan manusia
untuk dijadikan khalifah, para malaikat protes. Mereka khawatir akan terjadi
pertumpahan darah di muka bumi seandainya manusia menjadi khalifah di sana.
Para malaikat dan seluruh penduduk surga itu lalu dikumpulkan untuk mengeja
nama benda-benda dan menjelaskan sifat dari masing-masing benda tersebut.
Ternyata mereka tidak mampu. Yang bisa melakukannya hanyalah manusia (Adam).
Melalui pengetahuannya itu manusia bukan hanya menjangkau hal-hal yang fisik,
tapi juga yang metafisik. Keberadaan Allah, bahkan, dapat diketahui oleh
manusia yang mau memikirkannya, dan manusia yang mau memikirkan petanda-petanda
yang diciptakan-Nya.
D.
SIKAP KRITIS RAHMAN DALAM MENYIKAPI PERADABAN BARAT
Fazlurrahman
selalu menggunakan sifat kritis dan kreatif dalam pendidikan Islam. Sifat
kritis ini ditujukan oleh Rahman baik pada warisan Islam itu sendiri maupun
pada peradaban Barat. Kritis pada peradaban Barat penting karena peradaban ini
telah mendominasi peradaban dunia selama beberapa abad terakhir. Dengan
dominasinya peradaban Barat sangat besar pengaruhnya pada peradaban umat Islam
sekarang. Oleh karena itu, para pemikir muslim harus betul-betul kritis dalam
menyikapinya. Dari sifat kritis ini muncullah sifat kekreatifan Rahman yang
memancarkan pola pikir, perhatian, perkataan, dan seluruh perbuatannya yang
kemudian ditiru oleh murid-muridnya.[144]
Dengan modal
sifat kritis dan kreatif tersebut, Rahman berusaha memberikan alternatif
pemecahan terhadap masalah-masalah umat, termasuk masalah-masalah aktual,
terutama masalah kritis pemikiran, masalah dikotomi ilmu,dan lain-lain. Proses
pemecahan masalah berlangsung empat tahap:
- Tahap persiapan dimana masalah diselidiki dari segala arah sehingga semua informasi tentang masalah ditemukan.
- Tahap inkubasi dimana masalah seakan–akan terbawa tidur, tidak terfikirkan secara sadar dan dinamis.
- Tahap ilmunisasi dimana ide atau kesimpulan baru baru muncul tidak terduga.
- Akhirnya suatu usaha sadar dilakukan untuk mencoba menentukan kesahihan dari kesimpulan yang didapat sesuai dengan kriteria dan aturan-aturan ilmiah.[145]
- E. PENGARUH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM FAZLURRAHMAN DI INDONESIA
Pendidikan
Islam di Indonesia dapat dibedakan ke dalam dua tingkatan, yaitu pendidikan
dasar sampai menengah Islam dan pendidikan tinggi Islam. Kemudian, pendidikan
dasar sampai menengah dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu pesantren, sekolah,
dan madrasah. Pendidikan Islam menurut Zamroni, masih merupakan impian belaka.
Pendidikan Islam dalam realitas baru
merupakan :
- Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam.
- Pendidikan agama Islam yang disampaikan di perguruan tinggi.
- Perguruan tinggi yang bertujuan menghasilkan sarjana di bidang ilmu-ilmu agama Islam. Tetapi dalam peta perguaruan tinggi di Indonesia kebanyakan menempati posisi di pinggiran.
Menurut
Djohar, kesalahan pendidikan tinggi di Indonesia dalam hal :
- Kurang memberi pendidikan bagi tumbuhkembangnya akal.
- Kurang menumbuhkembangkan hati.
- Kurang menumbuhkembangkan fisik manusia.
Untuk
meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia harus mampu memperbaiki
kurikulumnya secara mendasar, pendidikan tinggi harus memiliki tipe ideal
manusia seutuhnya.Menurut islam manusia seutuhnya adalah manusia yang mempunyai
pengetahuan dan perilaku sebagaimana yang dimiliki Rosulullah atau
setidak-tidaknya mendekati.
Menurut
Fazlurrahman, pembaharu Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada
kemajuan, harus bermula dari pendidikan. Hal ini hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh Mastuhu. Menurut Mastuhu, IAIN merupakan lembaga pendidikan
yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli
terhadap persoalan- persoalan besar bangsa. Problem pendidikan yang paling
mendasar saat ini adalah problem idiologi. Umat Islam tidak dapat mengaitkan
secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi idiologinya, sehingga
mereka tidak terdorong untuk belajar. Hasilnya adalah rasa jujur dan tanggung
jawab tidak muncul.[146]
- C. PENUTUP
Orientasi
pendidikan Islam bukanlah sebuah orientasi yang peripheral saja, akan tetapi
jauh ke depan melampui batas dunia yakni akhirat. Rahman sangat
mempertimbangkan hal tersebut, sehingga nantinya outcomes yang dihasilkan oleh
pendidikan Islam bukan sekedar orang yang ahli ilmu agama saja atau mahir dalam
ilmu dunia, tapi ilmuwan yang integrative yang memadukan antara ilmu agama dan
ilmu umum sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Karena pada
dasarnya menurut Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang
mutlak harus dipenuhi demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga
system pendidikan yang harus dibangun pun hendaknya memberikan orientasi yang
sesuai dengan ajaran dasar Islam tersebut. Dalam ranah inilah Fazlurahman telah
memulainya.
Sementara
itu pendidikan Islam di Indonesia, masih memerlukan berbagai masukan dan
perbaikan, maka tidak ada salahnya ketika mecoba mempertimbangkan gagasan
Fazlurhman tersebut. Sehingga apabila bersedia mengikuti pemikiran
Fazlurrahman, maka secara berangsur-angsur motivasi umat Islam diIndonesia
terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat,sehingga Indonesia dapat
melahirkan ilmuwan-ilmuwan muslim yang kritis dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Sanaky,
Hujair. 2003. Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani
Indonesia. Jakarta : Safiria Insani Press.
Sutrisno.
2006. Fazlur Rahman (Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
pendidikan ). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zuhairini
dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Pemikiran
Islam. Word Press.com (05 /11/2008)
Journal.UII.ac.id/index.php/jhi/icle/view/247/242
(08/12/2008)
BAB XII
SYED NAQUIB AL ATTAS
Oleh : Nani Supratin,
- A. PENDAHULUAN
Sebagai
generasi Islam kita harus mampu mengkritisi perubahan zaman. Seiring dengan
maraknya globalisasi kita harus mampu menujukan wujuwud umat Islam yang tangguh
dengan berbagai tantangan zaman. Dalam mewujudkan pendidikan Islam yang
bermutu, unggul dalam segala hal, semua itu tidak semudah membalikan tanagan.
Namun membutuhkan ghiroh yang tinggi, proses yang panjang dan keuletan yang
luar biasa.
Dalam
makalah ini nantinya kita akan melihat seperti apa tawaran Prof. DR. M Naquib
Al-Attas dalam meningkatkan mutu pendidikan Islam yang diiringi dengan berbagai
isu dan adanya krisis pendidikan.
Di dalam
dunia pendidikan muncul ideologi-ideologi baru yang menawarkan doktrin-doktrin
pendidikan atas krisis yang melanda dunia pendidikan. Dengan munculnya
doktrin-doktrin tersebut dapat memperkaya khazananah pemikiran pendidikan.
Menurut
William O’neil ada dua alairan ideologi besar yang cukup berpengaruh, yaitu
ideologi konservatif dan ideology liberalis. Sedangkan Girouks menambahkan
adanya alairan kritis yang disebut oleh O’neil sebagai aliran anarkisme.
Ciri-ciri
aliran tersebut adalah sebagai berikut:
Konservatisme:
aliran ini memandang konsep yang selama ini masih tetap aktual dan relevan yang
tidak perlu adaanya perubahan, secara teologis aliran ini merujuk pada teologi
jabariyah. Yaitu paham yang memandang bahwa manusia tidak memiliki fungsi
sosial dikarenakan segala sesuatu merupakan ketentuan Tuhan. Jadi disini
dipandang bahwa manusia tidak berdaya.
Liberalisme:
ialah pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi dan
menjunjung tinggi hak dan kebebasan individu. Konsep pendidikannya bertolak
dari paradikma barat tentang rasionalisme dan individulisme.
Anarkhisme
dan Kritisisme: yang dimaksud oleh O’neil ialah aliran yang anti
kemapanan dengan bahasa halus kritisisme atau rekonstruksionisme, yang
menghendaki perubahan social, ekonomi, politik melalui pendidikan.[147] Ideology-ideologi diatas merupakan
selayang pandang yang dapat dijadikan sebagai wacana yang baik.
- B. SEJARAH DAN RIWAYAT PENDIDIKAN PROF.DR.SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Prof.
DR.Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pemikir islam yang banyak
memberikan sumbangan dalam pemikiran Islam kontemporer dan pendidikan Islam.
Beliau lahir di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931 M. beliau
termasuk keturunan Hadramaut (keturunan Arab Yaman). Ibunya merupakan keturunan
sunda dan ia memperoleh pendidikan Islam di kota itu pula. Sedangkan ayahnya ia
mendapatkan ilmu kesusastraan bahasa dan budaya melayu. Ia juga termasuk
keturunan bangsawan Johor. Sejak usia 5 tahun Naquib menetap di Malaysia dan
mendapat pendidikan dasarnya di Ngee Neng English Primery Scool.selama zaman
jepang ia kembali ke Sukabumi selama 4 tahun. Ia belajar Agama dan bahasa Arab
di Madrasah Al Urwatul Wustho di Sukabumi (1942-1945). Tahun 1946 Al-Attas
melanjutkan pendidikannya di bukit Zahrah School dan English College Johor Baru
tahun 1946-1949.
Naquib
Al-Attas sempat masuk dinas ketentaraan dan pernah dikirim untuk belajar di
Royal Militery Academy, Inggris, namun pada tahun 1957 ia keluar dari militer
dan melanjutkan pendidikan di University Malaya. Dengan mengambil studi Islam
di Nac Gill University, montreal Kanada hingga memperoleh gelar master. Ia
melanjutkan di School of Oriental dan afrika Studies, University of London
sehingga ia mendapatkan gelar Doktor, kemudian kembali ke Malaysia dan memegang
jabatan penting menjadijadi ketua jurusan kajian Malaya University Malaya.
Salah satu
bentuk perhatian besar Naquib Al-Attas dalam pendidikan Islam adalah dengan
konsepnya tentang pendidikan Islam dalam bentuk Universitas, kemudian mendapat
respon bagus dan ditindak lanjuti oleh Organisasi konfersi Islam (OKI),
ia juga mendirikan international institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC) yang dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai-nilai
peradaban Islam dan Islamisasi pengetahuan.
- C. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM M NAQUIB AL-ATTAS
Salah satu
konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti yang ditulis dalam islam The
Educational Phylosofi and Pracfic of Syed M Naquib Al-Attas
yang telah di Indonesiakan oleh Mitan yaitu mengenai Ta’dib.
Dalam
padangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah
hilangnya nilai-nilai adab ( etika ) dalam arti luas. Hal ini kata Naquib
disebabkan kerancuan dalam memahami konsep Tarbiah, Ta’lim dan Ta’dib.[148] Kata tarbiyah memeiliki
beberapa arti yaitu mengasuh, mendidik dan memelihara. Sedangkan secara luas
arti tarbiah tidak hanya mendidik namun sampai pada memunculkan nilai-nilai
ketuhanan. Ta’lim mempunyai arti mengajar yang lebih bersifat pemberian
pengertian, pengetahuan, dan ketrampilan saja. Sedangkan Ta’dib adalah
pendidikan dalam rangkan transfer nilai, M Naquib Al-Attas dalam bukunya Konsep
Pendidikan Islam , dengan gigih mempertahankan penggunaan istilah Ta’dib
untuk konsep pendidikan Islam, bukan Tarbiah, dengan alasan bahwa dalam
istilah Ta’dib, mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan esensi
pendidikan Islam.[149]
Namun konsep
pendidikan saat ini sudah dipengaruhi oleh pandangan hidup barat yang terbatas
pada Ta’lim dan Tarbiah. Padangan barat itu lebih di dasarkan pada nilai-nilai
sekulerisme, numanisme yang semakin jauh dari nilai-nilai ilahiyah. Hal
tersebut yang menyebabkan kedhaliman, kebodohan dan kegilaan.
Dengan
adanya persoalan diatas dapat di ketahui salah satu kemunduran umat Islam juga
dipengaruhi oleh factor kemunduran umat islam, dan lahirlah pemimpin ynag tidak
lagi mengindahkan adab, pengetahuan dan nilai-nilai lainnya.
Sedangkan
Ismail Raji’ Al-Faruqi mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk adalah
dalam hal pendidikan dunia Islam[150]
Naquib
berpendapat bahwa untuk pemahaman nilai-nilai spiritual, termasuk nilai
spiritual intelegen dalam pendidikan Islam ia menekankan pentingnya pengajaran
ilmu fardu ain, yakni ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi pengatahuan.
Intensifikasi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia serta nilai-nilai
moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan
semesta alam. Bagi Naquib, adanya dikotomi ilmu fardu ain dan fardu kifayah
tidak perlu diperdebatkan, tetapi pembagian tersebut harus dipandang dalam
perspektif intregal atau tauhid, yaitu fardu ain sebagai asas dan rujukan bagi
ilmu fardu kifayah.[151]
Konsep
Islamisasi pendidikan diatas sebagai kitis munculnya sience modern yang berbau
kebaratan (liberalisme, sekulerisme). Diterima oleh Negara-negara Islam dan
dibarengi dengan melemahnya kesadaran epistemology umat Islam. Hal ini
memandang bahwa sience modern merupakan ilmu yang otoritatif yang dengan mudah
melemahkan pandanagan islam mengenai ilmu.
Berdasarkan
pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan
pendidikan Islam pada khususnya. Maka pemikiran pendidikan Islam yang
terformula pada konsep ta’dib yang di tawarkan Al-attas sunggguh memiliki
relevansi dan signifikan yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai solusi
alternative untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia
pendidikan Islam. Karena pada dasarnya merupakan konsep pendidikan yang hendak
mengintegrasikan dikotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan
equilibrium,bercorak moral dan religius. Secara ilmiah Al-attas telah
mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga mejadi sebuah konsep pendidikan
yang sangat jelas.
Jadi bukan
suatu hal yang naïf bahwa statmen Al-attas ini merupakan sebuah jihad
intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicoba untuk
berdialog dengan filsafat ilmu apa yang diformulasikan oleh Al-attas dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah baik dari dataran ontologis, epistemology,
maupun aksiologis.[152]
Sedangkan
jasa ungguh muliawan menyebutkan bahwa untuk mengatasi dikotomi ilmu
pengetahuan itu perlu adanya suatu studi ilmu yang integrative dan menyaluruh.
Dan filsafatlah satu-satunya ilmu pengetahuan yang mampu mengintegrasikan
system keilmuan yang parsial tersebut.[153]
- D. ISLAMISASI PENGETAHUAN
Syed M
Naquib Al-Attas menyodorkan sebuah konsep “ Islamisasi Pengetahuan “
dalam makalahnya yang berjudul “ Preminary Thoughts on the nature of
knowlage and the detinition and the wim of education “ judul ini ada dalam
bukunya yang berjudul Islam Skurelisme.
Naquib
Al-Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi
umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk
kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia
oleh peradaban barat dan menurut Al Faruqi bahwa system pendidikan Islam telah
disebut di dalam sebuah karikatur barat, sehingga ia dipandang sebagai
penderitaan yang di alami oleh umat.[154]
Dari uraian
di atas dapat kita lihat betapa memprihatinkan keberadaban umat Islam yang
tidak sadar dimasuki oleh pemikiran yang menyesatkan. Apabila cara pandang dan
pemikiran umat Islam sudah didominasi oleh cara pandang dan pemikiran ala barat
maka identitas dan otentitas ajaran Islam sulit atau tidak dapat kita temukan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut ada beberapa konsep yang di tawarkan oleh
Al Faruqi dan Al-Attas.
Bagi Al
Faruqi pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan menuangkan kembali seluruh
khasanah pengetahuan barat dalam kerangka islam yang dalam praktiknya tak
lebih dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dalam berbagai ilmu
dengan wawasan ajaran Islam. Sedangkan bagi Al-Attas adalah dengan jalan
pertama-tama tubuh pengetahuan barat itu harus di bersihkan dulu dari
unsur-unsur yang asing bagi ajaran Islam, kemudian merumuskan serta memaduhkan
unsur-unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan
suatu komposisi yang merangkum pengetahuan inti itu. Bahkan akhir-akhir ini
telah muncul pendekatan lain, yaitu dengan jalan merumuskan landasan filsafat
ilmu yang Islam sebelum melangkah pada Islamisasi ilmu pengetahuan.[155]
Beberapa
pendekatan diatas menunjukkan bahwa Islamisasi pengetahuan itu merupakan
pembersihan ilmu pengetahuan produk barat yang selama ini sudah menjadi acuan
dalam pengembangan pendidikan Islam menjadi ilmu pengetahuan yang bercorak
Islam. Yang dimaksud corak pendidikan Islam disini tidak harus segala
sesuatunya itu sesuai dengan zaman Rasululloh sebagai pembawa agama Islam.
Sebagai umat Islam kita harus mampu menunjukkan kemuliaan agama Islam yaitu
selalu berguna dan sesuai dengan berbagai zaman bahkan akhir zaman.
Bagi
Al-Attas, Islamisasi adalah sebuah “ Revolusi epistemology “ dan harapan
untuk merealisasikan kebangkitan Islam. Konsep Islamisasi menjadi tumpuan dan
jiwa beliau semenjak sekian lama sebelum tertuang menjadi gagasan besar. Konsep
Islamisasi ini pernah di bicarakan oleh sarjana-sarjana ulung lain seperti
Syyed Husain Nasr (hal 338) dan fazhul Rahman (hal 342). Namun penggunaan tema
Islamisasi yang dipakai oleh sarjana-sarjana tersebut dilakukan bukan berangkat
dari pada kajian Epistimologi. Oleh karena itu gagasan Islamisasi sebelum
Al-Attas adalah gagasan yang tidak konkrit. Islamisasi yang di maksudkan
Al-Attas bukan sekedar disiplin ilmu, ia adalah Islamisasi dengan beberapa cara
diantaranya Islamisasi istilah dan konsep kunci yang menjadi agenda penting
dalam pemikiran beliau.[156]
Al-Attas
menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan kontemporer adalah produk dari kerangka
intelektual peadaban barat yang di dasarkan pada :
- Meletakakan akal semata-mata utuk membimbing manusia mengarungi kehidupan (Rasionalisme)
- Konsep dualisme yang meliputi hakikat dan kebenaran
- Idiologi sekuler
- Doktrin humanisme
- Konsep tragedy
Menyadari
pengaruh sekularisme terhadap masyarakat barat dan besarnya kesan Sekularisasi
terhadap dunia hari ini, maka apa yang perlu dilakukan oleh cendekiawan muslim
sebagai tindak balas ( tindak lanjut ) adalah desekulerisasi, oleh karena itu
tumpuan proses Islamisasi bagi Al-Attas adalah individu bukannya umat seperti
yang ditekankan oleh Al Faruqi dalam konsep Islamisasinya.[157]
Beberapa
kalimat terakhir memang sedikit membuat kening kita berkerut. Ternyata tidak
sepenuhnya sama konsep Islamisasi M Naquib Al-Attas dengan konsep Islamisasi
fersi Al Faruqi. Namun tidak perlu diperdebatkan karena keduanya saling melengkapi.
Dan yang paling penting adalah keduanya sama-sama berjihad memikirkan jalan
keluar bagi kepentingan umat Islam.
- E. CORAK PENDIDIKAN NAQUIB AL-ATTAS
Apabila
ditelaah secara cermat, format pendidikan yang di tawarkan oleh Al-attas tampak
jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu
system pendidikan terpadu.[158] Indikasi lain yang mempertegas
bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya
system pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan system pendidikan yang
terformulasikannya. Dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk
mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus
menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu
agama, tetapi juga ilmu rasional, intelek dan filosofis.[159]
Diskripsi
diatas menunjukkan bahwa semangat dan sungguh-sungguhnya dalam menyelamatkan
umat Islam dari berbagai pengaruh dengan mewujudkan suatu system terpadu. Di
dalamnya menjadi tameng adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Intinya adalah
merekontruksi system pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang terpadu. Hal
ini juga diwujudkan dalam konsepsi tentang Ta’dib sehingga di harapkan
pendidikan moralnya pun tidak terlupakan.
- F. KESIMPULAN
Dengan
melihat wacana di atas kami menyimpulkan ada beberapa poin diantaranya:
- pengaruh pemikiran Prof DR. M Naquib Al-attas begitu besar terhadap umat Islam.
- Al-attas memberikan konsep Ta’dib sebagai pendidikan pengertian yang tepat.
- Beliau memberikan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai solusi dari paradigma pengetahuan ala barat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi.
2008. Idiologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin.
2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muliawan,
Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integrtif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Republika.co.id
www.Upt.Edu.My / irc new / list nov 08 htm
belajar
Islam . com / index. Php
www.
Wordcat. Org / isbn
BAB XIII
MUHAMMAD NATSIR
oleh : Onang Widatin, Budi Prasetyo dan Novi Ristiyani
- A. PENDAHULUAN
Islam adalah
agama yang mengajarkan pandangan hidup (way of life) bagi seluruh umat
manusia yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia
dan kehidupan akhirat. Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan
Allah yang harus melakukan peranya sebagai khalifah dan hamba Allah, melalui
karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia. Untuk mampu
melakukan peranya yang demikian itu, maka akal pikiran dan berbagai potensi
yang ada dalam diri manusia harus dibina secara optimal. Sarana yang paling
efektif untuk membina manusia adalah pendidikan yang didasarkan pada ajaran
Islam.
Muhammad
Natsir adalah tokoh yang menggagas pembaruan pendidikan Islam yang berbasis Al
qur’an dan Sunnah, dimana keduanya mengajarkan bahwa pendidikan Islam haruslah
bersifat universal. [160]
- B. RIWAYAT HIDUP M. NATSIR
Muhammad
Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat pada tanggal
17 Juli 1908.
Riwayat
pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera
Barat hingga kelas dua. Ketika ayahnya dipindah tugaskan ke Bekereu, Natsir
mendapatkan tawaran dari mamaknya untuk pindah ke Padang agar dapat menjadi
siswa di Holland Inlandse School (HIS) Padang. Namun HIS Padang
menolaknya, dengan pertimbangan bahwa Natsir adalah anak seorang pegawai
rendahan. Namun akhirnya Ia dapat diterima di HIS Adabiyah, yaitu sebuah
sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak negri. Natsir
diterima di sekolah itu selama 5 bulan.[161]
Selain
belajar di HIS pada pagi hari, Natsir juga belajar di Sekolah Diniyah pada
waktu sore hari dan belajar mengaji pada malam harinya.
Setelah
lulus dari HIS, Natsir mengajukan permohonan untuk mendapat beasiswa dari MULO (Meer
Uitbegreid Lager Orderwijs), dan lamaranya diterima. Di MULO Padang Ia
mulai aktif dalam organisasi, diantaranya:
- Jong Sumtranen Bond (Sarikat Pemuda Sumatera) yang diketuai oleh Sanusi Pane.
- Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam)
- Menjadi anggota Pandu Nationale Pavinderij (Natipij)
Menurut
Natsir, organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkanya disekolah, dan
memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai
organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagi pemimpin bangsa pada M. Natsir.[162]
Karena
Natsir sangat memperhatikan pendidikan persoalan keislaman dan kemasyarakatan
sebagaimana tersebut diatas menyebabkan Natsir menolak tiga kesempatan yang
ditawarkan kepadanya, yaitu melanjutkan studi ke fakultas hukum atau ekonomi di
Rotterdam, menjadi pegawai negeri dengan gaji besar sebagai hadiah dari
keberhasilanya menyelesaikan studi di AMS dengan nilai tinggi. [163]
- C. PEMIKIRAN M. NATSIR DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Semula Ia
aktif dalam bidang da’wah untuk membina kader. Pada umumnya Ia aktif dalam
bidang agama di Bandung dan mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) dan
menjabat sebagai Direktur Pendidikan Islam tersebut. Lembaga tersebut mengasuh
sekolah-sekolah dari TK, HIS, MULO dan Kweekschool yang didampinginya[164]. Di sekolah trsebut para siswa digembleng
ilmu-ilmu agama dan juga sikap perjuangan. Alumni-alumni dari sekolah tersebut
kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di daerah masing-masing. Natsir
merupakan sosok ideal dalam konsep aplikasi integrasi ilmu . Meskipun ia
berpendidikan formal Belanda namun Ia menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan
baik. Natsir tidak menginginlan umat Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu agama
sehingga trtinggal dalam persaingan global.
Demikian juga sebaliknya
Ia tidak ingin umat Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu umum dan buta terhadap
agamanya yang akan menyebabkan umat Islam tidak mengetahui misi hidup yang
sesungguhnya berdasarkan petunjuk Islam.[165]
Natsir
termasuk tokoh intelektual yang produktif. Menurut Yusuf Abdullah Puar, Natsir
telah menulis lebih dari 52 judul buku sejak tahun 1930, diantaranya adalah:[166]
- Cultuur Islam, bersama CP Wolf Kemal Schoemaker. Pendidikan Islam 1936
- Persatuan Agama dengan Negara, Padang, 1968
- Islam dan Kristen di Indonesia, Pelajar, 1969
- Capita Selecta, Bulan Bintang, 1973
- The New Morality, disusun bersama SU Bayasut 1969
- Islam dan Akal Merdeka. 1970
Dari
banyaknya buku yang Ia tulis dapat terlihat bahwa Muhammad Natsir sangat
memperhatikan perlunya pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara juga perlunya meningkatkan dan mengembangkan pendidikan umat.[167]
Kecintaanya
di bidang pendidikan dibuktian dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah
Universitas Islam diantaranya adalah:
- Universistas Islam Indonesia
- Universitas Islam Sumatera Utara
- Universitas Riau
- Universitas Ibnu Khaldun
- Dan lain-lain[168]
Berdasarkan
data-data yang dikumpulkan, bahwa Natsir berbicara tentang beberapa komponen
pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Tentang peran dan fungsi pendidikan,terdapat enam rumusan, yaitu:
- Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.
- Pendidikan harus diarahkan agar manusia mempunyai sifat-sifat kemausiaan.
- Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar.
- Pendidikan agar berperan membawa manusia agar mencapai tujuan hidupnya yaitu menjadi hamba Allah.
Dari uraian
diatas dapat diketahui bahwa pandangan Natsir tentang pendidikan dipengaruhi
oleh situasi pada saat itu. Natsir ingin agar pendidikan dapat membebaskan
manusia dari belenggu dan intimidasi.
- Tentang Tujuan Pendidikan Islam. Menurutnya, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan identitas Islam yang pada intinya menjadikan manusia yang berperilaku Islami, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt sebagai sumber kekuasaan yang mutlak yang harus ditaati. Ketaatan pada Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total pada Allah, menjadikan manusia menghambakan dirinya pada Allah swt.
- Tentang Dasar Pendidikan. Dalam tulisanya yang berjudul “Tauhid Sebagai Dasar Didikan”disebutkan tentang pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan. Tauhid dapat terlihat manifestasinya pada kepribadian yang mulia. Yaitu pribadi yang memiliki keikhlasn, kejujuran dan lain sebagainya.
- Tentang Ideologi dan Pendekatan Dalam Pendidikan. Salah satu masalah yang muncul dalam wacana perdebatan dikalangan Ilmuwan pada masa Natsir, antara lain mengenai dikotomi antara pendidikan umum dan agama. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Natsir mengajukan konsep pendidikan integral, harmonis dan universal. Konsepsi pendidikan yang integral, harmonis dan universal menurut Natsir adalah pendidikan yang tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan umum, tapi antara keduanya mempunyai keterpaduan dan keseimbangan.
- Tentang Fungsi Bahasa Asing. Menurut Natsir, bahasa asing sangat besar perananya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa.
- Tentang Keteladanan Guru. Menurut DR. G. J Niewenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, bahwa suatu bangsa tidak akan maju sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemjuan.[169]
Dalam bidang
akademik, Natsir memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam
Libanon (1967) dibidang sastra, Ia menerima gelar yang sama Universitas
Kebagsaan Malaysia dan Universitas Teknologi Malaysia dalam bidang pemikiran
Islam. [170]
- D. PEMIKIRAN M. NATSIR DI BIDANG POLITIK
Pada tahun
1938, Natsir mulai aktif dibidang politik dengan masuk sebagai anggota Pelajar
Islam Indonesia (PII) dan diangkat menjadi ketua pada tahun 1942-1945. Pada
waktu itu beliau merangkap sebagai kepala Biro Pendidikan Kota Madya Bandung,
serta sebagai sekertaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.
Karier
politik Natsir setelah kemerdekaan diawali sebagai anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945-1946. Kemudian menjadi Menteri
Penerangan RI pada kabinet Syahrir dan kabinet Hatta. Setelah itu beliau
diangkat menjadi ketua Masyumi. Karier politik Natsir mencapai puncak ketika
beliau menjabat sebagai Perdana Menteri RI (1950-1951). Dalam pemilu tahun 1955
Natsir terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pada tahun
1956-1957 beliau menjadi anggota konstituante RI. [171]
Pada masa
orde lama, Natsir terlibat polemik dengan Presiden Soekarno tentang bentuk dan
dasar Negara yang akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan
westernisasi serta mempertahankan ide kesatuan agama dengan Negara. [172]
Natsir
mempunyai cita-cita untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Hal itulah
yang menimbulkan konflik antara Natsir dan Presiden Sukarno. Sejak saat itu,
Natsir aktif dalam gerakan oposisi, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) di Sumatera. [173]
Pada masa
orde baru, Natsir tetap tersingkir dari pemerintahan karena perbedaan ideologi.
Misalnya, Pemerintah Orde Baru tetap tidak mengabulkan rehabilitasi dan
hidupnya kembali Masyumi yang dibubarkan oleh Sukarno. Dalam keadaan yang
demikian, Natsir meneruskan perjuangannya dengan menggunakan media dakwah
melalui yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan bersama
mantan aktivis Masyumi lainnya.
- E. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM M. NATSIR
Pandangan
Natsir tentang Islam adalah agama pembebasan yang menegakan kemerdekaan jiwa
seseorang dari kemusyrikan, tahayul dan rasa takut kepada selain Allah. Secara
garis besar pemikiran politik Islam M. Natsir adalah sebagai berikut:
- M. Natsir dan Sekulerisme
Menurut
Natsir Sekuler adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap
hanya didalam batas keduniaan dan tidak mengenal akhirat serta tuhan
- M. Natsir dan Misi Kristenisasi
Selain
dikenal sebagai sosok yang alim beliau juga dikenal sebagai sosok yang berani
melawan misionaris dan zending di Indonesia.
- M. Natsir dan Perang Pemikiran dan Orientalisme
Perang
Pemikiran seiring dengan upaya sekulerisme dan memperkecil pengaruh Islam dan
pemeluknya. Target perang pemikiran yang dilancarkan adalah melepaskan syariat
Islam dari umat Islam.
- M. Natsir dan Islamisasi Hayah
M Natsir
berupaya mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
dan Negara. Beliau berusaha mencontoh Rasul dalam berdakwah. Bahwa suatu Negara
diibaratkan sebuah bangunan yang terdiri dari dua unsur, yaitu manusia dan
sistem. Sistem disini adalah Islam dan manusia adalah yang dikelola,
dibelajarkan hingga sistem terbangun dalam dirinya sebelum kemudian
mengopersaikan Negara dengan sistem tersebut. [174]
Dalam bidang
politik, M. Natsir terlibat dalam berbagai organisasi. Diantaranya adalah
Masyumi. Beliau pernah menjabat sebagai ketua Masyumi pada tahun 1949. Setelah
Masyumi dibubarkan, pada tahun 1957 Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII) bersama-sama para tokoh yang sebelumnya tergabung dalam
Masyumi. Diantara kegiatan DDII adalah sebagai berikut:
- Pembangunan Masjid
- Pengiriman Da’i[175]
Memang, di
dalam negeri Natsir kurang dihargai oleh pemerintah pada masing-masing periode.
Namun, di dunia internasional, Natsir melalui dukunganya terhadap kemerdekaan
Negara-negara Islam di Asia Tenggara dan Afrika, serta usahanya menghimpun
Negara-negara yang baru merdeka. Atas semua ini, beliau dijuluki sebagai tokoh
besar dunia Islam saat ini.
Sebagai
penghargaan dan penghormatan terhadap pengabdianya di dunia Islam Natsir
menerima beberapa penghargaan, diantarnya:
- Nicham Istikhar (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia tahun 1857
- Internasional Jaizatul Malik Faisal al Alamiyah dari lembaga Internasional Malik Faisal di Saudi Arabia tahun 1980 [176]
- F. PEMIKIRAN M NATSIR DI BIDANG DAKWAH
Dalam bidang
dakwah M. Natsir menulis beberapa buku salah satunya berjudul Fiqhud Da’wah
yang berisi tentang jejak risalah dan dasar-dasar dakwah. Isi buku tersebut
berasal dari catatan-catatan atau diktat-diktat untuk kursus latihan calon
mubaligh. Sudah bertahun-tahun diktat-diktat itu tersimpan, bertebaran ditangan
para pengikut kursus tersebut. [177]
- G. PENUTUP
M. Natsir
merupakan tokoh yang sangat terkenal dibidang politik, pendidikan dan dakwah.
Banyak penghargaan yang telah diraihnya dari dunia internasional.
Pemikiran-pemikiranya sangat disegani baik di dalam maupun di luar negeri.
Walaupun beliau kurang mendapat penghormatan dari pemerintah RI pada waktu itu,
akan tetapi beliau sangat dihormati di dunia internasionl.
M. Natsir
meupakan tokoh Indonesia yang sangat gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai
keislaman baik di bidang politik, pendidikan maupun dakwah. Beliau senantiasa
berupaya mengintegrasikan nilai-nilai keislaman kedalam ketiga bidang tersebut.
Ada beberapa
pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok M. Natsir, yaitu semangat M. Natsir
dalam mempelajari ilmu agama yang sangat tinggi serta niat yang ikhlas dan
lurus untuk mencari ilmu dan membagi ilmu dengan orang lain. Selain itu
pelajaran yang dapat kita ambil adalah besarnya kepedulian M. Natsir terhadap
hal-hal yang dapat merusak keimanan umat terutama umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Luth,
Thohir. 1999. M. Natsir: Dakwah dan Pemikiranya. Jakarta: Gema Insani.
Nata,
Abudin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT Grafindo Persada.
Natsir, M.
1989. Fiqhud Da’wah. Solo : CV. Ramadhani.
http: \\ www.
Insisnet. com
http: \\
dunia pelajar_Islam. or. id
http: \\
qudrat. multiply. com
www.
Hidayatullah. com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar