PENDEKATAN PEMIKIRAN
KEAGAMAAN DALAM ISLAM TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
Pendahuluan
Kajian holistik dan komprehensif tentang Islam
--termasuk di dalamnya dimensi historisitas dan normativitas-- merupakan bidang
yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuwan, baik Barat maupun
Muslim. Kajian holistik dimaksud menunjuk adanya kombinasi ideal antara
perspektif tekstual dan kontekstual. Jika pendekatan tekstual penting untuk
mengkaji Islam normatif, pendekatan kontekstual urgen dalam rangka menafsirkan
Islam normatif tersebut ke dalam wacana kesejarahannya (konteks ruang dan
waktu).
Barat, yang selama ini dikenal dengan keunggulan
metodologis dan kekritisannya, sejauh ini masih mengandalkan perspektif
kontekstual dalam melihat fenomena Islam dengan segala atributnya. Perspektif
tadi tidak jarang mengakibatkan terjadinya proses distorsi dan reduksi di
kalangan mereka terhadap makna substantif Islam itu sendiri sehingga salah
dalam mengambil kesimpulan tentang Islam. Generasi awal orientalis Barat yang
sangat mengedepankan perspektif tersebut di antaranya Ignaz Goldziher, Arthur
Jeffery, dan Richard Bell. Sementara itu, generasi mutakhir tampaknya sudah
menyadari kelemahan mendasar tersebut dan berusaha menutupinya dengan tidak saja
menampilkan wajah Islam secara lebih bersahabat dan humanis, melainkan juga
terlibat langsung di dalam dinamika Islam sebagai pihak insider.
Kalangan orientalis yang termasuk kategori ini adalah Wilfred Cantwell Smith,
Frederick M. Denny, Richard C. Martin, dan masih banyak yang lainnya.
Timur, lebih spesifik lagi Muslim, sebagian besar
masih melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif-doktrinal sehingga tidak
jarang melahirkan sikap apologetik (intellectual obstinacy) secara
berlebihan. Sikap tersebut, pada taraf tertentu, sampai pada klaim kebenaran (truth
claim) yang tidak beralasan. Kaum Muslim yang masih terjebak dalam kubangan
perspektif sepihak (one-sided) ini pada umumnya menjustifikasi
penafsirannya tentang Islam sebagai yang paling benar sembari menuding kelompok
lain --lebih-lebih kalangan "kafir" orientalis--sesat. Sikap seperti
ini bukan saja mengerdilkan makna Islam secara substansial, tetapi juga
menampik realitas ideologis-historis bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan
kosmopolitan yeng tidak lepas dari dialektika kesejarahan.
Polarisasi dikotomis di atas jelas akan menimbulkan
pemahaman parsial terhadap makna substantif Islam dan, pada gilirannya,
melahirkan proses reduksi dan distorsi makna. Satu-satunya cara untuk mengatasi
problem epistemologis ini adalah dengan menggabungkan kedua metode atau
perspektif di atas dalam satu wacana yang komprehensif dan holistik. Tulisan
ini berusaha mengupas urgensi penggabungan kedua metode kajian Islam tersebut
dengan memunculkan istilah "tekstual-kontekstual." Pendekatan
tekstual-kontekstual itu sendiri pada mulanya dipopulerkan oleh Frederick M.
Denny melalui karya-karya kontemporernya tentang Islam, terutama kajian ritual.
Signifikansi pendekatan tekstual-kontekstual ini, menurut Denny, terletak pada
upaya yang seimbang antara pemahaman normatif-doktrinal di satu sisi, dan
kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan di sisi lain. Upaya pertama
mengacu kepada teks-teks suci Islam, baik berupa wahyu --al-Qur’a>n dan H{adi>th-- maupun buku-buku klasik
karangan para `ulama>’ terdahulu dan kontemporer,
sedangkan upaya kedua bergerak pada konteks sosial, politik, dan kultural.
Hanya melalui penggabungan tersebut, pemahaman komprehensif tentang Islam bisa
dicapai.
Islam Sebagai Sebuah Sistem
Jika dikehendaki gambaran yang utuh, Islam harus
dilihat dari kacamata yang utuh pula. Sebagai sebuah sistem, Islam tersusun
dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal; masing-masing
tidak bisa dipisah-pisah. Elemen tersebut adalah doktrin atau kredo yang
bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen
inti (core element) di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis
dan kontekstual sebagai elemen permukaan (peripheral element) di sisi
lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh substantif dari sebuah agama
(Islam) yang tanpa kehadirannya agama tidak akan mempunyai arti apa-apa,
sementara peradaban menempati posisi permukaan mengingat bentuknya yang secara
fisik bisa diobservasi oleh kasat mata bila tampak ke wilayah permukaan. Kombinasi
ini barangkali bisa dianalogkan dengan sebuah jasad hidup yang disemangati oleh
eksistensi ruh yang bersemayam di dalamnya yang kondisinya bisa saja berubah
sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.
Sekalipun analogi ruh-jasad di atas mungkin saja tidak
terlalu tepat sebagai alat untuk mengilustrasikan hubungan antara doktrin dan
peradaban Islam, watak dasar agama –Islam-- sebagai sebuah sistem cukup
terwakili oleh paradigma dialektis ini. Dari segi doktrinal, Islam membawa
pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-ubah, namun ketika
pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tangan umatnya, wajah Islam bisa
beragam sejalan dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaan persepsi.
Perbedaan interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk
peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, memenuhi konteks ruang dan
waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses
pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki
dialektika sejarah berbeda-beda, namun secara prinsipil memiliki semangat
teologis yang sama.
Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah
sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi belief
(creed) yang berupa tawh}i>d dan diimplementasikan ke dalam dimensi praxis yang meliputi ritual,
budaya, dan tradisi keislaman lainnya. Sebagai pangkal dari seluruh rangkaian
ibadah dalam Islam, tawh}i>d bukan saja menyangkut persoalan proposisi-proposisi teologis semata,
melainkan juga sebuah implikasi logis yang bersifat kreatif, dinamis, dan
menyejarah: pengakuan satu Tuhan yang direfleksikan dengan sikap pasrah dan
pelayanan konkret (`iba>dah).
Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas,
aspek idealitas Islam sering disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman,
"Islam normatif" atau, istilah Richard C. Martin, "Islam
formal" yang ketentuannya tertuang secara eksplisit di dalam teks-teks
Islam primer. Sementara itu, aspek praxis menyangkut dimensi kesejarahan
umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan keragaman faktor eksternal yang
melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari
akumulasi pengetahuan Muslim secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara
"Islam formal" dan budaya lokal Muslim tertentu.
Itulah sebabnya Islam tidak bisa dilihat dari satu
sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainnya. Apabila Islam hanya
dilihat dari satu sisi saja, akibat yang ditimbulkan mudah ditebak: reduksi dan
distorsi makna. Adanya pihak "luar" yang selama ini menciptakan
stereotipe negatif tentang Islam, hemat penulis, salah satunya disebabkan oleh
faktor ini. Di dalam kelompok intern umat Islam sendiri, yang dalam sejarahnya
selalu diwarnai oleh perang klaim kebenaran berkepanjangan, juga akrab dengan
faktor one-sidedness ini. Sebagai akibatnya, gambaran Islam yang utuh
–tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim-- rasanya akan
sulit dicapai. Untuk mengatasi problem ini, sekali lagi, tidak lain adalah
dengan kerangka pikir terpadu melalui pendekatan tekstual dan kontekstual
sekaligus.
Pendekatan Tekstual
Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan
signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada
sumber-sumber suci (pristine sources) dalam Islam, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Pendekatan ini sangat penting
ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara
eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur’a>n dan H{adi>th, kajian tekstual juga tidak
menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para
intelektual dan `ulama>’ besar Muslim terdahulu dan
kontemporer.
Selain tawh}i>d sebagai pilar paling penting dalam Islam, `iba>dah mah}d}ah (dimensi vertikal) merupakan bagian dari Islam normatif yang ketentuan
hukumnya sudah diatur secara jelas (qat}’i>) dalam kedua
teks suci Islam. `Iba>dah mah}d}ah tidak memerlukan ijtihad untuk
mencari penafsiran lebih jauh; ia hanya perlu diamalkan oleh kaum Muslim. Dalam
bahasa ritualnya, ia sering disebut sebagai arka>n al-Isla>m yang meliputi shaha>dah, s}ala>t, puasa, zakat dan ibadah haji bagi yang mampu. Bukan
saja rukun Islam yang membentuk Islam normatif, kesalehan teologis lainnya yang
tertuang dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th juga sering menjadi rujukan utama ibadah dalam Islam dan, dengan begitu,
bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan pertama ini.
Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali
tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi
Islam normatif yang bersifat qat}’i> sebagaimana
tersebut di atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada
realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam
al-Qur’a>n maupun H{adi>th, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas Muslim
tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata adalah adanya ritual tertentu
dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan
(tahlilan atau kenduren).
Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual
untuk sekadar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari
ajaran Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan
mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan
apakah mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Diskursus semacam
ini tentu saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks
analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam
tradisi intelektual. Sebaliknya, yang menjadi concern akademis di sini
adalah bagaimana menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka
proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran sepihak.
Untuk menjawab persoalan di atas, barangkali ada
baiknya menengok ancangan tentatif yang disusun oleh Mark R. Woodward dalam
menjawab disparitas distingtif antara Islam normatif/formal dan Islam
populer/lokal. Ancangan tersebut tersusun secara kronologis atas empat unsur
dasar. Pertama, Islam universalis. Alasan mengapa Islam universalis
menempati urutan tertinggi adalah karena di dalamnya tercakup ajaran-ajaran
Islam yang secara qat}’i> sudah
digariskan di dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th. Masuk ke dalam kategori ini adalah arka>n al-Isla>m, tawh}i>d dan kredo religius lainnya yang bersifat taken for granted.
Terhadap kategori ini, umat Islam pada umumnya sepakat meyakininya sebagai ultimate
truth yang tidak memerlukan ta’wi>l lebih jauh.
Kedua, Islam
esensialis. Penggunaan terma "esensialis" ini pada mulanya dipinjam
oleh Woodward dari Richard C. Martin untuk menunjuk modus praktik-praktik
ritual yang sekalipun tidak dimandatkan secara eksplisit oleh teks-teks
universalis (al-Qur’a>n dan H{adi>th), namun secara luas diamalkan oleh umat Islam atas dasar justifikasi
substansial dari semangat kedua sumber suci tersebut. Masuk ke dalam kategori
ini adalah upacara tahunan mawli>d al-nabi>, bacaan-bacaan
dhikr yang diamalkan oleh h}alaqah-h}alaqah s}u>fi>, perayaan kaum Shi>‘ah di setiap bulan Muh}arram untuk memperingati kematian H{usayn, juga modus-modus ritual yang secara mentradisi dipraktikkan untuk
memuliakan para wali>, ziarah ke tempat-tempat suci, serta tradisi kenduren/slametan/tahlilan
yang tersebar luas di negara-negara Muslim seperti India, Malaysia, Bangladesh,
Pakistan, dan Indonesia. Islam esensial, dengan begitu, merupakan kategori
Islam yang sangat inklusif.
Ketiga, Received Islam. Secara harfiah, received Islam bisa diterjemahkan sebagai Islam
--sebagaimana-- yang diterima atau dipahami. Secara jujur, Woodward tidak
menghadirkan deskripsi yang memuaskan tentang kategori yang ketiga ini. Ia
hanya menyebut bahwa received Islam menjadi jembatan antara kategori
universalis dan esensialis dengan Islam lokal. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa
contoh konkret dari kategori ini adalah dominasi ajaran s}u>fi> yang mempengaruhi perkembangan
Islam lokal di Jawa. Islam jenis ini bersifat dinamis; ia berubah seiring
dengan perubahan pengetahuan atau penafsiran terhadap teks-teks esensialis.
Keempat, Islam lokal.
Islam lokal bisa didefinisikan sebagai seperangkat teks tertulis, tradisi oral
atau ritual yang kehadirannya tidak dikenal di daerah asal turunnya Islam
(Saudi Arabia). Menurut Woodward, naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen
merupakan contoh paling jelas adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi
logis sebagai hasil interaksi antara kebudayaan lokal dan received Islam.
Signifikansi H{adi>th di Indonesia dan kenyataan bahwa sebagian elemen-elemen penting budaya
Jawa berasal dari sumber-sumber historis pra-Islam merupakan bukti kuat adanya
interaksi kebudayaan lokal dengan Islam universalis dan esensialis.
Dari ancangan yang diberikan oleh Woodward di atas ada
kesan bahwa pendekatan tekstual terkesan tidak memiliki batasan yang jelas
untuk membedakan mana yang disebut "Islami" dan mana yang tidak.
Justru dari sini muncul kesan seolah-olah pendekatan ini bisa diaplikasikan di
wilayah mana saja sepanjang masih dalam lingkup ritual Islam. Ketidakjelasan
batasan mengenai Islam ini bisa jadi merupakan kelemahan pendekatan tekstual,
dan bisa pula sebaliknya, keistimewaan. Disebut kelemahan karena pendekatan
tadi tidak menawarkan jawaban yang pasti terhadap diskursus keislaman tertentu.
Namun demikian, dalam tataran akademis, batasan definitif untuk menarik garis
demarkasi antara mana yang Islami dan mana yang tidak bukan merupakan persoalan
mendasar. Justru yang menjadi persoalan penting dalam konteks ini adalah
bagaimana sebuah fenomena ritual dalam Islam –dari ritual formal sampai ritual
lokal/populer-- bisa dipahami secara proporsional sehingga tidak memunculkan
klaim teologis sepihak.
Pendekatan Kontekstual
Kehadiran pendekatan kontekstual penting untuk
memahami Islam dalam kerangka konteksnya, baik ruang dan waktu. Pendekatan yang
pertama kali dipopulerkan oleh D. Eickelman ini merupakan perangkat
komplementer yang bisa menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam –ritual--
Islam untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas komprehensif yang
melingkupi elemen normatif dan elemen praxis. Terutama dalam rangka
memahami fenomena ritual lokal/populer dalam Islam, teori-teori sosio-kultural
berikut menjadi bagian penting dari pendekatan kontekstual.
Pertama, Teori
Fungsional. Teori yang dikembangkan oleh B. Malinowski ini mengasumsikan adanya
hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui
ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang
supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, "Powerful Other."
Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama
sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada
dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.
Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap
ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis
maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa
ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah.
Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada
kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga
sebuah ritual bisa ditujukan untuk "memuaskan" Tuhan atau kebutuhan
spiritualnya sendiri.
Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan
manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai "alat memperkuat
solidaritas sosial" melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan
contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat
keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi
rukun –setidaknya-- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang
mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner,
Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi.
Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual
(agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun
esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap
pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu
saja muncul karena umat Islam membutuhkannya sebagai perangkat untuk
mendapatkan berkah suci dari Tuhan.
Kedua, Rite de Passage. Secara harfiah, teori yang dikembangkan oleh Arnold van Gennep ini bisa
diartikan sebagai "ritual penahapan" yang menandai perpindahan status
seseorang dari yang satu ke yang lain, baik perubahan status sosial maupun
transformasi spiritual. Ritual jenis ini melibatkan perubahan, baik status
eksternal maupun internal, rekonfirmasi sebuah kondisi sebagaimana yang
diharapkan tetapi belum sempat dialami atau diartikulasikan dalam hidup
seseorang.
Sejalan dengan perspektif rite de passage di
atas, slametan bisa juga dipahami sebagai ritual yang menandai
perpindahan status seseorang sepanjang hidupnya, mulai dari kelahiran, akikah,
khitan, perkawinan, dan kematian. Setiap penahapan dalam hidup manusia menandai
perubahan status sosial dari yang satu ke yang lain. Sebagai misal, ritual
perkawinan menandai perubahan status sosial dari masa lajang menuju masa
keluarga; ritual kematian menandai perpindahan status manusia dari alam dunia
ke alam barzakh, dan seterusnya.
Ketiga, Teori
Struktrual. Di mata kalangan strukturalis, terutama Claude Lévi-Strauss sebagai
salah seorang pelopornya, ritual (agama) diasumsikan memiliki hubungan
struktural dengan mitos-mitos lokal tertentu. Terlepas dari persoalan
orisinalitas antara mitos dengan ritual, pendekatan ini melihat keduanya
memiliki hubungan resiprokal; mitos eksis pada dataran konsepsi dan ritual pada
dataran aksi –atau "homology," dalam bahasa Lévi-Strauss.
Dengan demikian, strukturalisme melihat ritual sebagai bagian dari sebuah logical
order dalam bangunan sistem kultural; ia mengikuti struktur formal dari
sebuah sistem tertutup. Dalam konteks ini, teori model of ("model
dari") dan model for ("model bagi") Geertz bisa
diterapkan untuk lebih memperjelas perspektif teori ini. Jika Lévi-Strauss
melihat mitos dan ritual bisa saling berganti posisi satu sama lain, Geertz
melihat mitos sebagai wujud dari teori model of sebuah ritual dan ritual
sendiri menjadi model for-nya mitos.
Tradisi slametan, lagi-lagi, menjadi sebuah
fenomena menarik untuk memperkuat aplikasi teori ini yang mengasumsikan adanya
hubungan struktural antara slametan itu sendiri dengan mitos-mitos lokal
tertentu sehingga ia menjadi bagian integral dari kebudayaan Islam Jawa.
Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Woodward, tradisi ritual slametan terkait
erat dengan mitos Majapahit-Demak sehubungan dengan memburuknya kondisi
agrikultur di awal masa kerajaan Demak. Menurut hasil penelitian Woodward di
wilayah Yogyakarta pada awal dekade 1980-an, tradisi slametan pernah
dipraktikkan oleh masyarakat Jawa jauh sebelum Islam hadir di tanah Jawa,
terutama pada masa Majapahit. Tradisi slametan itu muncul sebagai sarana
ampuh untuk "meminta" kepada "sang Pencipta" agar
hasil-hasil pertaniannya bisa melimpah dan tidak menemui kendala. Ketika Jawa
dikuasai oleh kerajaan Demak, praktik slametan ini tidak dilanjutkan.
Namun demikian, pemutusan tradisi slametan ini ternyata tidak memenuhi
harapan masyarakat, bahkan fenomena kelaparan tidak mampu untuk dielakkan meski
tradisi itu diputus. Atas perintah sultan, Sunan Kalijaga kemudian menghidupkan
kembali tradisi slametan dengan mengganti formatnya dengan
komponen-komponen yang lebih Islami serta dijadikan sarana efektif untuk
mengajarkan Islam kepada khalayak ramai. Dari situlah kemudian slametan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan –Islam—Jawa dan menjadi
media akulturasi antara Islam dengan budaya setempat.
Penutup
Dalam konteks diskursus keislaman, pendekatan tekstual
merupakan pilihan prioritas yang kehadirannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia
merupakan conditio sine quanon dalam rangka melihat wajah Islam dari
sumber-sumber teks suci, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Kehadiran teks-teks yang ditulis oleh intelektual atau `ulama>’ kenamaan di bidang tertentu dalam Islam juga tak
kalah pentingnya, terutama ketika ditemukan justifikasi dari kedua teks suci
tersebut terhadap sebuah ritual.
Namun demikian, kehadiran kajian tekstual akan lebih
berbobot bila klaim-klaimnya bisa ditopang oleh kajian-kajian kontekstual,
bukan untuk mencari klaim sepihak, melainkan untuk menempatkannya secara
proporsional dalam konteks akademis an-sich. Memang harus diakui,
pendekatan yang disebut terakhir bukan merupakan produk murni umat Islam,
tetapi bisa dipakai untuk melihat nuansa "lain" dari wajah Islam
dengan tanpa mereduksi makna keislaman seorang Muslim. Pendekatan kontekstual
diperlukan sekadar untuk memperkuat asumsi bahwa di dunia ini tidak hanya
berlaku satu versi saja, melainkan banyak versi yang menggambarkan tentang
Islam. Karena itu, sikap yang terjebak ke dalam kubangan truth claim apologetik
bisa dihindarkan. 2
(http://www.reocities.com/HotSprings/6774/p-6.html)
What are the best casinos to play in 2021?
BalasHapusWhich casinos offer deccasino slots? — Casino Sites. Best casino sites are those that allow players to try a game casinosites.one from anywhere. septcasino.com The most common communitykhabar online slots 바카라 사이트