Isu-isu Pendidikan Islam di Madrasah : Tinjauan
terhadap Strategi Peningkatan Mutu Madrasah dalam Pentas Pendidikan Nasional
A.
Pendahuluan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam berdiri sekitar pertengahan abad ke-5 M. Dengan ditandai berdirinya
madrasah yang megah yaitu Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.[1][1] Pada awal berdirinya, madrasah sudah memiliki sistem
administrasi yang teratur dan rapi serta memberikan kebebasan pada guru dan
siswa dalam proses belajar mengajar.
Madrasah merupakan lembaga
pendidikan yang berciri khas Islam yang menarik perhatian masyarakat dewasa
ini, karena eksistensinya dan peran yang tampak dalam peraturan Pendidikan
Nasional. Peran itu terlihat antara lain dengan adanya reposisi madrasah dalam
menghasilkan pendidikan putra bangsa, bermoral tinggi, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi secara beriringan, sekaligus juga meninggalkan pola
manajemen konvensional yang selama ini dianggap memberikan kontribusi terhadap
keterbelakangan para lulusan madrasah itu sendiri.[2][2]
Fenomena keterbelakangan madrasah
terlihat dari lulusan madrasah yang kurang terampil dan tidak sesuai dengan
tujuan dari pendidikan tersebut serta tidak mampu bersosialisasi dengan
masyarakat secara baik, misalnya lulusan madrasah tidak paham tentang agama
Islam, tidak bisa mengaji Al-Qur’an dan lain sebagainya. Permasalahan madrasah
bukan hanya dari siswa tetapi melibatkan semua komponen pendidikan di antaranya
kurangnya keprofesionalan guru atau kurikulumnya. Fenomena ini tentunya sudah
dipikirkan oleh para pakar pendidikan Islam untuk memperbaiki mutu pendidikan
madrasah tersebut. Niat ini tentunya perlu didukung oleh semua pihak terutama
masyarakat Islam baik dari segi pemikiran atau dana.
Dalam perkembangannya yang panjang
eksistensi madrasah melahirkan banyak hal positif dan negatif, sesuai dengan
pasang surut kualitas para pengelola yang terkait di dalamnya. Tetapi prospek
madrasah di masa depan cukup cerah, karena pendidikan semacam ini dibutuhkan
dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin global. Madrasah yang kaya
pengalaman, memiliki ciri khas keIslaman dan mengutamakan pendidikan moral
merupakan reaktualisasi potensi madrasah dalam memenuhi kebutuhan serta
pemberdayaan masyarakat.[3][3] Menghadapi tantangan globalisasi yang tidak memiliki
batas wilayah, pendidikan madrasah dapat dijadikan benteng diri dari arus
globalisasi yang membawa kepada kerusakan pada pemikiran dan moral anak bangsa.
B.
Isu-isu
Pendidikan Islam di Madrasah : Tinjauan terhadap Strategi Peningkatan Mutu Madrasah
dalam Pentas Pendidikan Nasional
1.
Konsepsi
tentang Strategi dan Mutu
Sebelum kita membahas tentang
isu-isu pendidikan Islam di madrasah ditinjau dari strategi dan mutu. Terlebih
dahulu dijelaskan tentang pengertian strategi dan mutu. Pupuh Fathurrohman
mendefenisikan strategi adalah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan.[4][4] Sedangkan Solusu mendefenisikan strategi sebagai
suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasaran melalui
hubungan efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan.
Selanjutnya Jhon R. Scherchom menjelaskan “a strategy is comprehensive plan
the set critical direction and guides the allocation of resources to achieve
long-term or organizational objectives”.[5][5]
Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, maka dapat disimpulkan strategi merupakan suatu cara/kiat dalam
bertindak dengan menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan secara optimal.
Untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, suatu strategi amat diperlukan karena madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang memiliki sistem pendidikan yang teratur. Strategi tidak dapat
berbuat apa pun jika tidak digunakan oleh unsur-unsur dalam lembaga tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen oleh semua pihak dalam suatu lembaga.
Menurut Akmal Hawi, mutu merupakan
kata kunci suksesnya bersaing dalam kinerja berusaha, termasuk dalam bidang
pendidikan. Hal ini berdasarkan pada pendapat Pfeffer dan Coote, perkataan
mutu menunjukkan kepada suatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan
pada barang atau jasa berdasarkan pertimbangann objektif atau bobot atau
kinerjanya.[6][6]
Mutu merupakan kualitas yang
memiliki standar atau patokan. Semua lembaga pendidikan termasuk madrasah
mempunyai keinginan yaitu sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas di semua
unsur seperti guru dan siswa. Untuk mencapai mutu yang baik, tentunya harus
memiliki strategi yang baik serta sinergitas antarkomponen pendidikan.
2.
Permasalahan
Madrasah
Madrasah merupakan lembaga
pendidikan yang menjadi tumpuan harapan masyarakat muslim untuk kepentingan
pendidikan anak mereka. Harapan itu tidaklah berlebihan mengingat mayoritas
masyarakat Indonesia adalah Islam. Hanya saja sampai saat ini madrasah dalam
kanca pendidikan nasional masih tertinggal dari lembaga pendidikan umum
lainnya, khususnya dalam bidang eksakta dan teknologi. Meskipun usaha perbaikan
telah dilakukan dengan memperbaiki kurikulum, yakni memberi mata pelajaran umum
70% dan sisanya pelajaran agama.[7][7] Permasalahan yang terjadi di madrasah merupakan
masalah yang harus diselesaikan dengan pemikiran-pemikiran yang rasional dan
diikuti dengan keikhlasan dalam beramal. Dengan demikian terciptanya mutu
pendidikan yang sesuai dengan harapan.
Lembaga pendidikan dalam bentuk
madrasah di Indonesia cukup banyak, tetapi terbesar adalah berstatus swasta,
yakni lebih kurang 96,4%, sedangkan yang berstatus negeri hanya lebih kurang
3,6% dengan total keseluruhan 49.945 buah.[8][8] Jumlah tersebut mengindikasikan bahwa kepercayaan
masyarakat kepada lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sangat tinggi.
Diharapkan kepada seluruh lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah untuk tidak
menyia-nyiakan kepercayaan tersebut dengan melakukan terobosan yang positif dan
berusaha memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam sistem pendidikan madrasah.
Menurut Akmal Hawi, ada beberapa
sisi kelemahan-kelemanahan yang secara mendasar dimiliki oleh madrasah, antara
lain :
a. Secara
struktural, pola kebijakan penyelenggaraan madrasah cenderung bersifat
sentralistik. Hampir setiap urusan diatur dan dikendalikan secara terpusat,
mulai dari sistem pengelolaan lembaga sampai kepada teknis pengelolaan
pembelajaran. Sehingga istilah “otonomi paedagogiknya terampas”, karena guru
hanya bertindak sebagai operator.
b. Secara
manajerial, sistem pengangkatan tenaga pendidik yang berlum profesional dan
masih bermakna defendent, keadaan ini cenderung mempengaruhi proses
perkembangan madrasah. Begitu juga dengan pengangkatan dan pembinaan kepala
sekolah sebagai figur sentral di sekolahnya.
c. Secara
finansial, madrasah dalam posisi ini masih sangat kekurangan. Perhatian
pemerintah dirasakan belum begitu optimal bila dibandingkan dengan
sekolah-sekolah umum lainnya. Keadaan tersebut berlangsung hingga sekarang.
d. Secara
potensial, pemberdayaan peran serta masyarakat baru pada kepentingan dukungan
finansial dan terbatas lewat BP3, sedangkan sumber-sumber daya pendidikan yang
lainnya masih belum terjamah secara optimal untuk penyelenggara pendidikan.
e. Belum adanya
organisasi yang berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan madrasah secara
umum.[9][9]
Dari pendapat di atas, Akmal Hawi
ini, memandang permasalahan secara keseluruhan dari madrasah. Permasalahan
tersebut terdiri dari segi struktural (kepengurusan), manajerial (pengelolaan),
biaya, pemberdayaan peran masyarakat.
Banyak para pakar pendidikan umum
dan agama mengomentari permasalahan yang dihadapi oleh madrasah. Adapun
permasalahan-permasalahan tersebut sebagai berikut :
a. Romo Mangun
Wijaya, bahwa proses pembelajaran di lembaga pendidikan khususnya agama dalam
proses pembelajaran lebih mementikan huruf daripada roh, lebih mendahulukan
tafsiran harfiah di atas cinta kasih.
b. Azyumardi
Azra, bahwa metodologis pembelajaran PAI masih terjebak ke dalam metodologis
yang bersifat kognitif dogmatif.[10][10]
c.
Nurcholis
Madjid, bahwa kegagalan pendidikan agama disebabkan Pendidikan Agama Islam
lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada
pemaknaannya (Pikiran Rakyat, 30 juni 2003).
d.
Materi Agama
(Said Agil al-Munawar), bahwa Pendidikan Agama Islam di sekolah
mengalami masalah metodologi, (Pikiran Rakyat, 2003:9)[11][11]
Berdasarkan
permasalahan yang terjadi di madrasah tersebut, menjelaskan pokok
permasalahannya adalah terletak pada proses pembelajaran di madrasah, seperti
metodologi. Permasalahan tersebut bukan hanya pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan oleh pemerintah saja, melainkan permasalahan bagi umat Islam di
Indonesia. Era globalisasi sangat membutuhkan sekali lembaga pendidikan yang
bernuansa agama untuk membentengi diri
anak didik dari pengaruh negatif globalisasi dan mempergunakan globalisasi
sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam harus
mengutamakan pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak merupakan ruhnya daripada
pendidikan Islam. Sesuai dengan sabda Rasul Saw : Sesungguhnya Aku
(Muhammad) diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak.
Mengenai krisis pendidikan Islam di
dunia termasuk madrasah, Dr. Fadhil al-Djamaly menghimbau agar umat Islam
menciptakan pendidikan yang didasari kepada keimanan kepada Allah, karena hanya
iman yang benarlah yang menjadi dasar pendidikan yang benar dan memimpin kita
kepada usaha yang mendalami hakikat dan menuntut ilmu yang benar sedang ilmu
yang benar memimpin kita ke arah amal yang shaleh.[12][12] Hakikat
dari penyelenggaraan pendidikan Islam khususnya madrasah harus diniatkan ikhlas
karena Allah Swt. dan bentuk ibadah kepada-Nya, dengan niat ibadah tersebut
dapat melahirkan anak-anak didik yang berkualitas.
3.
Peningkatan
Mutu Madrasah
Dalam rangka untuk meningkatkan mutu
madrasah baik secara kualitatif dan kuantitatif. Perlu dilakukan strategi untuk
meningkatkan mutu tersebut. Namun, dalam hal dibutuhkan kerjasama dan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dengan madrasah. Menurut Akmal
Hawi, berikut strategi peningkatan mutu madrasah yang dapat dilakukan dengan
usaha sebagai berikut :
a.
Akuntabilitas
Proses
Untuk meningkatkan mutu madrasah,
maka upaya yang paling efektif dengan cara peningkatan akuntabilitas proses
pendidikannya. Akuntabilitas proses diharapkan benar-benar mampu menjamin madrasah yang dapat menjaga dan meningkatkan
mutunya secara progresif dan terus menerus. Mutu di sini tidak hanya menyangkut
masalah isi saja, melainkan juga kesesuaian metodologi pembelajaran.
Akuntabilitas proses pendidikan
dikembangkan dengan cara :
1) Lebih pada
kegiatan belajar daripada mengajar.
2) Orientasi
pelatihan guru lebih kepada memfasilitasi proses belajar daripada mengajar.
3) Menerapkan
pengembangan kurikulum secara komprehensif yang dirancang untuk memelihara
integritas pengembangan kemampuan akademik dan teknis dalam proses
pembelajaran.
4) Mengembangkan
sistem penilaian menyeluruh terhadap peserta didik untuk menentukan
keberhasilan pendidikan sesuai tuntunan masyarakat.
5) Menerapkan
manajemen sistem pendidikan dan pelatihan yang efektif dan efesien dengan
memanfaatkan hasil pengalaman belajar awal, sehingga dapat diketahui pengalaman
belajar mana yang sudah dimiliki dan belum dikuasai.
6) Mengembangkan
manajemen berbasis pada masyarakat sekolah, sehingga program dan proses
pendidikan yang berlangsung dapat diterima dan didukung masyarakat.[13][13]
Pendapat Akmal Hawi ini menjelaskan
bahwa sekolah harus bertanggung jawab dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran
di madrasah. Madrasah harus meningkatkan mutu proses pembelajaran dengan
melakukan tindakan seperti guru harus mengajak siswa aktif dalam proses
pembelajaran bukan pengajaran (identik dengan guru sebagai pusat); guru
berperan sebagai fasilitator (mengetahui apa yang dikehendaki oleh anak didik);
guru menitik-beratkan dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotorik begitu juga
dalam hal penilaian; sebelum mengajar guru harus melakukan post test;
dan mendidik anak didik sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
b.
Profesionalisme
Profesionalisme merupakan aspek
penting lainnya untuk menentukan kualitas pendidikan. Selama ini di madrasah
belum sepenuhnya menempatkan para profesional secara memadai untuk menunjang
kegiatannya.
Pertama, guru sebagai
penanggungjawab utama perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Karena
didasari bahwa penentu keberhasilan pelaksanaan pendidikan di madrasah lebih
banyak bertumpu pada manajemen guru, sehingga berbagai aspek yang berkaitan
dengan guru perlu diperhitungkan, di antaranya, aspek rekrutmen, pelatihan
perkembangan karir, dan isentif.
Kedua, kepala sekolah sebagai
personil yang memiliki posisi sangat strategis dalam meningkatkan mutu
pendidikan. Oleh karena penunjukkan kepala sekolah harus melalui seleksi ketat.
Apabila memungkinkan dapat dibentuk dewan sekolah yang bertugas di antaranya
mengadakan pemilihan kepala sekolah. Setelah melalui proses demokratis,
kemudian diusulkan kepada pihak Departemen Agama untuk mengeluarkan SK-nya.[14][14]
Menurut Surya, guru yang profesional
akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditindai dengan
keahlian baik dalam materi maupun metode. Selain itu, juga ditunjukkan melalui
tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya.[15][15]
Dalam lembaga pendidikan Islam,
istilah “guru salah kamar” merupakan istilah yang sudah biasa di lembaga
ini. Seperti guru Matematika mengajar PAI, guru PAI mengajar Olahraga. Lembaga
pendidikan Islam dituntut untuk merekrut guru yang sesuai dengan sertifikat
pendidiknya, berpengalaman, dan diberi gaji tambahan untuk kesejahteraan guru.
Selanjutnya dalam hal pemilihan kepala sekolah harus diserahkan kepada komite sekolahnya
bukan kepada Depag. Biasanya kepala sekolah yang dipilih oleh Depag lebih
kepada hubungan keluarga (nepotisme), dapat diinterpensi, terjadinya korupsi
berjemaah. Kepala sekolah yang dipilih oleh Depag tidak sesuai dengan aspirasi
guru.
c.
Meningkatkan
Anggaran Biaya
Berkenaan dengan pembiayaan
madrasah, maka perlu upaya sistematis dan terprogram untuk memperjuangkan
anggaran pendidikan lebih besar dan keadaan sekarang, sehingga pos-pos
pengeluaran untuk kepentingan peningkatan mutu madrasah dapat terpenuhi secara
baik, seperti pengadaan sarana dan prasarana.
Pihak Departemen Agama haruslah
melakukan upaya lobi yang sungguh untuk mendapatkan anggaran biaya pendidikan
yang lebih besar untuk madrasah. Upaya ini memiliki arti penting meningkatkan
mutu dan citra madrasah. Di sisi status madrasah disamakan dengan kedudukannya
dengan sekolah di bawah naungan Dinas Pendidikan Nasional, namun dari sisi
finansial ada ketidak adilan yang terjadi. Dualisme perlakuan selama ini harus
segera disadari dan dilakukan upaya nyata dalam rangka peningkatan mutu
madrasah.[16][16]
Untuk menciptakan anak yang
berakhlak mulia, lembaga pendidikan Islam memerlukan biaya sebagai suatu usaha
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu pihak Depag harus mengetahui
hal tersebut dengan melakukan lobi kepada pemerintah atau kepada pihak swasta
untuk mendapatkan biaya yang besar seperti halnya yang diterima oleh Diknas.
Lembaga pendidikan Islam selalu mendapatkan diskriminasi (dalam hal biaya) dari
pemerintah. Menurut Amin Suyitno, negara dan agama merupakan suatu hal yang
tidak terpisahkan. Selanjutnya, agama memiliki peran yang amat besar dalam hal
memajukan suatu negara seperti halnya pendidikan. Untuk itu, tidak ada alasan
bagi pemerintah tidak membantu keperluan agama Islam (termasuk pendidikan yang
dikembangkan oleh ormas Islam) mengingat perannya yang amat besar.[17][17] Dengan demikian, jika pemerintah tidak membantu
lembaga pendidikan Islam berarti pemerintah lupa akan sejarah negara ini.
d.
Meningkatkan
Peranserta Masyarakat
Menyadari akan pentingnya peranserta
masyarakat dalam peningkatan mutu madrasah haruslah dimaknai secara luas, yang
tidak hanya memberikan kontribusi secara finansial bagi kepentingan madrasah
seperti yang dilakukan BP3 selama ini, namun juga sama pentingnya yaitu
keterlibatan masyarakat dalam memerankan dirinya sebagai pengendali kualitas
madrasah.
Keberadaan BP3 selama ini harus
segera diganti dengan nama lain sebab nama tersebut bermakna sempit hanya untuk kepentingan kegiatan pengumpulan
dana sekolah saja. Upaya pergantian nama seperti dengan dewan sekolah
(madrasah) atau POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) diharapkan dapat
meningkatkan peranserta masyarakat memajukan masyarakat.
Melalui dewan sekolah (madrasah)
atau POMG, orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan sekolah. Dengan demikian masyarakat dapat memahami, mengawasi, dan
membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk dalam kegiatan belajar. Besarnya
peranan masyarakat dalam pengelolaan sekolah tersebut mungkin dapat menimbulkan
benturan kepentingan antara madrasah dengan masyarakat. Untuk mencegah
terjadinya benturan kepentingan antara sekolah, orang tua dan masyarakat, maka
perlu dirumuskan batasan peranan masing-masing.[18][18]
Menurut Akmal Hawi, peranserta
masyarakat jangan hanya terletak pada segi finansial (biaya). Madrasah
membutuhkan peranserta masyarakat bukan hanya dibidang finansial, melainkan
peran dalam hal pengawasan, pemikiran dan moral. Pengawasan dalam artian
mengawasi penyelenggaraan proses pembelajaran, biaya operasional sekolah,
kebijakan sekolah. Pemikiran dalam artian memberikan kontribusi pemikiran
berupa ide dan gagasan. Dan moral dalam artian memberikan semangat, motivasi,
mencontohkan akhlak yang baik kepada anak didik. Namun Akmal Hawi menegaskan
perlu diberikan pembatasan dalam hal peranserta masyarakat, agar masyarakat
tidak terlalu jauh ikut mencampuri urusan sekolah. Jika terlalu jauh ikut
campur, maka kemandirian dari suatu sekolah akan lenyap. Tentunya hal ini berlawanan
akan harapan pemerintah untuk membuat suatu sekolah yang mandiri.
e.
Evaluasi
Diri
Penggunaan istilah evaluasi untuk
sekolah-sekolah khususnya madrasah masih belum populer, padahal evaluasi diri
ini merupakan keadaan dimana kita dapat melihat tingkat keberhasilan proses
pendidikan yang berlangsung serta kelemahannya sehingga dapat segera
diperbaiki.
Proses evaluasi dan berkaitan erat
dengan analisa terhadap data yang dikumpulkan berkaitan dengan komponen :
1) Efesiensi,
merupakan keterkaitan antara masukan/sumber daya dan proses, dan menunjukkan
derajat kehematan dalam pengunaan sumber daya dalam proses.
2) Produktivitas,
merupakan keterkaitan antara proses dan keluaran (dalam hal ini), menunjukkan
jumlah satuan hasil yang terjadi karena suatu proses tertentu, dihitung
berdasarkan penggunaan sumber daya tertentu.
3) Efektivitas,
merupakan keterkaitan antara tujuan dan hasil yang dinyatakan, dan menunjukkan
derajat kesesuaian antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai.
4) Akuntabilitas,
merupakan derajat pertanggunngjawaban dalam penyelenggaraan madrasah (sekolah).
5) Kemampuan
inovasi, berhubungan derajat kelenturan madrasah atau program-program terhadap
perubahan yang terjadi di masyarakat.[19][19]
Menurut Anas Sudjiono, bahwa
evaluasi pendidikan memiliki fungsi sebagai berikut :
1) Mengukur
kemajuan
2) Menunjang
penyusunan rencana
Selanjutnya, menurut Sukmadinata,
bahwa ada dua bentuk yang menjadi objek evaluasi yaitu : 1) evaluasi hasil
belajar; dan 2) evaluasi pelaksanaan pembelajaran.[21][21]
Evaluasi merupakan tahap akhir dari
kesemua komponen di atas. Evaluasi digunakan untuk menilai seberapa jauh
keberhasilan dalam proses pembelajaran dan untuk perbaikan. Evaluasi merupakan
hal yang penting karena dengan evaluasi kita dapat mengetahui keberhasilan yang
dicapai dan mana komponen-komponen yang akan diperbaiki untuk selanjutnya.
Mengenai peningkatan mutu madrasah
dalam suatu situs menjelaskan bahwa, upaya meningkatkan mutu pendidikan sudah
sejak lama dilakukan pemerintah. Beberapa aspek yang menjadi sasaran dalam
upaya tersebut adalah meningkatkan kemampuan guru sehubungan dengan mutu Proses
Belajar Mengajar (PBM). Meningkatkan kemampuan Kepala Sekolah sehubungan dengan
pengelolaan dan manajemen sekolah. Kemampuan para Supervisor/pengawas
sehubungan dengan proses pengawasan dan penilaian pelaksanaan pendidikan di
sekolah. [22][22]
C.
Kesimpulan
Lembaga pendidikan Islam khususnya
madrasah memiliki banyak permasalahan yang dihadapinya seperti permasalah
perekrutan tenaga pengajar; pemilihan kepala sekolah; kurangnya biaya;
kurangnya semangat juang organisasi pendidikan; dan pemberdayaan peranserta
masyarakat. Untuk menyelesaikan permalahan tersebut diperlukankan strategi yang
jitu untuk mencapai mutu pendidikan yang berkualitas.
Adapun yang perlu dilakukan oleh
lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah untuk meningkatkan mutunya adalah
akuntabilitas proses, profesionalisme, peningkatan anggaran biaya, meningkatkan
peranserta masyarakat, dan evaluasi diri. Diharapkan solusi tersebut dapat
meningkatkan mutu pendidikan madrasah.
Daftar Pustaka
Abdurahmansyah. 2009. Teori
Pengembangan Kurikulum dan Aplikasi. Jakarta. Grafika Telindo Press.
Arifin, Muzayyin Arifin. 2009. Kapita
Selekta Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Djamaludin dan Abdullah Aly. 1999. Kapita
Selekta Pendidikan Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Fathurrohman, Pupuh dan Sobri
Sutikno. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Bandung. Refika Aditama.
Forum diskusi mata kuliah Kapita
Selekta Pendidikan Islam
Hawi, Akmal. 2008. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Palembang. IAIN Raden Fatah Press.
Kunandar. 2010. Guru Profesional.
Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Niswah, Choirun. 2010. Sejarah
Pendidikan Islam (Timur Tengah dan Indonesia). Palembang. Rafah Press.
Sudjiono, Anas. 2011. Evaluasi
Pendidikan. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Suyitno, Amin. Bedah Buku
“Matahari Terbit Bintang Sembilan”, di sampaikan di Ruang Seminar Pasca
Sarjana IAIN Raden Fatah Palembang.
http://semy22.blogspot.com/2010/04/seni-dan-budaya-dalam-pendidikan-agama.html, Di Akses 06 April 2011, 14:55
2.
Madrasah
a.
Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam
bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan)
dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah"
diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat
untuk memberikan pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga
bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku
yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras"
juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat’.[23][4]
Kata "madrasah"
juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu
"darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau
"tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata
"madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat
belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah"
memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah"
itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing,
yaitu school atau scola.
Secara teknis, dalam proses
belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan
sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai
sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni
"sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini
agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di
samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga
mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah
yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa
disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah"
berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai
lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau
"tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Istilah
madrasah sebagai pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi
tersiarnya melalui menteri Saljuqi yang bernama Nizam al-Mulk, yang mendirikan
madrasah Nizammiyah. Selanjutnya Gibb dan Kremers menuturkan bahwa pendiri
madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Salahuddin al-Ayyfihi.
b.
Sejarah Madrasah
Kelahiran
madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap system pesantern yang
semata-mata menitikberatkan agama, di lain pihak system pendidikan umum justru
ketika itu tidak menghiraukan agama. Dengan demikian kehadiran madrasah
dilatarbelakangi olehkeinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu
agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam pendidikan dikalangan umat Islam. Atau
dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan system pendidikan
pesantreandengan pendidikan colonial.[24][5]
Sebagai
lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya munculnya madrasah mempunyai empat
latar belakang, yaitu:
1)
Sebagai
manifestasi dan realisasi pembaruan system pendidikan Islam
2)
Upaya
penyempurnaan terhadap system pesantren ke arah suatu system pendidikan yang
lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan
sekolah umum. Misalnya, masalah kesamaan kesempatan kerja dan memperoleh
ijazah.
3)
Adanya sikap
mentalpada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpaku pada
Barat sebagai system pendidikan mereka.
4)
Sebagai
upaya menjembatani antara system pendidikan tradisional yang dilakukan oleh
pesantren dan system pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar