Kamis, 03 Oktober 2013

Forum Studi Pendidikan Islam (Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam)

Forum Studi Pendidikan Islam (Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam)
by AKO INDO on October 25, 2011
PAIenem (UNIV. MUH. MAGELANG)
MEMPERSEMBAHKAN
BUKU KENANGAN WALAUPUN TIDAK DI CETAK DALAM JUMLAH YANG BESAR
SEMOGA HASIL YANG MASIH BANYAK KEKURANGAN INI BISA BERMANFAAT BUAT SEMUA ORANG
SEMUA SAYA SERAHKAN KEPADA ALLAH
SEMOGA MENJADI MANFAAT BUAT PEMBACA
(Tidak mengurangi sedikitpun dari teks aslinya)
Forum Studi Pendidikan Islam
Read in the name of the Lord who Creates
Pelangi  Pendidikan
Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam
Forum Studi Pendidikan Islam
copyright@Achmat Nurur Huda dkk 2009
Pelangi Pendidikan : Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam
Tim Editor                  : Achmat Nurur Huda, Suprayitno, Akoyuono, Siti Kholisiyah,
Nur Jannah, Muh. Muslikhudin, Yusti Ilham Andika, Nifa W,
Astri Fachrul Hidayah, Martyas Stiawan.
Penyelaras Akhir      : Achmad Nurur Huda dan Suprayitno
Desain Wajah           : Akoyuono dan Muh. Muslikhudin
Diterbitkan pertama kali oleh Forum Studi Pendidikan Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang, September 2009. Jl. Mayjend Bambang Sugeng, Mertoyudan, Magelang 56172.
Motto
Bacalah dengan menyebut Rabbmu yang Maha Mencipta. Menciptakan manusia dari segumpal darah.

DAFTAR ISI
PENGANTAR REKTOR
PENGANTAR EDITOR
DAFTAR ISI
BAGIAN SATU
ISU-ISU KONTEMPORER PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL
BAB III
LINK AND MATCH PENDIDIKAN ISLAM
BAB IV
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
BAGIAN DUA
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Bab V
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
BAB VI
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI NEGARA BERKEMBANG
BAB VII
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT
BAB VIII
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUBSISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
BAGIAN III
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN BEBERAPA TOKOH ISLAM
BAB IX
BUYA HAMKA
BAB X
FAZLUR RAHMAN
BAB XI
NAQUIB AL ATTAS
BAB XII
MUHAMMAD NATSHIR
EPILOG
BIOGRAFI EDITOR
PENGANTAR
Kata-kata bijak “student to day, leader tomorrow “ ( Kini sebagai mahasiswa, di masa depan adalah pemimpin ) atau ungkapan Syauqi Beq : “inna fii yadikum amral ummah wa fii iqdamikum hayataha” ( di tanganmulah (generasi muda ) urusan umat dan di kakimulah (langkah majumu) masa depan umat) barangkali tepat untuk memberikan apresiasi kepada sekolompok mahasiswa yang ingin merajut hasil perkuliahannya menjadi sebuah buku yang akan disumbangkan kepada masyarakat.
Buku ini menggambarkan idealita mereka tentang bagaimana seharusnya peran Pendidikan Islam dalam ikut mencerdaskan dan membangun karakter bangsa. Dimulai dengan menghadapkan pendidikan Islam dengan Globalisasi dan masyarakat multicultural, kemudian menyoroti Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan Nasional dan diakhiri dengan membuka kembali khazanah sejarah pemikiran pendidikan para tokoh  Islam menunjukan alur pemikiran mereka yang cukup sistematis.
Secara normative ditegaskan bahwa pendidikan Islam sudah siap dengan konsep-konsep unggul yang bisa mengantarkan masyarakat atau peserta didik menjadi warga Negara yang baik dan siap menghadapi tantangan globalisasi dan multikulturalisme. Namun, secara empirik bagaimana peran Pendidikan Islam yang strategis semacam itu menjadi fungsional perlu dipertanyakan dan ditata ulang. Untuk menata ulan, pembaca diajak untuk merujuk kembali khazanah pemikiran para tokoh masa lalu dan kontemporer yang mungkin masih relevan dengan tantangan masa kini.
Salah satu ide cerdas yang patut dihargai adalah mereka ingin membangun paradigma humanisme teosentris dan sikap inklusif dalam pendidikan Islam, sehingga Islam yang rahmatan lil alamin dapat diwujudkan. Adapun ketajaman analisis dan keluasan wawasan dalam buku ini masih harus ditingkatkan.
Betapapun buku ini masih banyak kekurangan, namun sebagai langkah kreatif dan inovatif pantas menjadi contoh bagi para mahasiswa lainnya dalam mengembangkan potensi akademisnya. Dengan apa yang mereka lakukan Universitas Muhammadiyah Magelang terbantu dalam mewujudkan atsmosfir akademis yang sangat dibutuhkan untuk memajukan lembaga di masa-masa mendatang.
Rektor
Prof. Dr. H. Achmadi
KATA PENGANTAR
Alahmdulillahirabbil a’alamin. Puji syukur atas kehadirat Allah swt yang telah mencurahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua sehingga buku Pelangi Pendidikan : Studi Kritis Isu-Isu Kontemporer dan tokoh-tokoh Pendidikan Islam ini dapat terselesaikan.
Pendidikan, sampai saat ini masih dipercaya sebagai parameter yang baik untuk menentukan maju dan mundurnya suatu bangsa serta senjata yang ampuh untuk memerangi kemiskinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu bangsa maka semakin tinggi pula kulitas dan kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa, misalnya Jepang, Amerika dan Negara-negara maju lainnya. Dalam Islam sendiri dapat dilihat dalam kilasan sejarah zaman keemasan Islam yakni pada masa abad pertengahan. Dimana pendidikan Islam saat ini memiliki kualitas yang tinggi, sehingga umat Islam bisa memimpin peradaban dunia. Tetapi saat ini pendidikan Islam di sebagian Negara-negara Islam berkembang masih saja mengalami ketertinggalan. Meski tak dapat dipungkiri pula bahwa Pendidikan Islam juga mulai mengalami kebangkitan dan kemajuan yang cukup sigifikan.
Sehingga dalam upaya memahami Pendidikan Islam dihadapkan berbagai isu kontemporer saat ini, kami merasa tertarik untuk menyusun sebuah karya dan mewujudkannya dalam sebuah buku. Penyusunan buku ini merupakan sebuah proses yang rumit dan melibatkan berbagai pihak serta memakan waktu yang cukup lama. Maka dari itu sudah sepatutnya kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
  1. Prof. Dr. H Achmadi selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang yang telah berkenan memberikan kata pengantarnya untuk buku yang sangat sederhana ini.
  2. Drs. Mujadihidun HN, M.Pd, selaku dekan Fakultas Agama Islam atas kesempatan dan fasilitas yang disediakan dalam menajalankan proses studi.
  3. M. Zuhron Arofi,S.Pd.I selaku dosen mata kuliah Pendidikan Islam Kontemporer dan juga pembimbing sekaligus penasihat dalam penyusunan buku ini.
  4. Seluruh rekan-rekan PAI Angkatan tahun 2006/2007 atas segala sumbangan saran, kritik, gagasan serta materi yang menjadi kompilasi dalam buku ini.
  5. Berbagai pihak yang telah mendukung terwujudnya buku ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Buku ini merupakan kompilasi dari makalah kuliah Pendidikan Islam Kontemperer yang disatupadukan menjadi sebuah buku dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi para pembaca yang budiman serta berbagai pihak yang berkepentingan. Dalam buku ini pula pembaca diajak untuk mengetahui posisi pendidikan Islam dihadapkan pada globalisasi, multikulturalisme dan isu-isu kontemporer lain, kemudian pembaca juga kami ajak untuk memahami sistem pendidikan Islam dan di tutup dengan kajian terhadap pemikiran para tokoh pendidikan Islam.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih banyak terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan di sana-sini, oleh sebab itu saran, masukan dan kritik dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan.
Semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Allah senantiasa memberikan bimbingan dan pentunjuk-Nya kepada kita semua. Amin.
Magelang,  Agustus 2009
Editor
BAGIAN I
ISU-ISU KONTEMPORER PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN GLOBALISASI
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL
BAB III
LINK AND MATCH PENDIDIKAN ISLAM
BAB IV
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN








BAB I
PENDIDIKAN ISLAM DAN  TANTANGAN GLOBALISASI
Oleh : Akoyuono dan Achmad Nurur Huda

Pengaruh globalisasi tidak hanya berdampak kepada sektor perdagangan dan ekonomi , tetapi bisa jadi pengaruhnya kepada moral, budaya dan tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu, bagi umat muslim menjadi suatu keharusan untuk merespons arus global ini sebagai sesuatu yang sedang melintasi kehidupan kita.
( Sahrodi dkk )
  1. A.   PENDAHULUAN
Banyak agenda yang telah, sedang dan akan dilaksanakan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan Islam. Mulai dari perbaikan system, kurikulum, orientasi tujuan dan hingga integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum yang diwujudkan dengan perubahan IAIN menjadi UIN. Upaya-upaya perbaikan tersebut diharapkan dapat memperkuat posisi pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan era globalisasi yang sedang bergulir saat ini. Dimana pengaruh globalisasi sangat terasa di berbagai segment kehidupan.
Globalisasi sebagai proses percepatan untuk menyatukan dunia[1], telah menjadi megatrend abad 21. Bagi sebagian kalangan masyarakat dunia globalisasi disambut dengan hangat dan tangan terbuka. Tapi, bagi sebagian yang lain menolaknya dengan berbagai reaksi dan kecaman. Karena  tak jarang globalisasi menyisakan berbagai problem kemanusiaan yang tak kunjung usai.
Arus globalisasi merupakan sebuah fenomena yang diikuti oleh arus perubahan sosial secara massif sebagai arus sejarah yang tak dapat terelakan[2]. Sehingga hal tersebut dapat memberikan efek yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Bahkan Nasr Abu Zaid ( dalam Sharodi dkk, 2005 ) menyatakan bahwa pada masa tersebut manusia mengalami split personality ( kepribadian yang pecah).
Oleh karenanya adalah sebuah ancaman, tantangan dan peluang bagi sistem pendidikan Islam untuk menunjukan peran dan eksistensinya dalam percaturan global yang terjadi saat ini. Pendidikan Islam yang tidak hanya sarat akan nilai-nilai kemanusiaan ( humanity ), tetapi juga petunjuk ( al huda, guidance ) yang memberikan daya pembeda untuk membedakan antara yang benar dengan yang salah ( al furqon )[3].  Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan mampu mengembalikan manusia menjadi pribadi yang utuh ( integrated personality ) bukan pribadi yang pecah (split personality ).
Berangkat dari beberapa asumsi di atas, dalam makalah ini kami akan mengkaji mengenai hakikat gobalisasi, dampak globalisasi, peluang Pendidikan Islam di era globalisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan untuk menuju Pendidikan Islam yang berdaya saing tinggi di tengah bergulirnya arus Globalisasi.
  1. B.   HAKIKAT GLOBALISASI
John Naisbitt dan Patricia Aburdance futurolog Amerika , memprediksi bahwa pada awal abad ke-21 akan muncul era baru dalam tata kehidupan manusia di muka bumi, baik dalam aspek politik, ekonomi maupun aspek kehidupan lainnya. Spektrum tantangan masa depan ini amat luas kaitannya dengan globalisasi yang semakin menguat luas dan mengakibatkan batas-batas politik, ekonomi, dan sosial  budaya antar bangsa menjadi semakin samar dan hubungan antarnegara menjadi transparan[4].
Gejala tersebut semakin nampak  diperkuat dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Arus informasi yang begitu mudah diakses dan menjangkau hingga pelosok-pelosok dunia. Jarak yang jauh menjadi terasa menjadi dekat. Peran dan pengaruh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang semakin kentara.
Globalisasi telah mengubah wajah dunia. Dari era industrialisasi menuju era informasi tanpa batas. Dimana batas-batas geografis atau territorial seakan tidak ada lagi. Kebudayaan asing bisa memasuki suatu negara dengan bebas. Perdagangan antarbangsa pun menjadi semakin mudah karena tiadanya batas-batas hukum yang rigid. Akan tetapi krisis multidemsional juga terjadi di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh di negeri kita sendiri Indonesia, krisis multidimensi ini tampak di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi, perdagangan NAPZA, perdangan wanita dan anak-anak ( trafficking ) dan sebagainya.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan globalisasi sehingga ada masyarakat dunia yang begitu gegap gempita menyambutnya dan di sisi lain ada yang begitu geram menolaknya?
Dalam pengertian umum Davies dan Nyland[5] menemukan lima pengertian globalisasi yaitu 1) Internasionalisasi, 2) Liberasi, 3) Universalisasi, 4) Westernisasi atau Modernisasi dan 5) Suprateritorialitas, Yang mengandung makna bahwa ruang sosial tidak lagi ditetapkan  atas dasar tempat, jarak dan batas-batas wilayah. Menurut Peter. J.M Nas, globalisasi dapat dipahami sebagai reaksi dan elaborasi terhadap gejala sosiologis yang sekarang sedang terjadi yaitu berkembangnya “ the world system and modernization[6]. Menurut Featherstone globalisasi melahirkan “Global culture ( which ) is encompassing the world at the international level”.
Selain itu globalisasi juga dimaknai sebagai sebuah proses terintegrasinya bangsa-bangsa dunia dalam sebuah system global yang melintasi batas-batas negara ( trans-nasional). Negara-negara nasional-teritorial tersebut mengalami deteritorialisasi. Dengan deteritorialisasi tersebut, batas-batas geografis menjadi kurang bermakna karena jarak ruang dan waktu sudah bisa diatasi dengan keunggulan teknologi informasi. Batas-batas nasional menjadi kabur dan digantikan dengan  dengan transnasional[7].
Dari beberapa definisi mengenai globalisasi di atas, meskipun dengan menggunakan gaya yang berbeda-beda semua mengacu pada pemahaman yang sama yakni integrasi bangsa-bangsa dalam satu sistem global. Yang menghilangkan batas-batas geografis, politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Sehingga, seakan tidak ada lagi rahasia bagi suatu negara tanpa diketahui oleh negara lain. Karena keunggulan teknologi informasi yang menyebabkan akses informasi begitu mudah dan tanpa batas.
Globalisasi telah membawa masyarakat dunia pada sebuah tatanan budaya global. Isu-isu semacam civil society, hak asasi manusia, liberalisasi, multikuluralisme dan sebagainya berkembang dengan pesat menjangkau pelosok-pelosok Negara.
Sedangkan secara historis kecenderungan globalisasi dapat dikategorikan menjadi tiga tahap[8]  yaitu a) Gelombang pertama antara tahun 1870-1914. periode ini ditandai dengan perkembangan dalam peralatan transportasi dan penurunan rintangan perdagangan sehingga meningkatkan perdagangan internasional dan investasi negara-negara Amerika utara dan Eropa ke berbagai kawasan. b) Gelombang kedua antara tahun 1950-1980 yang ditandai oleh integrasi negara-negara kaya seperti Jepang, Amerika dan Eropa. Jurang pemisah antara negara maju dengan negara berkembang semakin besar, c) Gelombang globalisasi mutakhir mulai tahun 1980 sampai sekarang yang ditandai oleh kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, perkembangan sejumlah negara berkembang yang membuka diri terhadap perdagangan luar negeri dan investasi asing.
Menurut Mansour Fakih[9] pada dasarnya globalisasi terjadi ketika ditetapkannya formasi sosial global baru dengan ditandai oleh diberlakukannya secara global suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan free trade yang ditandatangani pada April 1994 yang dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade ( GATT ). Tahun 1995 didirikan World Trade Organization (  WTO ) yang mengambil alih tugas GATT. Sehingga WHO menjadi salah satu aktor dan forum perundingan antarperdagangan dari mekanisme globalisasi yang terpenting.
Sedangkan apabila dilihat dari sejarah perjalanan peradaban umat manusia, dapat diketahui bahwa sebenarnya gejala globalisasi  telah ada sejak dulu. Meskipun tidak menggunakan istilah globalisasi. Semangat globalisasi dapat ditemukan pula dalam kitab suci umat Islam, Yakni Al Qur’an yang menurut hemat penulis mengindikasikan adanya semangat globalisasi yang hendak dibangun oleh umat Islam. Diantara ayat yang menunjukan semangat tersebut adalah friman Allah yang artinya sebagai berikut :
 “Dan Kami tidak mengutus engkau ( Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam[10]dan juga “ Wahai manusia Kami telah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa  dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti[11]”.
Musthafa Al Maraghy memberi penjelasan  mengenai surat Al Anbiya ayat 107 diatas dengan mengatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw diutus dengan membawa ajaran yang mengandung maslahat di dunia dan di akherat[12]. Sedangkan mengenai surat Al Hujurat ayat 13 beliau berkomentar “Allah menerangkan bahwa manusia seluruhnya berasal dari seorang ayah dan ibu. Maka kenapalah saling olok-olok sesama saudara hanya saja Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang berbeda-beda agar diantara mereka terjadi saling kenal dan tolong menolong  dalam kemaslahatan-kemasalahatan mereka yang bermacam-macam.[13]
Tentunya sangat jauh semangat globalisasi yang diindikasikan Allah dalam kitabNya yang mulia Al Qur’anil Adhim dengan proses dan gejala globalisasi yang bergulir dewasa ini. Kehidupan global yang diharapkan Islam adalah sebagai wujud mencari ridho Allah. Sementara globalisasi yang bergulir saat ini adalah kolaborasi dan pergantian wajah dari kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme yang sarat akan kepentingan-kepentingan negara-negara maju yang dipaksakan kepada kepada negara-negara yang berkembang.
  1. C.  DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana disinggung diatas bahwa globalisasi telah menumbuhkan dua sisi yang paradoks yakni sisi positif dan sisi negative. Dalam sisi positifnya globalisasi memberikan peluang besar bagi semua bangsa dan kalangan untuk berekspresi dan berapresiasi dalam ruang global terhadap berbagai fenomena yang berkembang baik secara politis, ekonomi dan akademik[14].
Sisi negatifnya wajah globalisasi tidak sepenuhnya ramah bagi kemanusiaan seperti kepastian negara-negara dunia untuk bekerja sama sebagai komunitas yang hidup di bumi yang satu dalam mengatasi ketidakadilan global, kemiskinan, kerusakan lingkungan , perdamaian dunia dan lain-lain.
Dari sisi perspektif Pendidikan Islam kedua dampak tersebut memberikan implikasi yang siginifikan. Dengan terbukanya cakrawala dunia sebagai imbas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, didukung dengan teknologi informasi yang canggih, semakin mempermudah pelaksanaan proses pembelajaran dan pendidikan. Informasi bisa diakses dengan mudah dan murah, transfer dan alih tangan IPTEK pun semakin mudah dan hemat biaya.
Kecendrungan global mendorong umat Islam untuk terus meningkatkan kompetensinya dalam dunia persaingan yang semakin kompetitif. Keterbukaan akses dan kemudahan komunikasi dan transportasi memudahkan para pelajar muslim untuk menimba ilmu di luar negeri.
Di satu sisi globalisasi juga memberikan efek yang negatif bagi keberadaan pendidikan Islam. Pendidikan Islam dihadapkan dengan  berbagai problem keummatan yang bersifat universal. Bergesernya paradigma masyarakat dunia yang cenderung materialis dan hedonis, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat tapi tanpa nilai, kegersangan ruhani, dehumanisasi dan lain-lain merupakan problem keummatan yang harus dihadapi sebagai imbas negatif dari bergulirnya globalisasi.
Ancaman atau tantangan-tantangan globalisasi tersebut tak terelakkan lagi dan mengarah pada turbulensi arah pendidikan Islam. Menurut Abdurahman Assegaf arus globalisasi bukanlah lawan maupun kawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator bagi mesin yang namanya pendidikan Islam. Bila pendidikan Islam mengambil posisi anti global maka akan tidak stationare atau macet dan pendidikan Islampun mengalami intelectual shut down atau penutupan intelektual. Sebaliknya apabila pendidikan Islam terseret arus global dan kehilangan identitas ke Islamannya maka ia akan terlindas[15]
Dampak lain yang timbul sebagai akibat globalisasi adalah timbulnya ketidakadilan global dan kekerasan global. Sehingga dalam menghadapi hal tersebut sikap dan tindakan umat Islam sangat variatif, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu[16]:
Pertama, golongan liberal mereka menerima ideology dan nilai-nilai yang berkembang seiring dengan arus globalisasi, dengan landasan berpikir bahwa untuk memajukan Islam harus menyesuaikan diri dengan polal pikir bangsa dan Negara maju. JIL termasuk dalam golongan ini.
Kedua, golongan moderat. Golongan ini dapat menerima globalisasi dengan berusaha memilih nilai-nilai yang positif dan memanfaatkan produk-produk globalisasi untuk memajukan Islam. NU dan Muhammadiyah Masuk dalam golongan ini.
Ketiga, golongan Fundamentalis. Sebagaimana dikatakan Samuel P Huntington[17] bahwa respon agama-agama untuk menyelamatkan manusia dari ekses negative globalisasi sering dalam bentuk gerakan “Fundamentalis”. Di kalangan Islam golongan fundamentalis menolak ideology-ideologi  dan nilai-nilai yang mengiringi globalisasi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah MMI, HT, IM, FPI dan lain-lain.
  1. D.  PELUANG PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN ISLAMISASI PENGETAHUAN
Globalisasi menghendaki peningkatan kualitas masyarakat muslim secara menyeluruh supaya siap bersaing dengan masyarakat dunia yang lain. Keadaan demikian sangat potensial menimbulkan hal-hal berikut :
  1. Kegelisahan menghadapi persaingan yang tidak mencerminkan kepastian. Dalam kondisi demikian manusia membutuhkan dukungan, tempat berkonsultasi dan penyeimbang.
  2. manusia yang bersifat eksplosif atau mudah beringas hanya karena hal-hal sepele.
  3. Hubungan manusia yang bersifat keringa dari semangat efektifitas, karena senantiasa dipengaruhi oleh dorongan material.
  4. Perdagangan bebas NAPZA yang menyebabkan hilangnya makna nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai agama.
Arus globalisasi juga mengubah sistem sosial. Perubahan sosial ini menurut Prof. Dr. Achmadi (2008:160-161) disebabkan oleh beberapa hal yakni[18]:
  1. Benturan nilai, budaya dan agama di seluruh dunia yang menurut Samuel P. Huntington disebut dengan benturan peradaban (The clash of civilization) yang berdampak pada perubahan nilai.
  2. Tuntutan liberalisasi dalam berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan di dalamnya yang menuntut adanya pengakuan atas pluralitas kehidupan.
  3. Tuntutan kompetensi dalam berbagai bidang kehidupan baik pada skala nasional, regional maupun internasional.
Dengan adanya peluang yang besar yang diberikan oleh globalisasi kepada berbagai kalangan termasuk di dalamnya adalah pendidikan Islam, untuk merespons dan mengapresiasi berbagai fenomena global yang terjadi, maka hal ini adalah peluang emas bagi sistem pendidikan Islam untuk tampil ke gelanggang globalisasi memberikan solusi-solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia di era globalisasi.
Pendidikan Islam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber pada fundamental resource Islam yaitu Al Qur’an dan Sunnah harus bisa mengatasi kecenderungan-kecenderungan negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi seperti kegersangan ruhani, ketidakpastian, dan bergesernya nilai-nilai agama.
Karena pada dasarnya pendidikan Islam mengemban amanah yang meliputi empat fungsi pengembangan manusia yaitu pertama menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain, serta tanggung jawab dalam kehidupannya. Kedua menyadarkan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat. Ketiga menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya. Keempat menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan atas penciptaan makhluk lain dan mengambil manfaatnya[19].
Sehingga dengan kata lain, bila dikolaborasikan antara fungsi yang diemban pendidikan Islam tersebut dengan semangat universalisme atau globalisasi istilah sekarang yang terkandung dalam surat Al Anbiya ayat 107 dan Al Hujurat ayat 13 sebagaimana dikemukakan di atas maka pendidikan Islam akan mampu membawa manusia kembali kepada hakikatnya sebagai manusia yang dimnusiakan. Tidak ada lagi kegersangan ruhani, dan alienasi nilai-nilai agama atau ketidakpastian dan kebimbangan yang dihadapi manusia karena tidak memiliki pegangan.
  1. E.   ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan itu tidak netral, dan oleh karenanya yang empunya ilmu juga tidak dapat berbuat netral. Tak satupun penelitian yang murni untuk ilmu pengetahuan tanpa spirit (motivasi).
(Dr. Muhammad Shafiq)
Isu sentral lain yang berkembang sekaligus menjadi tantangan bagi pendidikan Islam di era globalisasi adalah Islamisasi pengetahuan. Meskipun masih terjadi adanya ketidaksepahaman antara para cendikiawan muslim. Tokoh sentral penggagas islamisasi pengetahuan ini antara lain adalah Ismail Raji’ Al Faruqi, Naquib Al Attas, Hasan Bilgrami dan Ziaudin Sardar.
Usaha Islamisasi pengetahuan ini berangkat atau bertitik tolak dari adanya anggapan masyarakat yang mendikotomikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Bahkan lebih ironis lagi dikatakan bahwa agama itu bukan ilmu, artinya wacana agama adalah wacana yang terlepas dari wacana ilmiah. Asumsi ini kemudian menimbulkan pengotakan yang lebih jauh yakni dengan apa yang disebut dengan reaveled knowledge (pengetahuan yang berasal dari Tuhan) dan scientific knowledge (pengetahuan yang bersumber dari analisis pikir manusia)[20]
Semua ilmu pengetahuan adalah anugrah Allah. Mengetahui segala sesuatu adalah salah satu sifatNya yakni al alim. Manusia menjadi makhluk yang penting karena mampu mengetahui, yang merupakan anugrah yang diberikan oleh Allah. Bagi manusia sifat mengetahui (ilmu) itu penting sebanding dengan eksistensi dirinya (wujud)[21]. Menruut Ibnu Khaldun ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah thabi’I (pembawaan) manusia karena kesanggupan berfikir. Sehingga secara teologis, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya proses identifikasi diri dengan asmaul husna “Al Alimu” (Allah yang Maha Tahu).[22]
Dengan demikian maka Islamisasi pengetahuan menjadi sangat penting karena memiliki dampak yang tidak hanya pada “out put” yang diluluskan, tetapi juga pada sistem pendidikan Islam.
Islamisasi pengetahuan bukan saja akan menghilangkan praktek dikotomik sistem pendidikan, tetapi juga mengikis dikotomik lembaga pendidikan serta dikotomik dalam menyikapi lembaga pendidikan.[23]
Dengan adanya integrasi ilmu pengetahuan atau Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti yang telah dijalankan di Indonesia dengan mengubah IAIAN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) seperti yang dilakukan pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi UIN Sunan Kalijaga, diharapkan outcomes pendidikan Ilsam memiliki tiga kemampuan sekaligus yaitu kemampuan menganalisis secara akademik, kemampuan melakukan inovasi, dan kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan peroslan kemasyarakatan keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan nafas etos keilmuan dan keagamaan. Serta memiliki pola pemahaman keilmuan yang holistik integralistik[24].
Dalam upaya Islamisasi pengetahuan, Ismail Raji Al Faruqi menawarkan beberapa konsep metodologi yaitu[25]:
  1. Keesaan Allah (Tauhid), Allah adalah penyebab pertama dan utama serta tujuan akhir dari segala sesuatu. Ilmu pengetahuan Islam mengakui bahwa tak ada wujud, kebenaran atau nilai di luar rangkaian dan jalinan yang selaras di situ Allah merupakan penyebab dan akhir.
  2. Kesatuan makhluk. Allah menciptakan segala sesuatu dan oleh karenya ciptaanNya ada sebagai keseluruhan integral yang memenuhi tatanan kosmis.
    1. Kesatuan kebenaran dan ilmu pengetahuan. Berkenaan dengan teori pengetahuan, Islam dapat diposisikan sebagai kesatuan kebenaran. Kesatuan ini diambil dari keesaan mutlak Allah. Sehingga kesatuan kebenaran mensyaratkan :
    2. Tidak adanya klaim atas nama wahyu yang berlawanan dengan relaitas
    3. Tidak adanya kontradiksi antara rasio dan wahyu adalah sesuatu yang mutlak
    4. Tidak adanya penelitian alam atau bagian-bagiannya yang dianggap sebagai kesimpulan akhir.
    5. Kesatuan hidup, meliputi :
      1. Amanah. Sebagai kepercayaan Tuhan yang diberikan kepada manusia
      2. Khilafah. Manusia sebagai kepercayaan Tuhan (amanah) menghasilkan ditetapkannya sebagai wakil Allah di bumi.
      3. Kelengkapan. Islam menghendaki budaya dan peradaban yang komprehensif.
  3. F.   PENUTUP
Dengan melakukan kajian terhadap makna dan hakikat pendidikan Islam serta Hakikat dan makna dari bergulirnya arus globalisasi saat ini dapat diambil suatu benang merah bahwa Pendidikan Islam saat ini mengalami sebuah tantang yang begitu besar yang harus diselesaikan sebagai imbas negative dari adanya globalisasi. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa globalisasi juga membawa dampak yang positif bagi kemajuan umat manusia termasuk umat Islam sendiri.
Globalisasi merupakan peluang bagi pendidikan Islam untuk mengembalikan manusia yang telah mengalami dehumanisasi dan kegersangan ruhani yang membutuhkan pegangan dan dukungan spiritual untuk menjalani hidup.
Maka sebagai penutup, dari makalah ini kami mengajak kepada rekan-rekan mahasiswa untuk senantiasa siap terhadap perubahan yang terjadi jadilah pembelajar yang teachable. Mari kita kembangkan semangat globalisasi yang diindikasikan dalam surat Al Anbiya ayat 107 dan surat Al Hujurat ayat 13 untuk mewujudkan terwujudnya Izzul Islam wal muslimin. Hidup dalam tatanan global yang diridoi oleh Allah. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Achmadi. 2008. Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme-Teosentris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
________2008. Globalisasi, Fundamentalisme dan Kekerasan Perspektif Islam. Makalah Internasional dan Call for Paper UMM
Hamid, Endy Suandi. 2008. Globalisasi : Perspektif Ilmu Ekonomi dan Realitas Ekonomi Dunia. Makalah Internasional dan Call for Paper UMM.
Shafiq, Muhammad. 2000. Mendidik Generasi Baru Muslim. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Sahrodi, Jamali dkk. 2005. Membedah Nalar Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Rihlah Group.
Mastuhu.1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta : Logos.
Maraghi, Mustafa Ahmad. 1993. Terjemah Tafsir Al Maraghi Juz 17. Semarang : Penerbit Thoha Putra.
_____________________1993. Terjemah Tafsir Al Maraghi Juz 17. Semarang : Penerbit Thoha Putra.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an. 2006. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Asykuri dkk. 2003. Civic Education. Yogyakarta : Diktilitbang PP Muhammadiyah.
Ramayulis. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia


BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Oleh : Siti Kholisiyah, Dewi Zulaikha, dan Nifa Wijayati


  1. A.   PENDAHULUAN
Luasnya negara Indonesia ialah suatu kelebihan tersendiri. Beraneka ragamnya suku, agama, ras dan golongan (SARA) mendorong kita belajar untuk lebih menghargai orang lain. Penghargaan inilah yang akan mendorong persatuan di antara elemen  bangsa Indonesia. Keanekaragaman tersebut tentunya harus bisa optimalkan secara positif demi berlangsungnya kehidupan yang harmonis.
Apalagi Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim, maka rasa toleransi haruslah terwujud sebagai salah satu bentuk implementasi ajaran Islam itu sendiri. Mengingat beberapa waktu yang lalu di Indonesia-lihat peristiwa Ambon, Papua dan beberapa pulau di Indonesia- terjadi konflik antar agama yang menelan tidak sedikit korban jiwa dan menyertakan Islam di dalamnya.
Pengertian akan peran dan posisi Islam yang sebenarnya haruslah diselenggarakan dan dipahamkan kepada setiap manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Jalan yang paling tepat ialah melalui pendidikan. Pendidikan haruslah ditampilkan dengan nuansa multikultural sehingga tercipta rasa menghargai antar berbagai suku dan agama di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada suatu pembahasan terkait pendidikan multikultural itu sendiri dan bagaimana mengimplementasikannya di Indonesia.
  1. B.   PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Muhaimin, Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran Islam dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya[26]. Pendidikan Islam tidak hanya memberikan wawasan yang luas dalam pengetahuan, akan tetapi juga menuntut adanya realisasi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hakikat pendidikan Islam tercermin dalam [27]:
  1. Pendidikan yang integralistik, mengandung komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Tuhan, manusia dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan, individu dan sosial. Pendidikan Integralistik di harapkan bisa menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi. Yang bisa bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya. Yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri (sehingga tidak memiliki kepribadian yang terbelah) menyatu dengan masyarakatnya (sehingga bisa menghilangkan disintegrasi). Dan bisa menyatu dengan alam (sehingga tidak membuat kerusakan).
  2. Pendidikan yang integralistik, memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas antara hewan dan malaikat- ia menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang dan sebagainya.
Pendidikan yang integralistik diharapkan dapat mengembalikan hati manusia di tempat yang semula, dengan mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk, khoiru ummah. Manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yag integralistik diharapkan bisa berpikir, berasa, dan berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik, dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat ingin memberi dan menerima, saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan dan lain-lain.
  1. Pendidikan yang pragmatik, adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani, seperti pangan, sandang papan, seks, kendaraan dan sebagainya; juga yang bersifat rohani seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, kasih sayang, dan keadilan maupun kebutuhan sukmawi, seperti dorongan untuk berhubungan dengan yang Adi Kodrati. Pendidikan yang pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
  2. Pendidikan yang berakar budaya kuat, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat di harapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri, yang merupakan warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan yang anti kemoderannya, yang menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar.
Tujuan pendidikan Islam
Pada hakikatnya Pendidikan Islam bertujuan untuk merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.[28]
Menurut Al Jumbulati, pendidikan Islam mempunyai dua tujuan yaitu[29] :
  1. Tujuan Keagamaan : bahwa setiap pribadi orang muslim beramal untuk akhirat atas petunjuk dan ilham keagamaan yang benar, yang tumbuh dan dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam dan suci. Tujuan keagamaan mempertemukan diri pribadi terhadap Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan kewajibannya, sunat dan yang fardhu bagi seseorang mukallaf.
  2. Tujuan Keduniaan : Tujuan ini seperti yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan modern yang saat ini diarahkan pada pekerjaan yang berguna (pragmatis), atau untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa depan. Para ahli filsafat pragmatisme lebih mengarahkan pendidikan  pendidikan anak kepada gerakan amaliyah (ketrampilan) yang bermanfaat dalam pendidikan. Tujuan ini mengambil kebijakan baru yang lebih menonjolkan kecekatan bekerja yang cepat dalam setiap peristiwa kehidupan. Dan juga memakai strategi pendidikan seumur hidup. Sedangkan pendidikan Islam melihat tujuan ini dari aspek dan pandangan baru yaitu berdasarkan Al Qur’anul karim, yang sangat memusatkan perhatian pada pengalaman dimana seluruh kegiatan hidup umat manusia harus bertumpu kepada-Nya.
  1. C.  MULTIKULTURAL
    1. Pengertian Multikultural
Pengertian multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam. Mengutip Choirul Mahfud[30] multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Sedangkan secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran/paham). Sedangkan secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
  1. Tipe-tipe Masyarakat
Dalam masyarakat sering terjadi perbedaan antara masalah sakral dan sekuler. Di kalangan sejumlah masyarakat yang sakral itu dianggap sebagai aspek dalam tingkah laku dan masyarakat yang lain semakin banyak nilai-nilai manusiawi yang dianggap sebagai hal-hal yang bersifat sekuler dan dinilai bermanfaat dan diterima secara umum.
Jika kita tidak mempunyai paling tidak beberapa pengertian tentang perubahan yang umum, beberapa perbedaan tertentu yang bersifat umum dalam masyarakat . Oleh karena itu kita perlu tahu tentang tipe-tipe masyarakat. Menurut Nottingham tipe-tipe masyarakat meliputi [31]:
  1. Masyarakat-masyarakat yang terbelakang  dan nilai-nilai    sakral
Tipe pertama ini adalah masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik mereka rendah dan pembagian kerja masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan spesial, laju perkembangannya juga masih lambat. Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya, karena sebagian besar adat-istiadatnya dikenal, masyarakat ini berpendapat bahwa:
1)     Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat  secara mutlak.
2)     Dalam keadaan lembaga lain, selain keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan  dari masyarakat secara keseluruhan.
Bagi individu, agama memberi bentuk pada keseluruhan proses sosialisasi. Sosialisasi ditandai oleh upacara-upacara keagamaan pada peristiwa kelahiran dan saat penting lainnya dalam kehidupan.
  1. Masyarakat-masyarakat pra-industri yang sedang berkembang
Masyarakat kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, serta ditandai dengan tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beranekaragam serta adanya kemampuan tulis baca sampai tingkat tertentu, agama tentu saja memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan. Meskipun demikian, banyak fase-fase kehidupan sosial, misalnya dalam aktivitas keluarga dan perekonomian, peristiwa-peristiwa musim secara teratur terjadi itu diisi dengan upacara-upacara tertentu.
  1. Masyarakat-masyarakat industri-sekuler
Tipe dalam masyarakat kelompok ketiga ini agak condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika serikat, tinggiya sekulerismenya bisa dianggap salah satu contoh yang paling mirip dengan masyarakat ketiga ini. Masyarakat-masyarakat ini sangat dinamis, teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang paling penting adalah penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan mereka sendiri. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi agama. Pengaruh inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa keanggotaan masyarakat tersebut semakin lama semakin terbiasa menggunakan metode-metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menaggapi berbagai masalah kemanusiaan.
  1. Masyarakat Indonesia yang multikultural
Dibutuhkan beberapa konsep untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural agar kuat oleh kondisi lingkungan. Bagi masyarakat Indonesia, konsep multikultural bukan hanya sebuah wacana atau sesuatu yang dibayangkan, tetapi konsep ini adalah sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai tegaknya demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia terdapat berbagai macam kebudayaan yang berasal hampir dari seluruh suku bangsa. Dengan demikian, keanekaragaman ini kita dapat mewujudkan masyarakat multikultural apabila warganya dapat hidup berdampingan, toleran dan saling menghargai.
  1. D.  URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MULTIKULTURALISME
Indonesia adalah salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, yang mengakibatkan terjadinya beraneka suku, bahasa, ras, serta agama. Walaupun dalam hal agama, sebagaimana telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini terbukti sejak kelahirannya, peran orang-orang muslim sangat dominan. Bahkan pada waktu pembuatan dasar negara yaitu Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945, dikenal dengan Piagam Jakarta, sila pertama pada waktu itu berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”[32] diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa[33]” karena lebih menghargai agama lain dengan tidak menyimpangkan arti tauhid sendiri bagi umat Islam. Walau memang tidak dapat dipungkiri ada pihak yang tetap menolak keputusan tersebut.
Inilah permulaan tantangan Islam di tengah masyarakat multikultural, khususnya di Indonesia. Bagaimana Islam meletakkan dirinya di tengah perbedaan, atau dengan kata lain, dapatkah pemeluk agama Islam menghadirkan Islam sebagai agama yang inklusif terhadap perubahan sekaligus mampu bersaing dengan perubahan yang terjadi di luar dirinya. Satu-satunya cara yang terbaik ialah melalui pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Oleh karena itu, penanaman tentang hakikat Islam dan bagaimana seharusnya Islam bertindak ada di dalamnya.
Pendidikan Islam yang bertujuan untuk merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat[34], dapat difungsikan sebagai nilai-nilai instrumental pembangunan yaitu dengan mengembangkan etika dan moralitas keagamaan untuk dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang merupakan pelaku dan pelangsung pembangunan[35]. Mengingat terdapat dua peran penting agama, yaitu sebagai directive system dan defensive system, maksudnya agama digunakan sebagai sumber utama dalam proses perubahan sekaligus sebagai semacam kekuatan resistensial bagi masyarakat ketika berada dalam persoalan kehidupan yang kompleks. Sehingga agama tidak hanya bermanfaat bagi pemeluknya saja, tetapi harus berskala global. Oleh karena itu, pendidikan Islam haruslah dikemas dengan beberapa prinsip yaitu keterbukaan, toleransi, kebebasan dan  otentisitas. Dengan kata lain, nuansa multikultural haruslah dihadirkan di setiap alur pendidikan yang lebih dikenal dengan pendidikan multikultural. Yaitu menurut Muhaemin el Ma’hady[36], pendidikan multikultural sebagai pendidikan tentang keragaman budaya dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sedangkan menurut prof. H.A.R Tilaar[37], pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Kemunculannya terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, diskriminasi dan juga meningkatnya pluralitas.
Pedidikan menjadi sebuah alat untuk menempuh jalan keselamatan, bukan hanya untuk individu/kelompoknya tetapi melibatkan kepentingan orang lain.
Oleh karena itu perlu tujuan yang jelas dalam penyelenggaraannya. Menurut Paulus Mujiran hal yang perlu dibidik ialah, pertama, pendidikan multicultural menolak pandangan pandangan yang menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Kedua, pendidikan juga menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Ketiga, pendidikan multicultural meningkatkan kompetinsi dalam beberapa kebudayaan. Keempat, kemungkinan pendidikan meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam beberapa kebudayaan, akan menjauhkan kita dari konsep dwibudaya (bicultural) atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi[38].
Sebenarnya pendidikan multicultural bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Pesantren sebagai sekolah khas Indonesia ialah implementasi dari pendidikan multikultural. Berbagai suku dan budaya masuk dan di satukan dengan nuansa Islam tanpa mendikotomikan salah satu. Namun memang, dalam penerapannya, hal yang terpenting ialah rasa solidaritas yang tinggi. Bagaimana setiap orang di tuntut untuk menyiapkan diri untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri
  1. E.   PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam sangatlah diharapkan menjadi sebuah alat untuk menempuh jalan keselamatan bagi umat manusia. Oleh karena itu, dalam menghadapi multikulturalisme di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan haruslah bernuansa multikultur. Pendidikan harus mampu membuka paradigma peserta didiknya sehingga berwawasan inklusif. Selain itu, supaya siswa tidak merasa tercerabut dari akar budayanya sehingga terhindar dari konflik-konflik yang sering terulang di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA


Al Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Madjid, Nurcholis. 2003. Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Mahfud, Choirul. 2008. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin, Haji. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam : Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nottingham. 1985 : 49. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syamsudin .2000. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Http : // afrikanz.wordpress.com/2008/12/21/multiculturalism
Http : //www.darussolah.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=151
Http : //www.gusdur.net/opini/detal/?id=71/hi:id/masa-depan-pendidikan

BAB III
LINK & MATCH PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Suprayitno, Miftahudin dan Hidayatur Rohmah
  1. A.   Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Maka untuk mensukseskan pembangunan Nasional di Negara ini tidak bisa lepas dari peran dan campur tangan umat Islam. Dalam upaya itu maka mau tidak mau umat Islam harus saling berupaya dan bekerja sama dalam berbagai lini, terutama di sektor pendidikan yang akan mewarnai perkembangan dan arah pendidikan Nasional kedepan. Adapun Tujuan Pendidikan Nasional seperti yang termaktub dalam alenia terakhir UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.[39]
Pembangunan Nasional di Indonesia merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan dengan berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi nasi memiliki visi yang jelas yaitu  terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah negara  kesatuan Republik Indonesia yang sehat, mandiri, beriman bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan menguasai iptek memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin.[40] Dari hal itu jelas bahwa sektor pembangunan diarahkan pada orientasi peningkatan sumber daya manusia.
Sebagai usaha peningkatan sumber daya manusia yang cerdas, trampil, dan siap pakai untuk masa depan, konsepsi Link and Mach Pendidikan Islam dipandang baik untuk peningkatan  diberbagai bidang, yang diharapkan akan menghasilkan output pendidikan yang berkualitas yaitu manusia yang matang, kreatif, cerdas dan beriman yang mampu menghadapi tantangan zaman.
Adapun cara yang dipakai dalam usaha tersebut ialah pertama, aktifitas nilai-nilai pendidikan Islam di sekolah dalam beberapa aspek meliputi : kurikulum, kegiatan siswa baik ekstra kurikuler maupun intrakurikuler dan sumber daya manusia.[41] Kedua, selalu mengaitkan aspek Islami dalam kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung, yang diwujudkan dengan mengutamakan musyawarah dan diskusi, mendidik siswa dengan kasih sayang serta dengan pendekatan individu. Ketiga, harus memperhatikan beberapa hal khusus dalam kontek orientasi link and mact diantaranya :
-          Perlunya diwujudkan kemitraan antara sekolah dan dunia kerja.
-          Meningkatkan etos kerja dengan melalui peningkatan dan pengembangan potensi guru.
-          Penanganan kegiatan Ekstrakurikuler sebagai salah satu program sekolah secara professional dan materi pelajaran disekolah mengacu pada materi pelajaran yang ditetapkan pemerintah dengan tanpa melupakan konsepsi pendidikan Islam disegala aspek, yang selengkapnya bisa di baca dalam keseluruhan makalah ini.
  1. B.   Pengertian dan Konsepsi dasar Link and Match Pendidikan Islam
Perlunya relevansi atau keterpaduan dan keserasian antara pendidikan dengan berbagai sektor lainnya dimaksudkan agar proses dan hasil pendidikan dapat menjawab tantangan dunia kerja, tantangan zaman, serta tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan kata lain relevansi tersebut bermaksud mengarahkan kepada terwujudnya output pendidikan sekaligus sebagai input bagi pembangunan yaitu berupa tenaga yang terdidik, trampil dan siap kerja. Dalam rangka pencapaian hal ini maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih dikenal dengan konsep Link and Match.[42] Melalui kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat upaya sinkronisasi  dunia pendidikan dengan dunia industri atau dunia usaha dalam hal perencanaan, penilaian, sertifikasi, pelatihan-pelatihan dan lain-lain. Adapun pendidikan Islam ialah bimbingan atau usaha sadar pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama yang berdasarkan ajaran Islam.
Abdurahman Al-Nahlawi (1989) merumuskan bahwa menurut pendapatnya pendidikan (tarbiyah) terdiri dari tiga unsur penting yaitu :
  1. Menjaga dan memelihara fitrah  anak menjelang dewasa,
  2. Mengembangakan seluruh potensi,
  3. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan dilaksanakan secara bertahap.[43]
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan ialah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran islam.
Dalam pengertian yang lebih luas link secara harfiyah berarti pertautan, keterkaitan atau hubungan yang interaktif sedangkan match berarti kecocokan atau kesesuaian. Dengan demikian jika dikaitkan dengan pendidikan Islam dapat terlihat didalamnya bahwa sesungguhnya konsep Link and Match bukanlah sesuatu yang baru. Gagasan link and Match yang menekankan agar dunia pendidikan memiliki keterkaitan dan kesesuaian dengan pembangunan sesuai yang diajarkan oleh Islam, hal tersebut sudah diajarkan Islam sejak dahulu. Dalam hal ini pembangunan yang dimaksud ialah mengandung arti menata hari esok yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al Hasyr  ayat 8, Allah telah berfirman :
$pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£‰s% 7‰tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ
“Wahai Orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri manusia memperhatikan kondisi yang ada dalam rangka menata hari esok. Dan bertaqwa kau kepada Allah sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hasyr : 18)[44]
Rosulullah SAW sendiri juga senantiasa menganjurkan umatnya agar mendidik generasi mudanya dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) supaya bisa berkompetisi dalam kehidupan ini serta menghadapi tantangan zaman ke depan yang dinamis. Anjuran ini bisa disimak dalam hadist Nabi SAW yang artinya sebagai berikut :
Ajarkanlah anak-anak kalian dengan berbagai Ilmu Pengetahuan yang berlainan dengan hal-hal yang pernah diajarkan kepadamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu. (HR. Bukhari)[45].
  1. C.  Relevansi Link and Match Pendidikan Islam
Konsep link and match pendidikan Islam dipandang sebagai sebuah konsep yang yang fleksibel, artinya bahwa konsep ini tetap relevan dalam berbagai suasana dan keadaan. Maka relevansi dari konsep tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:
  1. Relevasi terhadap perubahan zaman
Merujuk dari berbagai uraian tentang pengertian link and match pendidikan Islam yang sudah diuraikan di depan, sebetulnya ialah berawal pada konsep nilai-nilai perubahan diberbagai sektor. Yaitu dengan konsep ini diharapkan akan tercetak orang-orang (Output pendidikan) yang terampil, siap terjun didunia kerja di era global sekaligus sebagai insan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT yang bisa mengadopsi dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam bidang apapun dan kondisi apapun.
Konsep Link and Match pendidikan Islam dalam hal ini dianggap penting, karena dianggap mampu mengatasi persoalan yang sedang dialami bangsa ini. Persoalan yang paling mendasar yang dialami pendidikan nasional ialah bahwa secara umum pendidikan nasional sedang menghadapi dua tantangan yang amat berat yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal.
Secara internal, kita dihadapkan pada posisi juru kunci untuk pendidikan, dan sebaliknya di ranking teratas untuk korupsi. Dua kondisi ini yang selalu disebutkan dan diucapkan dimana-mana secara berulang-ulang, sehingga membentuk konsep diri masyarakat kita bahwa pendidikan kita jelek, tidak bermutu, dan terbelakang.
Di sisi lain secara Eksternal, kita juga dihadapkan dengan tantangan yang berat, yaitu perubahan yang sangat cepat dari lingkungan strategis diluar Negara kita. Pasar bebas ASEAN (AFTA) yang sudah berlaku sejak 2003 yang lalu, beberapa saat ke depan kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) diberlakukan mulai tahun 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk seluruh anggota termasuk Indonesia. Jadi kita berada dalam posisi untuk tidak bisa mengelak dari tekanan eksternal tersebut. Jika saat ini Negara kita menghadapi kompetisi tenaga kerja yang begitu kuat, maka pada masa depan kompetisi tersebut akan lebih ketat lagi terutama di era global yang akan berhadapan dengan tenaga-tenaga kerja asing yang ikut berebut dalam memasuki pasar kerja di Negara kita ini.[46]
Yang menjadi pertanyaan besar ialah, mampukah  masyarakat kita menghadapi tantangan tersebut? dan mulai dari mana titik tolak pendidikan negara kita harus bangkit? Dari sinilah kita kembalikan bahwa dengan konsep link and Match Pendidikan Islam dipandang bisa mengatasi persoalan tersebut, jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, peran berbagai pihak dan kata kuncinya ialah perubahan dan inovasi di berbagai sektor, sebagai titik tolak dalam mengembangkan pendidikan nasional pada umumnya.
Perubahan inovasi akan berjalan lancar bila dilaksanakan secara serius oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah dan didorong oleh masukan-masukan dan gerakan bersama antar semua institusi baik institusi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, Institusi ekonomi, politik sosial, budidaya serta masyarakat pada umumnya. Untuk mendukung terwujudnya cita-cita tersebut.
  1. Relevansi terhadap perkembangan Tehnologi dan Industri
Seiring dengan perkembangan zaman maka tidak bisa dielakkan lagi bahwa tehnologi dan industri juga berkembang pesat. Sejalan dengan hal itu pendidikan yang dikehendaki pemerintah ialah menciptakan manusia pendidikan yang bisa memenuhi pasar kerja. Maka dimanakah letak sistim pendidikan Islam? Mungkinkah lembaga pendidikan Islam masih akan banyak diminati peserta didik di masa datang ?[47]
Pertanyaan tersebut merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi sistem dan lembaga pendidikan Islam, khususnya para Alumni dan sarjana Islam untuk mengisi peluang dan menjawab tantangan. Artinya membuat rancang bangun pendidikan Islam yang berwawasan masa depan dan sekaligus mempeloporinya.
Optimisme pengelola sistem pendidikan Islam, khususya sarjana agama dalam melihat perkembangan kehidupan adalah menjadi suatu keharusan. Karena hakikat pendidikan Islam ialah pendidikan yang berkesinambungan dan mempunyai dinamika Kultural. Sesuai dengan Makna dasar kata Al-Islam sebagai kata kerja positif, dalam perspektif pendidikan, mengislamkan berarti menjalankan pendidikan sesuai dengan dinamika dan kebutuhan.[48]
Berangkat dari titik tolak itulah sehingga konsep Link and Match pendidikan Islam dipandang masih cukup relevan untuk dilaksanakan, demi tercapainya orientasi pendidikan yang dikehendaki yaitu output pendidikan yang mampu bersaing di pasar kerja modern sekaligus memiliki kredibilitas yang tinggi dan etos kerja yang maksimal sekaligus memiliki benteng iman yang kokoh.
  1. D.  Aplikasi Link and Match pendidikan Islam
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa link secara harfiah berarti  pertautan, keterkaitan atau hubungan interaktif. Sedangkan match berarti kecocokan atau kesesuaian. Jika dihubungkan dengan pendidikan islam akan menjadi sebuah teori yang bermakna aplikatif, karena merujuk pada kebutuhan (needs, demands).[49] Yaitu hubungan keterkaitan dan kecocokan pendidikan dengan dunia kerja serta ilmu pengetahuan dan teknologi dalam nuansa penanaman nilai-nilai Islam.
Dari pemahaman diatas dapat ditarik suatu pandangan bahwa konsep link and match merupakan konsepsi Aplikasi yang bukan hanya sebuah teori belaka, tetapi merupakan acuan yang bisa diterapkan dalam dunia pendidikan secara bertahap baik di sekolah umum, maupun disekolah yang berbasis agama terlebih lagi di sekolah kejuruan.
Sebagai contoh nyata ialah, kita bisa melihat bahwa konsepsi ini bisa diterapkan di sekolah – sekolah, termasuk di Madrasah Aliyah. Caranya yaitu dengan memberi sentuhan pendidikan keterampilan untuk melengkapi bekal hidup para lulusannya dalam memenuhi tuntutan kehidupan yang obyektif, dengan dmikian lulusan madrasah secara bertahap dan terprogram bisa menyebabkan pada cita-cita ideal yakni memenuhi tuntutan normatif Islam juga mampu menjawab tantangan masyarakat modern.
Bentuk sentuhan itu bisa berwujud antara lain :
-          Membangun kemitraan antara pihak Madrasah dengan dunia kerja dapat diwujudkan kerja sama dalam penanganan sistem pelatihan secara bersama. Jadi konkretnya Madrasah seyogyanya menjadikan balai latihan kerja (BLK), dunia industri, lembaga pendidikan, lembaga pendidikan kejuruan, politeknik dan sejenisnya sebagai mitra kerja.
-          Membuat inovasi terhadap kurikulum muatan lokal dan memperkaya bekal keterampilan.
-          Mencari format ekstrakurikuler yang produktif, yaitu selain kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat pendidikan formal seperti olah raga, musik, dan lain-lain juga menyajikan kegiatan ekstra yang bersifat keterampilan praktis seperti computer, tata boga, tata rias, manajemen dan lain sebagainya.
  1. E.   Penutup
Setelah memaparkan konsep link and match secara panjang lebar, baik tentang berbagai kelebihan, relevansi dan kekurangannya, serta arah yang akan di capai maka dapat ditarik beberapa hal pokok yang cukup penting diantaranya :
-          Untuk menjalankan konsep Link and Match pendidikan Islam dengan baik maka diperlukan suatu kemitraan antara sekolah dengan dunia kerja.
-          Memperbanyak kegiatan-kegiatan job training bagi siswa agar menjadi siswa yang trampil.
-          Perlunya etos kerja yang tinggi dari guru, siswa, dan juga komunikasi yang baik antara guru dan siswa.
-          Penanganan ekstra kurikulum sebagai salah satu program sekolah secara profesional sehingga hal tersebut betul-betul menjadi daya tarik tersendiri.
























DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama Republik Indonesia, 1997. .Al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya: C.V. Jaya Sakti
Muhaimin.2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam.Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Putra Daulai Haidar.2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Tafsir  Ahmad.2006.Ilmu Pendidikan dalam Persepektif  Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tholkhah Imam,Ahmad Barizi. 2004. Membuka Jendela Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo.
______________,UUD”45 Dan Amandemen I,II,III,IV.2003.Semarang: Karya Cahaya.
Zulkarnain. 2008. Tranformasi Nilai –Nilai Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.




















BAB IV
PERAN WANITA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Nurjanah, Risti Widiastuti dan Muh. Muslichudin

  1. A.   PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Pendidikan yang baik menjadi awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu dan pendidikan merupakan modal mutlak yang harus dimiliki manusia tanpa memandang status gender. Kemuliaan  akhlak, toleransi, solidaritas sopan santun , menghormati sesama, bersikap peduli dan tidak acuh terhadap kepentingan orang lain merupakan hal yang dibebankan kepada  semua individu baik laki-laki maupun perempuan, tanpa diskriminasi dan perbedaan.
Secara empirik pendidikan dan pelatihan yang rendah mutunya, tingkat kesehatan dan status nutrisi rendah, serta akses yang terbatas terhadap sumber daya tidak hanya menekan kualitas hidup perempuan. Namun, juga membatasi produktivitas, menghalangi pertumbuhan dan efisiensi ekonomi. Dengan demikian, peningkatan dan perbaikan status perempuan perlu dikejar,guna mencapai kesejajaran dan keadilan sosial serta keseimbangan ekonomi.
Membicarakan tentang kedudukan seorang wanita,  mengingatkan kita akan ayat-ayat  Al Qur’an yang telah menginformasikan adanya kesetaraan kedudukan manusia di hadapan Tuhan. Salah satu ayat tersebut adalah firman Alloh dalam Q.S Al Hujurat:13 yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.  Ayat tersebut membicarakan tentang penciptaan manusia yang beraneka suku, bangsa, ras dan bahasa dengan tujuan untuk saling mengenal. Tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam batas-batas tertentu, tetapi Allah melihat manusia berdasrkan atas ketakwaannya.
Laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama secara publik. Alloh telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki kemampuan serta potensi yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan keduanya dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas baik umum maupun khusus.
Untuk memulai merintis jalan dalam pencapaian perbaikan nasib wanita, salah satu jalan yang dianggap tepat adalah pendidikan Islam bagi wanita.
Dengan pendidikan Islam, wanita diharapkan dapat menjunjung kaum wanita dari kesengsaraan, penghinaan, dan kebodohan sehingga datang masa terang bagi kaum wanita dengan timbulnya perintis-perintis, sebagai perintis kebangkitan pendidikan wanita.[50]
Kedudukan wanita dalam pendidikan Islam menjadi sangat penting. Tidak hanya laki-laki saja yang yang bisa berkecimpung aktif dalam dunia pendidikan, tetapi wanita juga sangat penting sebagai partisipant dalam kemajuan pendidikan Islam.
Syekh Muhammad Abduh menulis bahwa, “Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya merupakan persoalan-persoalan duniawi (sesuai perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah keagamaan.[51]
Betapa kedudukan wanita menjadi sangat mulia dimana wanita mendapat hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam menjadi dasar bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya dalam rangka mengelola kemakmuran bumi.
  1. B.   PEMBAHASAN
    1. a.   Ilmu dan Pendidikan yang Seimbang
  1. Partisipasi Wanita dalam Pendidikan Islam
Agama Islam sangat menganjurkan  pemeluknya supaya gemar menunutut ilmu dan mengamalkannya. Karena dengan ilmu kedudukan manusia akan terangkat  beberapa derajat sebagaimana yang diinformasikan Allah dalam surat Al Mujadilah ayat 11. Dan salah satu jalan atau bahkan mungkin satu-satunya jalan dalam rangka menuntut ilmu adalah dengan melalui pendidikan. Baik jalur formal, informal maupun nonformal. Dengan adanya jalur pendidikan tersebut diharapkan pikiran, ide-ide yang inovatif dan kreatif dari setiap manusia dapat disalurkan dan dikembangkan.
Sehingga dalam pemilihan jenis pendidikan pun sangat menentukan bagi pembentukan anak didik. Karena pemilihan pendidikan yang sembarangan akan merusak perkembangan anak didik. Oleh karenanya diperlukan pendidikan yang akan melahirkan anak shaleh, yakni pendidikan yang seimbang,  pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek dalam diri manusia (hati, akal, dan fisik).
Di sinilah peran seorang wanita sebagai pendidik pertama bagi seorang anak. Sebagai seorang pendidik pertama ia harus mampu untuk memenuhi kebutuhan perkembangan hati, akal dan fisiknya dalam proses pendidikan.
  1. b.   Peran Penting Wanita dalam Keluarga dan Pendidikan Islam
Setiap orang tua mempunyai kewajiban memelihara dan mengembangkan fitrah atau potensi dasar keislaman anak, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi muslim yang benar-benar menyerahkan diri secara total kepada Allah SWT. Wajib bagi setiap ibu mengajar/mendidik anak-anaknya taat kepada Alloh SWT, yakni dengan menjauhi larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya, serta patuh kepada kedua orangtuanya.
Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya.[52]
Dalam pendidikan keluarga seorang anak dididik sejak mulai lahir hingga ia dewasa . Pendapat ini mirip sekali dengan kurikulum pendidikan modern pada bangsa-bangsa zaman dahulu, akan tetapi beberapa abad sebelumnya telah ada pendapat yang berkaitan dengan hal tersebut yang menganjurkan supaya mulai diusahakan mendidik anak sejak sebelum lahir (pendidikan pra-natal). Al-Ghazaly mengharuskan agar anak diasuh oleh seorang perempuan yang shalihah dan dapat menjaga diri, dan tidak boleh menyusukan anak kepada perempuan kecuali perempuan yang memiliki sifat sama dengan perempuan yang mengasuhnya. Jangan sampai menyerahkan anak yang diasuh dan disusui oleh perempuan yang tidak beragama dan tidak shalihah, yang memakan makanan yang tidak halal.[53]
Di dalam pendidikan akidah, seorang ibu harus mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi dalam kehidupan itu ada pengatur, pengawas, tujuan hidup, dan akhir dari kehidupan. Anak diajak mengenal Allah SWT dengan memperkenalkan bermacam-macam ciptaan Allah SWT. Pendidikan tauhid sangat penting sebagai modal dasar bagi anak dalam menjalani kehidupan nanti.
Dalam pendidikan ibadah, ketika ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan, tidaklah berat baginya dalam mengajak si calon bayi untuk ikut serta melakukan ibadah harian. Seperti shalat, puasa, membaca al-qur’an, berdoa, berdzikir, dan lain sebagainya. Sesuatu betapapun ringannya, kalau tidak dibiasakan akan terasa berat. Sebaliknya, sesuatu bagaimanapun beratnya jika dibiasakan akan terasa ringan. Seperti halnya disiplin, jika ditanamkan sejak kecil oleh orang tua, maka akan meninggakan bekas yang lama, sehingga nantinya anak tidak mudah tergoda meninggalkan perintah-perintah Alloh SWT.
Dalam pendidikan dakwah, anak dididik agar menjadi seseorang yang mampu menyampaikan ilmu kepada orang lain. Untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, anak dididik supaya tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan akhlak juga harus diberikan kepada anak. Suatu tugas, mau tidak mau pasti dan harus mempunyai konsekuensi dan resiko. Dalam menyampaikan suatu ilmu dan kebenaran, seorang wanita hendaknya menanamkan jiwa pemberani dan percaya diri agar anak (putera/puterinya) mempunyai kesiapan mental menerima segala macam cobaan. Tidak mudah menyerah dan patah semangat, harus mencerminkan akhlak seorang yang teguh iman dan sabar.
Mengenai pendidikan akhlak, kebiasaan yang baik kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak yang baik. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri kita, maka dengan sendirinya kebiasaan buruk akan mewarnai dan menghiasi seseorang tanpa harus dibiasakan. Kalau dibiarkan tidak terbina, potensi dasar tersebut akan berkembang ke arah yang bertentangan dengan maksud Allah SWT menciptakannya.
Pendidikan pada pembentukan pemikiran (‘aqaliyyah) seorang anak juga dilakukan seorang ibu. Pengasahan otak seorang anak semenjak kecil akan lebih bagus, daripada jika sudah besar, seperti sebuah pepatah yang sudah populer “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, sedangkan belajar sesudah dewasa bagai melukis di atas air “. Ibarat sebuah pisau, semakin lama waktu mengasahnya maka semakin tajam. Tapi seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal ini jangan sembarangan dalam memberikan bahan/alat pendidikan, seperti buku-buku bacaan, untuk mengasah otak. Sekarang ini harus diwaspadai karena banyak buku-buku yang ingin menghancurkan generasi Islam. Bisa jadi pendidikan anak-anak usia dini menjadi arah atau sasaran perusakan tersebut.
Pendidikan rohani dapat dilakukan juga dengan mengajak anak untuk shalat sejak anak berumur 7 tahun, memberikan sansi (yang mendidik dan sewajarnya) kalau anak meninggalkan shalat setelah anak berusia 10 tahun, mendidik anak mencintai Rasulullah SAW, mengajari anak membaca al-qur’an, dan lain sebagainya.
Peran wanita sebagai ibu atau istri tak ayal lagi berperan sentral dalam keberhasilan suami atau anak. Suami dapat menjadi seorang tokoh besar karena kegigihan seorang istri yang senantiasa mendampingi dan mendukung suami. Anak dapat menjadi ilmuwan besar juga dengan kesabaran dan ketelatenan ibu dalam mendidik anaknya. Di samping itu, wanita juga berperan sebagai pendidik generasi muda negeri ini, yaitu dengan mendidik para pemudinya, bahkan juga para ibu rumah tangga yang lain sebagai bagian dari masyarakat.
Kesiapan seorang wanita dalam pendidikan agama, etika, bermasyarakat, dan sains menjadi sangat penting apalagi jika ia berperan sebagai ibu yang menjadi sumber pertama bagi pendidikan anak-anaknya. “Longlife education” menjadi suatu wacana yang penting untuk dipahamkan. Pendidikan didapat bukan hanya dari bangku sekolah dan kuliah. Sebenarnya kesempatan kerja dan proses bermasyarakat juga merupakan sarana dan proses pendidikan. Seorang alumni pesantren misalnya, hendaknya jangan merasa cukup dengan pengajaran yang ia dapatkan dari sekolahnya dahulu, sebaiknya ia tetap mengkaji dan mengulang ilmu-ilmu keagamaan yang dibutuhkan keluarga dan masyarakat.[54]
Seorang wanita tidaklah cukup berkutat dalam rumah saja sebagai Ibu Rumah Tangga, karena para tunas bangsa dan agama telah menunggu uluran tangannya. Karena kewajiban bagi setiap wanita terhadap kawan-kawannya yang seagama yaitu menganjurkan untuk membersihkan akidah dan tauhidnya dari pengaruh di luar Islam; menjauhi paham-paham yang bersifat merusak dan menghancurkan sendi-sendi Islam dan akhlak yang luhur yang diterimanya melalui buku, majalah, fillm, dan sebagainya[55].        Menjadikan keluarga sebagai prioritas adalah pilihan bijak, tetapi alangkah baiknya meskipun telah menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita tidak mematikan potensi dirinya.[56]
Kesenjangan atau gap pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya antara lain disebabkan oleh faktor budaya di mana sebagian masyarakat Indonesia beranggapan bahwa pendidikan tinggi untuk wanita dianggap tidak penting karena setinggi apapun pendidikan seorang wanita tidak akan berguna karena pada akhirnya wanita hanya akan menjadi pengurus rumah tangga, selain itu ada anggapan lain bahwa setinggi apapun kemampuan atau pendidikan seorang wanita, hal itu tidak akan sebanding dengan pria karena anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah daripada pria dan memang itu kodrat wanita.[57]
  1. Wanita dalam Pandangan Islam
          Peran wanita muslimah dalam pendidikan generasi di masa akan datang dapat optimal untuk menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus ulung dan para mujahid, maka proses pembinaan para wanita muslimah tidak boleh dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Mereka perlu dibina dengan pendidikan Islam secara mapan atau mendalam. Sehingga dapat mengarahkan, bahkan mendidik generasi penerusnya menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan meraih kejayaan Islam kembali.
Sesungguhnya di dalam Islam terdaftar banyak cendekiawan dan ulama wanita, hal ini menunjukkan bahwa wanita tidak disimpan di dalam kebodohan dan buta huruf. Namun, sepenuhnya didukung untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran agama Islam dan kepandaiannya adalah sebagai seorang guru pertama dari anak-anaknya. Ada beberapa contoh dimana sejumlah wanita menolak sejumlah ulama besar di zamannya jika mereka mengatakan yang bertentangan dengan hak bagi wanita yang telah ditetapkan dalam al-qur’an dan as-Sunnah. Wanita muslim tidak hanya diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan, tetapi juga mengkombinasikannya dengan kualitas moral yang tinggi, yang diilhamkan oleh Islam bagi para ibu dari kaum muslim.
Selain berperan mengembangkan ilmu pengetahuan (secara tidak langsung) melalui jalur pendidikan, banyak tokoh wanita yang mengukir prestasi besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan secara langsung kepada public (obyek). Tokoh wanita yang mungkin layak disebutkan pertama kali adalah Aisyah ra. Pada masanya, Aisyah ra. Banyak memberikan masukan dan ide-ide cemerlang dalam memajukan Islam. Selain itu, beliau juga berperan besar dalam menjaga kemurnian sunnah Rasulullah SAW, yang menjadikannya salah seorang sumber rujukan hukum Islam pada zamannya.
Aisyah ra. juga terkenal ahli dalam bidang fiqh yang nyaris tak tertandingi kehebatannya dalam sejarah keilmuan Islam. Keahliannya dalam bidang Sunnah dan fiqh tersebut membuat namanya tercatat dalam golongan intelektual papan atas di tahun-tahun pertama Islam.[58]
Lois Lamya al Faruqi atau Lois Ibsen (istri al Faruqi) menyuarakan pentingnya setiap muslim menyadari perannya dan ia mengusahakan lahirnya sarjana-sarjana yang menguasai tradisi Islam sekaligus tradisi barat. Lois Ibsen percaya umat Islam harus menerima tantangan dunia modern dengan pikiran terbuka. Ia berkata bahwa pendahulu-pendahulu kita dalu juga pernah meminjam peradaban lain yang bermanfaat. Rangsangan ini untuk memacu mereka mencapai prestasi besar.
Dia mampu memberi konstribusi dalam karier kesarjanaan al Faruqi, menyebarkan ide-idenya, dan lebih-lebih nekad berusaha melindungi al Faruqi pada saat  malam pembunuhannya.[59]
Keberhasilan kita yang sejati sebagai wanita adalah sesuai yang diharapkan Alloh SWT sebagai ibu kaum muslimin yang taat. Itu adalah perbuatan yang benar-benar berharga, yang menjadi bekal di alam kubur kelak dan satu-satunya perbuatan yang berarti di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat.[60]

  1. Kesimpulan
          Sesungguhnya bahwa peranan wanita dalam pendidikan Islam, terutama dalam kehidupan moral dan agama sangatlah penting. Maka untuk menunaikan tugas dan fungsi-fungsinya yang sangat penting itu, wanita perlu dipersiapkan dengan baik, dengan melalui berbagai cara, baik pendidikan formal maupun non formal. Wanita diharapkan dapat dijadikan contoh dari akhlaknya yang baik itu, baik dalam kehidupan rumah tangga ataupun kehidupan sosial.[61]
Wanita tidak dapat diremehkan dan diabaikan, karena di balik semua keberhasilan dan kontinuitas kehidupan, di situlah peran yang besar dari wanita. Wanita adalah guru pertama bagi seorang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai.
Wanita berpartisipasi dalam pendidikan Islam sejak manusia diciptakan dalam rahimnya. Pendidikan tersebut meliputi berbagai sendi, antara lain adalah pendidikan sebelum lahir (pendidikan pra-nata), pendidikan akidah, pendidikan ibadah, pendidikan dakwah, pendidikan akhlak, pendidikan ‘aqaliyyah (akal), pendidikan rohani, dan lain sebagainya. Selain berperan dalam lingkup keluarga, wanita juga berpartisipasi besar di dunia pendidikan pada generasi muslim yang tangguh dan berjiwa sosial.
Selain berperan dalam pendidikan Islam dalam keluarga, banyak pula wanita yang berperan di luar lingkup keluarga, tanpa melalaikan tugas dan kewajiban sebagai seorang ibu dan istri untuk mendukung keberhasilan dan semangat suami dalam hal-hal yang positif. Hal ini telah dicontohkan dari beberapa tokoh wanita dalam pendidikan Islam yang tersebut di atas, seperti ‘Aisyah ra.
  1. C.  PENUTUP
Setelah mengkaji beberapa hal tentang peran dan partisipasi dari wanita dalam pendidikan Islam. Maka dapat dirasakan benar-benar pentingnya peran wanita dalam pendidikan, karena setiap manusia lahir di dunia telah membawa potensi. Baik dan buruknya pertumbuhan dan perkembangannya dalam kehidupan manusia tersebut tentu tidak terlepas dari peran dan partisipasi wanita. Sehingga, bagaimana perilaku dan kepribadian manusia terbentuk sesuai dengan bagaimana seorang ibu dari manusia tersebut melakukan partisipasinya atau melaksanakan perannya sebagai seorang ibu, istri, dan sebagai teladan bagi anak-anaknya dan generasi muda yang akan datang.
Peranan wanita yang solikhah tentu akan menghasilkan manusia yang mempunyai perilaku dan kepribadian yang baik. Tentunya dengan perilaku dan kepribadian yang baik tersebut akan menjadikannya seorang muslim yang berakhlak mulia, yaitu taat kepada Alloh SWT dan patuh kepada kedua orang tuanya. Seberapa partisipasi atau peran wanita tersebut akan menentukan pendidikan Islam pada kehidupan manusia di dunia dalam mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.








DAFTAR PUSTAKA

Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At Tuwanisi, 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: RINEKA CIPTA.
Exotic-smansaka.110mb.com. Peran Wanita dalam Ilmu Pengetahuan.
Hendraku.blog.co.uk. Tugas Utama Wanita.
Insidenwinme.blogspot.com. Wanita dalam pembangunan (wanita dalam pendidikan)
Islamiyah.Wordpress.com. Wanita dan Pendidikan yang sebenarnya.
Media.isnet.org. Peranan Wanita dan Kebangkitan Umat Islam Masa Kini.
Mustaghfirin dkk. 2008. Membuka Cakrawala Pendidikan Islam. FSPI.
Shafiq, Muhammad, 2000. Mendidik generasi Baru Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
www.hudzaifah.org/Article49.phtml. Peran wanita dalam membangun Negara dan Umat.
Rukiati, Enung K dan Fenti Hikmawati. 2006. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
IIU Islamabad/www.nupakistan.or.id.
BAB V
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Oleh : Ahmad Afwan dan Tia Artiana

  1. A.   PENDAHULUAN.
Gambaran konsep pendidikan yang sempurna dan di idam – idamkan oleh berbagai kalangan agaknya adalah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Potret dunia pendidikan Indonesia yang terpuruk menjadi semakin terpuruk dan sangat sulit dicari solusinya. Banyak problem pendidikan yang hampir 100% dikarenakan masalah biaya, menjadikan mutu pendidikan negara Indonesia semakin buruk.
Di tengah kehidupan yang cenderung materialistik saat ini, di benak setiap orang hanya ada kalimat “bagaimana cara saya bertahan hidup”. Kecenderungan era globalisasi yang menyebabkan kaum kaya makin sejahtera dan kaum miskin makin merana dan bertambah jumlahnya. Apabila pendidikan sudah dikomersialisasikan, mungkin masyarakat kalangan atas masih bisa dan mampu menerima dengan tangan terbuka, maksudnya adalah mereka mau dan mampu membayar berapapun untuk mendapatkan pendidikan yang layak, baik, dan tinggi.
Tetapi jika kita lihat ke belakang masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan yang tidak mampu mengecap kesejahteraan itu. Apakah mereka tidak diperkenankan mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan cita – cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa memandang status ekonomi kaumnya. Akankah mereka mendapatkan pendidikan yang layak atau mungkin mereka hanya cukup melihat orang lain yang mampu menanggung biaya di setiap jenjang pendidikan, baik dari tingkat paling dasar ( TK/SD ), menengah (SMP/SMA atau yang sederajat) hingga pendidikan tinggi yang dirasakan masyarakat semakin mahal. Dan apakah pendidikan hanya diperuntukkan bagi kaum yang ber”uang”. Dari kenyataan itu, pendidikan ternyata justru malah menciptakan kondisi kesenjangan sosial. Hal tersebut dapat terlihat ketika kaum elite berebut ”kue” pembangunan dan kaum miskin merjadi objek pembangunan. Pendidikan seakan menjadi sesuatu yang diperjualbelikan yang akan memberikan keuntungan dan penghasilan bagi pengelolanya[62]
Sebenarnya sudah jelas didalam konstitusi kita yakni sesuai amanat UUD 1945 dan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam amendemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (2) disebutkan “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.[63] Hal itu dipertegas di Bab 8 bagian 4 tentang pengalokasian dana pendidikan pasal 49 ayat (1), “dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dari sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) “.[64]
Selain kecenderungan komersialisasi dunia pendidikan, yang tidak kalah merisaukan adalah gejala kuat liberalisasi akibat kekuatan kapitalis dalam sekala global yang dimotori World Trade Organization (WTO) antara lain melalui General Agreement on Trade in Services(GATS). Dalam GATS tercantum secara eksplisit bahwa pendidikan termasuk salah satu komponen jasa atau bidang usaha yang menjadi objek pengaturan WTO.[65]
  1. B.   PEMBAHASAN
    1. 1.                           PENGERTIAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Komersialisasi : penerapan sistem mencari untung. yakni memandang segala sesuatu diukur dengan keuntungan secara finansial atau uang. Tujuannya yakni memperoleh keuntungan sebesar-besarnya guna memenuhi kepentingan bisnis semata.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat bangsa dan negara.[66] Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi. Jadi komersialisasi pendidikan adalah menjadikan pendidikan sebagai komoditas untuk mencari keuntungan finansial atau kepentingan bisnis.
Ada suatu pola rutin yang dijalani di sekolah-sekolah di indonesia setiap penutupan dan pembukaan tahun ajaran,terutama sejak dekade 1980-an. Pada penutupan tahun ajaran-biasanya setelah tes sumatif atau kenaikan kelas banyak yang mengadakan stady tour ke daerah – daerah tujuan wisata, seperti Yogyakarta, Bali, dan Jakarta yang biasanya dikunjungi oleh wisata pelajar dari berbagai penjuru daerah.sedangkan pada tahun ajaran baru sekolah secara sistimatis memaksa murid untuk melakukan pendaftaran ulang dengan membayar uang , membeli seragam baru atau buku paket. Pelaksanaan kedua pola tersebut hanya berdasar asumsi terbaik saja, bahwa keduanya bahwa keduanya berdampak positf terhadap pendidikan nasional, tapi tidak pernah dipertimbangkan dampak negatifnya sama sekali.[67]
Pendidikan pada dasarnya adalah membuat manusia lebih berkemanusiaan dan berkeadilan. Menurut Ivan Illich, suatu pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, diantaranya adalah, ia harus menyediakan peluang bagi semua orang untuk belajar dan memperoleh pendidikannya. Tapi ironisnya, pendidikan yang seharusnya menciptakan keadilan malah justru semakin melegitimasi dan bahkan menyuburkan ketidakadilan tersebut, ketidakadilan tersebut kemudian menciptakan siklus kemiskinan sistemik, bahwa yang bodoh dan miskin selamanya akan miskin. Padahal pendidikan harus untuk semua, anak-anak miskin tetap harus memperoleh pendidikan yang bermutu,‎ ‎ karena itu peran negara pun kemudian dipertaruhkan. Negara sebagai institusi pengambil kebijakan harus merekonstruksi ulang aturan-aturan yang mendiskreditkan golongan miskin dan bodoh, bahwa orang miskin dan bodoh itu sebetulnya sama dengan manusia-manusia lainnya, mereka sama-sama ingin pintar dan kaya, dalam artian hidup berkecukupan.[68]
  1. 2.                            KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI

Indonesia merupakan negara yang dari segi ekonomi masyarakatnya banyak dari golongan tidak mampu, oleh karena itu dalam persoalan pendidikan pemerintah harus menyusun regulasi dalam upaya melakukan kontrol terhadap makin liarnya komersialisasi dalam pendidikan, sudah menjadi rahasia umum kalau sekolah itu mahal, karena memang tidak ada undang-undang yang mengatur tentang penentuan biaya pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi, sehinga yang terjadi adalah sekolah dengan biaya mahal menjadi harga mati bagi rakyat miskin.
Komersialisasi terjadi karena negara malas mengambil peran, negara sekarang menghamba kepada demokrasi liberal. Demokrasi liberal ini memiliki sejumlah dogma yang menjadi kepercayaan dasarnya, pertama negara wajib mengadopsi sistem ekonomi liberal, sebuah sistem yang mempertautkan satu negara dengan yang lain berdasar pada aturan perdagangan bebas yang dikomandoi oleh rezim WTO, ekonomi liberal ini telah membuat semua negara dipicu untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan, aturan kedua adalah melakukan privatisasi terhadap semua sektor publik, pemerintah dilucuti perannya agar tidak melakukan kontrol, tapi membiarkan sektor swasta untuk mengambil alih, dan yang ketiga adalah menempatkan negara sebagai penjamin bagi kelangsungan sistem ekonomi pasar.
Dengan gagasan demokrasi liberal itu kemudian berimplikasi terhadap kapitalisasi dan komersialisasi terhadap semua bentuk layanan publik, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, tak heran kalau kemudian negara membuat serangkaian aturan hukum yang memberikan kebebasan penuh pada pasar untuk mengelola pendidikan, contohnya adalah membuat kebijakan tentang pengalihan status beberapa universitas dari PTN (Perguruan Tinggi Negeri) menjadi BHMN ‎‎(Badan Hukum Milik Negara) dan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mendirikan lembaga pendidikan dalam berbagai bentuk. Dengan alasan mendasar yang melatrbelakangi mengapa pemerintah melakukan perubahan setatus badan hukum PTN yaitu:Dalam ragka menjalankan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 51 ayat (2) tentang prinsip pelaksanaa pengelolaan satuan pendidikan tinggi yang dilaksanaka secara otonom dan pasal 53 ayat (1)-(3) tentang badan hukum pendidikan, maka pemerintah mengupayakan suatu sistem pendidikan tinggi yang dilaksanakn secara mandiri, berorientasi pada mutu, prinsip nirlaba, serta mampu mengelola dana pendidian secara mandiri. Upaya tersebut menggiring pemerintah untuk melaksanakan pilot project pelaksanaan peguruan tinggi BHMN pada beberapa PTN. Yaitu Universitas Indonesia, UGM, ITB, dan IPB, yang acuan pelaksanaanya berdasar PP No. 152 Tahun 2000 untuk UI, PP Nomor 153 tahun 200 untuk UGM, PP  Nomor 154 Tahun 2000 untuk ITB, dan PP Nomor 155 Tahun 2000 untuk IPB.[69]
Tapi bagaimana yang terjadi kemudian, kebijakan tersebut malah justru berdampak pada biaya kuliah yang tinggi, karena memang pemerintah melepaskan perannya secara penuh terhadap perguruan tinggi tersebut, sedangkan perguruan tinggi tersebut tidak mampu untuk menggali dana sendiri selain dari mahasiswa,‎ ‎ ‎otonomi sekolah dan kampus yang pada dasarnya dimunculkan dalam rangka upaya menuju desentralisasi pendidikan malah justru berbuah pada mahalnya biaya pendidikan, karena otonomisasi itu lebih mengarah pada kemandirian sekolah atau perguruan tinggi dalam mencari sumber biaya guna memenuhi proses kegiatan belajar mengajar (KBM),‎ ‎ sedangkan otonomi kurikulum malah terkesan kurang diperhatikan. Oleh sebab itu maka otonomisasi harus diluruskan pemaknaannya, karena dalam kenyataannya otonomi pendidikan malah justru melahirkan differensiasi kualitas pendidikan yang mencolok, di wilayah masyarakat kaya pendidikan dapat berkualitas, sedangkan di wilayah miskin pendidikan akan stagnan.
Seharusnya pemerintah harus menyusun undang-undang tentang biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi seperti yang terjadi di negara-negara lain, seperti di Inggris misalnya, penentuan uang kuliah dilakukan melalui undang-undang yang disepakati oleh parlemen.‎ ‎ Pemerintah jangan melepaskan pembiayaan pendidikan hanya dengan dalih otonomi, seorang ibu akan membiarkan anaknya untuk bermain, melakukan sesuatu sesuai kemauan hatinya, tapi seorang ibu masih membiayai kehidupan anaknya, maka anak tidak boleh bekerja mencari uang. Negara harus belajar dari ibu dan anak, artinya biarlah sekolah dan perguruan tinggi membikin sendiri manajemennya, sistem pembelajarannya, maupun paradigmanya, tapi dalam persoalan pembiayaan, pemerintah harus bertanggung jawab, baik pembiayaan terhadap negeri maupun swasta, seperti yang terjadi pada pendidikan di Singapura misalnya, pembiayaan pendidikan semuanya ditanggung oleh negara tanpa membedakan negeri maupun swasta.‎ ‎ jangan terjadi seperti sekarang ini, otonomisasi berarti perguruan tinggi menggali dananya sendiri, sehingga masyarakat yang menjadi korbannya.
  1. 3.                           KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DENGAN BHP

      RUU badan hukum pendidikan (BHP), sebagaiman diamantkan pasal 53 ayat (1) UU No. 23 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), sudah memasuki tahap uji piblik. Menurut sisdiknas, penyelenggaraan pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan (BHP). Pro dan kontra pun bermunculan, pihak yang pro menyatakan bahwa BHP akan mampu menciptakan atmosfer bagi perguruan tinggi yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya, serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. sedangkan madrasah /sekolah akan mampu menerapkan otonomi berdasarka prinsip manajemen berbasis sekolah,yang beraksi keras khususnya dari kalangan yayasan penyelenggaran pendidikan, menghawatirkan,     kehadiran BHP menimbulkan keresahan dikalangan pengelola yayasan pendidikan   lantaran keberadaan yayasan sebagai pengelola pendidikan secara langsung tidak diakui.[70]
Terlepas dari sikap pro dan kontra yang terus mencuat agaknya stigma dunia pendidikan kita selama ini sudah berbau fasis dan komersil semakin menyengat tajam. dari tahun ke tahun, isu komersialisasi terus meruyak. Pendaftaran siswa baru bahkan sampai perguruan tinggi memberikan peluang bagi pemuja budaya instan untuk melakukan aksi suap – menyuap, fenomena itu dapat dilihat dari dua persepektif:
  1. Merebaknya budaya instan di tengah masyarakat yang makin abai dalam kesalehan hidup.
  2. Kekeliruan dalam menafsirkanmakna otonomi yang sejak beberapa tahun terakhir menggejala dalamdunia pendidikan.
Dengan dalih untuk menjalin kemitraan dalam menggali dana, sebuah institusi pendidikan seolah-olah sah apabila melakukan pengembangan institusi dengan cara komersialisasi pendidikan. Bukan budaya mutu yang dikembangkan disekolah, melainkan budaya petak umpet yang terjadi pada dunia pendidikan saat ini untuk mendapatkan keuntungan berkedok otonomi pendidikan.
  1. 4.                           DAMPAK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

  1. Komersialisasi pendidikan mengakibatkan sulitnya akses bagi masyarakat terhadap pendidikan dari tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi karena syarat utama untuk memasuki lembaga pendidikan adalah kemampuan finansial masyarakat bukan kemampuan berpikir.
  2. Di dalam lembaga pendidikan, khususnya PTN yang telah menjadi BHMN terdapat kesenjangan lebar antara mahasiswa yang diserap murni dari kemampuan berpikir dengan mahasiswa yang diserap karena kemampuan finanasial. Kondisi ini tidak baik bagi perkembangan dunia akademik.
  3. Perguruan Tinggi tidak lagi fokus mengurus dan melayani pendidikan bagi para mahasiswanya, perhatiannya terpecah kepada urusan-urusan yang bersifat profit dan bisnis sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia.
  4. BHMN dan BHP diberikan peluang melakukan. Hal ini menjadi sarana bagi pihak asing (khususnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara maju lainnya) untuk melakukan intervensi pendidikan melalui senjata utang langsung ke lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.
  5. Peranan masyarakat Indonesia untuk pembiayaan pendidikan tidak dapat terlalu diharapkan terhadap dunia pendidikan Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya apa yang dimaksud UU Sisdiknas dan RUU BHP tentang kemandirian masyarakat adalah menyerahkan institusi pendidikan kepada para pemilik modal. Bagi lembaga-lembaga donor yang berbasis ideologis seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation, hal ini melapangkan jalan bagi mereka guna mendorong perguruan tinggi melakukan riset yang berbasis kepentingan ideologi Kapitalis-Sekuler.[71]
  1. C.  KESIMPULAN

Komersialisasi pendidikan di Indonesia terjadi pada perguruan tinggi, perubahan status perguruan tinggi menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) merupakan embrio dari liberalisasi yang diamini oleh pemerintah, implikasi dari itu adalah perguruan tinggi melakukan proses komersialisasinya dengan ‘seenaknya’ menentukan biaya kuliah, sehingga kuliah mahal menjadi harga mati bagi rakyat miskin tak berdaya, selain itu lembaga pendidikan semacam perguruan tinggi juga telah kehilangan rohnya sebagai media pembaharu atau ladang ilmu yang disebabkan oleh matinya budaya di perguruan tinggi tersebut. Karena itu perlu dilakukan pembagian tugas bagi pemerintah dan masyarakat, peran pemerintah dalam pendidikan harus lebih dipertegas lagi, tugas pemerintah tidak hanya mengeluarkan undang-undang saja tapi lebih dari itu pemerintah harus berfungsi sebagai pengawas yang adil. sedangkan komersialisasi di sekolah terjadi karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga sekolah bermetamorfosis menjadi area pasar dengan tujuan mengeruk laba melalui bisnis buku pelajaran atau seragam sekolah, semangat elitisme sekolah juga dapat dilihat dari sulitnya menjadi pintar bagi anak yang bodoh dan miskin, selama ini mereka tidak diberi ruang untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih bermutu dikarenakan semangat elitisme dan kapitalisme yang menggejala di setiap sekolah dengan mempertimbangkan kekuatan finansial untuk masuk ke sekolah negeri atau favorit melalui test masuk.
Karena itu komersialisasi harus dihentikan, sekolah harus tidak membeda-bedakan golongan, entah itu golongan miskin-kaya, pintar atau bodoh, semua harus diberi hak untuk memperoleh pendidikannya, sekolah bisa dikatakan berhasil kalau sekolah itu bisa meluluskan siswa-siswa yang tadinya bodoh menjadi pintar. Menurut penulis sendiri sekolah-sekolah favorit atau negeri itu belum dikatakan berhasil, karena sekolah-sekolah tersebut hanya menerima murid-murid pintar saja, artinya dari pintar kemudian dididik menjadi pintar itu wajar, yang luar biasa adalah sekolah yang mendidik murid bodoh kemudian menjadi pintar.













DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtiyas.2004. Pendidikan Yang Memiskinkan.Yogyakarta: Galang Press.
Hasbullah.2007.Otonomi Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mustagfirin,dkk.2008.Membuka Cakrawala Pendidikan.forum studi pendidikan islam & FOMM publisser.
http://sawali.info/2008/04/09/mewaspadai komersialisasi pendidikan/ diakses pada tanggal 4 juni 2009 pukul 20:00
http://www.klik19.co.cc/ diakses pada 12 juni 2009 pukul 21:00
PMII komisariat tribhakt,komersialisasi pendidikan pasca orde baru. diakses pada tanggal 4 juni 2009 pukul 20:00
Pemerintah RI.2006. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Yogyakarta:Pustaka Belajar
Undang – undang dasar RI.1945.Semarang : Karya Cahaya.





BAGIAN II
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Bab VI
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
BAB VII
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI NEGARA BERKEMBANG
BAB VIII
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT
BAB IX
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUBSISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Bab VI
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
Oleh : Feri Fadli, Nur Endah dan Tri Ika K


A. Pendahuluan
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan. Secara historis, pesantren tidak saja mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian Indonesia.  Dewasa ini pandangan masyarakat terhadap dunia pesantren dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, masyarakat yang menyongsong masa depan. Kedua,masyarakat yang menaruh perhatian sekaligus harapan bahwa pesantren merupakan model alternatif pendidikan Islam di masa depan.[72]
Sejak ratusan tahun yang lalu ketika pesantren mulai berdiri, di lembaga ini telah diajarkan ilmu dan nilai-nilai agama kepada santri.  Pada tahap pendidikan pesantren bertujuan semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama saja melalui kitab-kitab klasik atau kitab kuning yang diajarkan dalam bentuk sorogan, hafalan dan mezakarah.  Ciri yang menonjol adalah penanaman nilai-nilai agama pada santri melalui kitab-kitab santri.
Dengan seiring perkembangan zaman masuklah ide-ide pembaharuan pemikiran ke Indonesia, yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam pendidikan. Pendidikan pesantren yang mulanya hanya berorientasi pada pendalaman ilmu-ilmu agama, kini mulai dimasukkan mata pelajaran umum dan berbagai bentuk ketrampilan untuk memperluas cakrawala berpikir santri, dapat ikut serta dalam ujian negara dan memiliki keterampilan dalam berbagai bidang.  Diharapkan dengan penanaman ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum dan berbagai bidang ketrampilan, pesantren mampu menciptakan kader ulama bangsa dan negara dan menjadikan pesantren sebagai lembaga model alternatif di masa depan.[73]
B. Latar Belakang Pendidikan Islam di Pesantren
Pendidikan Islam di pesantren bila kita lihat dari segi latar belakang  munculnya, jauh sebelum negara kita dijajah oleh negara barat yang membawa misi kristenisasi dan westernisasi, telah ada hubungan antara ulama-ulama Indonesia dengan ulama-ulama Timur Tengah dan pedagang-pedagang Arab, India dan Cina yang hadir di Indonesia pada masa kerajaan. Kedatangan penjajah ke Indonesia pada waktu telah merdeka adalah untuk menerapkan sistem kolonialisme. Kemudian, Bangsa Indonesia mulai melakukan perlawanan terhadap sistem kolonial yang mereka terapkan demi kebebasan agama dan bangsa. Dari sinilah ulama-ulama Indonesia mulai menggerakkan santri-santri pondok pesantren yang mereka pimpin untuk anti penjajahan, khususnya dalam bidang pendidikan Islam di pondok pesantren.
Ulama-ulama dan pesantren pada masa penjajahan memegang peranan yang sangat besar dalam membebaskan agama dan negara serta sebagai pelopor perjuangan melawan penjajah, sebagaimana yang dikatakan KH. Yusuf Hasyim : “Dalam sejarah terutama tahun 1945, pesantren di Jawa dan di luar Jawa memainkan peran yang sangat penting dalam perjuangan. Pada waktu siang menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, tetapi begitu matahari terbenam, pesantren berubah menjadi ajang latihan laskar yang siap untuk berperang. Sehingga tidak sedikit pesantren yang menjadi korban keganasan penjajah”.[74]
Pondok pesantren sendiri pada saat ini masih menerapkan sistem pendidikan bentuk asrama sebagaimana yang diterapkan oleh ulama-ulama dahulu. Namun seiring perkembangan zaman pondok pesantren saat ini membuka peluang bagi pelajar-pelajar dan mahasiswa untuk mendalami ilmu agama setelah mereka pulang dari lembaga-lembaga pendidikan yang diberikan pada sore hari.
Bila kita teliti kembali pada sistem pendidikan Islam di Indonesia maka akan kita temukan dua model pendidikan agama Islam  :
  1. 1.        Model pendidikan dengan sitem dan metodologi baru yang dikenal dengan kaum modern ada pada pondok pesantren modern.
  2. Model pendidikan yang masih mempertahankan tradisi lama yang dikenal dengan kaum tradisional, ada pada pondok pesantren salaf. [75]
Dengan memperhatikan dua model pendidikan pondok pesantren diatas, maka kita dapat menemukan beberapa perbedaan. Pertama, terlihat dalam keilmuan. Kedua, dalam metode pembelajaran dan penggunaaan alat-alat bantu pendidikan. Ketiga, Penggunaan sarana pendidikan.
C. Bentuk-bentuk Pesantren      
  1. Pesantren yang masih terikat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Ciri-ciri dari pesantren ini adalah  :
  1. Pengkajian kitab klasik semata
  2. Memakai metode sorogan, wetonan dan hafalan
  3. Tidak memakai sistem klasikal.  Pengetahuan seseorang diukur sejumlah kitab yang pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia berguru
  4. Tujuan pendidikan adalah untuk meninggikan moral, melatih spiritual dan kemanusiaan
  5. Pesantren yang inti pelajarannya menggunakan kitab-kitab klasik yang diajarkan dalam bentuk klasikal dan nonklasikal.  Disamping itu, diajarkan ekstra kurikuler dalam bentuk sistem klasikal. Tingkat pendidikan dibagi pada jenjang pendidikan dasar 6 tahun, menengah pertama 3 tahun dan pendidikan atas 3 tahun.  Selain pelajaran agama di pesantren ini juga diajarkan pengetahuan umum.
  6. Pesantren yang di dalamnya progam keilmuan telah diupayakan menyeimbangkan ilmu agama dan umum, struktur kurikulum yang dipakai ada yang mendasarkan pada struktur madrasah negeri dengan memodifikasi mata pelajaran agama dan ada yang memakai kurikulum yang dibuat pondok pesantren.
  7. Pesantren yang mengutamakan pengajaran ilmu ketrampilan disamping ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok.
    1. Pesantren yang mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan formal dan non formal.[76]
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua pesantren telah banyak mencetak kader-kader pendidik di dalam masyarakat, pengemban misi dan penetralisir budaya-budaya barat yang merusak. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketahanan keislaman masyarakat Indonesia selama 350 tahun dijajah dan diganggu akidahnya oleh Belanda.
D. Metode Pendidikan di Pesantren
Dalam sebuah pondok pesantren setidaknya ada 6 kategori materi yang diterapkan dalam pendidikan di pesantren yakni : 1) metode keteladanan (uswah al hasanah), 2) Latihan dan pembiasaan, 3) mengambil pelajaran (ibrah), 4) nasehat (mauidzah),  5) kedisiplinan,  6) pujian dan hukuman (targhib wa tahdzib).
1)   Metode Keteladanan ( uswah al hasanah )
Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan lewat keteladanan adalah pendidikan dengan cara memberi contoh-contoh kongkrit pada para siswa. Dalam pendidikan pesantren, Kyai atau Ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain. Karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang Kyai atau Ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajaran dan nasehatnya.
2)   Metode latihan dan pembiasaan
Mendidik dengan latihan dan pembiasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan terhadap suatu norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan pesantren metode ini biasanya diterapkan pada ibadah-ibadah seperti sholat berjamaah, kesopanan pada Ustadz dan Kyai, pergaulan dengan sesama santri dan lainnya.
3)   Metode mengambil pelajaran ( ibrah )
Seorang tokoh pendidikan asal Timur Tengah mendefinisikan ibrah dengan suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan secara nalar. Sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya yang akan mendorongnya kepada perilaku berpikir sosial yang sesuai.
Tujuan pedagogis dari Al-Ibrah adalah mengantarkan manusia pada kepuasan berpikir tentang perkara agama yang bisa menggerakkan, mendidik atau menambah perasaan keagamaan.
4)   Mendidik malalui mauidzah ( nasehat )
Mauidzah berarti nasehat.  Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut  :
Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa saja yang dapat menyentuh hati dan membangkitkannya untuk mengamalkan”.
Metode mauidzah harus mengandung tiga unsur, yakni : (1) uraian tentang kebaikan dan kebenaran; (2) motivasi melakukan kebaikan; (3) peringatan tentang dosa atau bahaya yang akan muncul dari adanya larangan, bagi diri sendiri maupun orang lain.
5)   Mendidik melalui kedisiplinan
Pendidikan melalui kedislinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi pada setiap pelanggaran, sementara kebijaksanaan mengharuskan sang pendidik berbuat adil dan arif, tidak terbawa emosi atau dorongan-dorongan lain.
Beberapa hal yang harus diperhatikan seorang pendidik sebelum menjatuhkan sangsi  :
  1. Peringatan atau penyadaran.  Diberikan pada santri yang sudah pernah melakukan pelanggaran pertama.
  2. Hukuman sesuai dengan peraturan yang ada. Ini bagi santri yang sudah melakukan pelanggaran.
  3. Dikeluarkan dari pesantren atau dikembalikan kepada walinya.  Ini bagi santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran dan tidak mengindahkan segala nasehat dan arahan.
6)     Mendidik melalui ( targhib wa tahdzib )
Targhib adalah kebajikan dan menjauhi kejahatan. Tahdzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar.[77]
Dari keenam metode pendidikan pesantren diatas peran seorang Kyai atau Ustadz sangat dominan dalam mengembangkan metode pengajaran dan metode yang diterapkan masih bersifat klasik seperti ketika memberikan materi masih menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Lepas dari persolan itu, ketradisionalan yang melekat dalam pondok pesantren tidak selamanya buruk, artinya sistem dan metode tradisional yang diterapkan di pesantren tidak harus ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernisasi dalam konteks praktek pengajaran merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.
E. Manajemen Pendidikan Pesantren
Pola manajemen pesantren cenderung dilakukan secara insidental dan kurang memperhatikan tujuan yang telah disistematisasikan secara hierarkhis. Perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren belum terlihat misalnya penerimaan siswa baru masih dilakukan dengan terbuka untuk semua individu yang mempunyai latar belakang dan kemampuan tanpa mengadakan tes terlebih dahulu. Usaha kategorisasi dan klasifikasi santri secara kualitatif tidak pernah dilakukan.  Pesantren saat ini sudah berusaha membuka mata untuk dunia luar dengan meniscayakan kebutuhan pola kerjasama antara simbiosis mutualisme antar pesantren dengan institusi yang mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa transformasi, Pola ini dapat dilakukan dalam pengembangan sumber daya pesantren  agar mampu menghadapi tantangan kontemporer yang semakin komplek.
F.  Nilai-Nilai Pesantren
Pada dasarnya pesantren dibangun atas keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu, yaitu komunitas santri yang ingin menimba ilmunya dan pengalamannya. Relasi ditaktik ini akan saling melengkapi.
Komunitas keagamaan pesantren dilandasi oleh keinginan bertafaqquh fi al-din ( mendalami/mengkaji agama ) dengan kaidah al-muhafzhah ‘ala al-qadin al-ashalih wa al-akhdzabi al-zadid al-ashlah ( memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik ). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang cukup untuk kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup sederhana tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat.  Sehingga eksistensi pesantren dapat dikategorikan sebagai lembaga pengembangan masyarakat.
Pesantren menjadi kokoh juga karena adanya Panca Jiwa pesantren yang membantu dua nilai diatas agar eksistensi pesantren terus berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Pertama, jiwa keikhlasan yaitu rangkaian sikap dan tindakan serta perilaku yang didasari hanya mengharapkan ridlo dari Allah SWT, hal ini harus tertanam dalam jiwa komunitas pesantren.
Kedua, jiwa kesederhanaan yaitu bukan hanya menerima apa adanya tetapi ada unsur mengendalikan diri dan kemampuan menguasai diri, ada unsur kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan.
Ketiga, jiwa kemandirian yaitu bukanlah kemampuan mengurusi masalah-masalah internal pesantren, tetapi kemampuan untuk membentuk kondisi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain.
Keempat, jiwa bebas yaitu pesantren mampu memilih jalan hidup dan masa depannya sendiri.  Dengan jiwa besar dan sikap yang siap untuk menghadapi segala problematika kehidupan dengan nilai-nilai Islam.
Kelima, jiwa ukhuwah islamiyah yaitu jiwa yang mematri suasana damai, sejuk, senasib, saling membantu dan saling menghargai bahkan saling men-support dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.
Sejumlah nilai di atas sangat membantu pesantren dalam mengeksiskan keberadaannya sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika zaman. Globalisasi teknologi industri yang mendunia tidak menggoyahkan eksistensi pesantren sebagai penjaga dan sekaligus pelestari nilai-nilai Islam.[78]
G.     Prediksi tentang Pesantren Masa Depan
Apabila seluruh pesantren kita anggap satu, maka kita semua akan memperoleh gambaran tentang masyarakat Islam itu sendiri.  Suatu gejala yang sejak lama melanda masyarakat Islam adalah pendekatan antara orang-orang yang menggunakan filsafat / fikih dan tashawuf. Pengaku filsafat sering menganggap orang fikih itu menyatakan orang filsafat sering meninggalkan ajaran ritual.  Orang tashawuf berkata bahwa orang fikih itu hanya menggeluti agama, orang fikih tidak merasakan lezatnya agama.  Sementara orang fikih menyatakan bahwa orang tashawuf  banyak melakukan bid’ah.
Keadaan seperti itu terjadi juga di Indonesia, bahkan sampai hari ini pesantren ikut terlibat dalam perang tersebut.  Ini terjadi karena belum dikuasainya suatu paradigma yang mampu menyelesaikan pertikaian itu.
Dalam Islam ada tiga paradigma besar pengetahuan yaitu  :
  1. Paradigma sains adalah pengetahuan yang diperoleh dari akal/indra
  2. Paradigma logis adalah pengetahuan obyek
  3. Paradigma mistik adalah pengetahuan tentang obyek-obyek abstrak supralogis dengan hati.
Bila benar kelak pesantren mampu mengambil ketiga paradigma itu.  Maka nilai-nilai lama yang positif akan bertahan pada pesantren.  Sementara nilai baru akan terseleksi, pesantren tidak akan gugup menghadapi arus globalisasi, bahkan paradigma kedua memberikan kemungkinan pada pesantren-pesantren agar mampu, tidak sekedar sebagai filter budaya melainkan mampu menjadi perekayasa dan pengontrol budaya.  Inilah pesantren masa depan.  Inilah ide saya tentang pesantren masa depan. Gejala untuk munculnya pesantren yang saya idealkan kelihatan disana sini sudah ada, bila banyak orang ikut mempercepat kemunculannya.  Tentu pesantren ideal itu akan lebih terwujud dan bila sudah terwujud maka sumbernya bagi pembangunan masyarakat termasuk pencapaian tujuan pendidikan diharapkan semakin besar.[79]
H. Penutup     
Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah SWT, manusia dan alam semesta. Masyarakat sangat berharap lembaga pesantren dapat menjadi lembaga alternatif untuk mempersiapkan diri anak didik menghadapi masa depan yang bukan hanya memberikan, mengkaji, dan mengamalkan ilmu-ilmu agama tetapi juga dapat memberikan ilmu-ilmu umum dari berbagai bidang ketrampilan agar anak didik dapat mengembangkan cakrawala pengetahuan dan memiliki ketrampilan dan sikap menghadapi perubahan dan perkembangan zaman.
Untuk saat ini sudah tiba saatnya pesantren membuka mata agar dapat mengembangkan dan memperbaiki berbagai kekurangan yang ada dalam metode, sistem, manajemen dan penanaman nilai-nilai Islam agar anak didik tidak hanya memiliki pengetahuan agama dan umum tetapi memiliki iman dan takwa serta siap mengadapi arus globalisasi dan zaman yang terus berkembang.


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi. 2008.  Ideologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Burhanudin, Tamyiz. 2001.  Akhlak Pesantren.  Yogyakarta : Ittaga Press.
Dawlay,  Putra Haidar. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.  Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, Ahmad. 2005.  Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.  Bandung :  PT. Remaja Rosdakarya.
Tholkhah, Imam dan Bariz Ahmad. 2004.  Membuka Jendela Pendidikan “Mengurai Akar Tradisi dan Integritas Keimanan Pendidikan Islam”.Jakarta :  PT. Raja Grafindo Persada.

Zuhairini, dkk. 2000.  Sejarah Pendidikan Islam.  Jakarta : Bumi Aksara.

E.mail : elchumaedy@yahoo.com. dan aldy 1406  @yahoo.com.artikel : Membongkar
Ttradisionalisme pesantren. ( Penulis lupa tanggal pengutipan ).


BAB VII
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI NEGARA BERKEMBANG
Oleh : Muhamad Fachrurodin dan Heriyanto

  1. A.   PENDAHULUAN
Modernisasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “pembangunan” (development), yaitu proses multidimensional yang kompleks.[80] Pendidikan di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal,dan karena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itulah pendidikan harus diperbaharui atau dimodernisasi, sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Modernisasi pendidikan Islam dapat dilakukan antara lain dengan adanya pembaharuan dalam segi sistem dan  kebijakan politik pendidikan Islam.
Mengutip suara Dipertais : No. 16 tahun. II, 30 September 2004 bahwa, Indonesia adalah sebuah Negara yang mayoritas pendudukanya memeluk agama Islam. Jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional. Namun, realitasnya tidak demikian. Jumlah umat muslim yang sangat besar tersebut ternyata tidak memiliki ideologi, politik dan budaya yang kuat. [81]
Oleh karena itu, pembaruan dibidang pendidikan Islam sangatlah penting. Karena dengan adanya pembaruan tersebut diharapkan mampu menjadikan penduduk muslim di Indonesia menjadi warga Negara yang memiliki ideologi, politik serta budaya yang kuat.
  1. B.   SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
          Sebelum kita membahas lebih jauh tentang sistem pendidikan Islam, terlebih dahulu kita ketahui tentang tujuan daripada pendidikan Islam itu. Tujuan pendidikan Islam antara lain adalah :
  1. Tujuan Keagamaan
Yaitu pendidikan Islam bertujuan mempertemukan manusia dengan Allah (pribadi dengan tuhanya) melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak, kewajiban, sunat dan yang fardhu bagi seorang mukallaf,
  1. Tujuan Keduniaan
Dapat juga disebut tujuan pendidikan modern. Yaitu tujuan pendidikan diarahkan pada pekerjaan yang berguna (pragmatis) atau untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa depan.[82]
Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam.
Didikan dan ajaran agama Islam mereka berikan dengan perbuatan, dengan contoh dan tiru teladan, misalnya sopan santun, ramah tamah, tulus ikhlas, amanah dan kepercayaan, pengasih dan pemurah dan sebagainya. Dengan demikian tertariklah penduduk Indonesia ingin memeluk Islam.[83]
Seiring dengan berjalannya waktu sistem pendidikan informal, lebih disempurnakan menjadi sistem pendidikan non formal. Pendidikan ini dilakukan di tempat-tempat tertentu, misalnya langgar, surau, masjid dan lain sebagainya untuk belajar mengaji kepada seorang guru agama.
Tempat-tempat pendidikan seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren dan pendidikan yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah yang berdasar agama.
a)                                               Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan pondok pesantren masih sama seperti sistem pendidikan di surau, langgar atau masjid hanya saja lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Di pondok pesantren pendidikan dilakukan secara halakah. Mereka menerima pelajaran yang sama, belum dirancang sebuah kurikulum tertentu berdasar umur, lama belajar atau tingkat pengetahuan.  [84]
b)                                               Sistem Pendidikan Madrasah
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan madrasah dibedakan menjadi :
1)     Madrasah Diniyah yaitu madrasah khusus memberi pendidikan dan pengajaran agama.
2)     Madrasah yang disamping memberikan pendidikan dan pengajaran agama juga memberi pelajaran umum.  [85]
Setelah Indonesia merdeka pemerintah sangat memperhatikan tumbuhnya pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam dijadikan salah satu bidang studi yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. MPR telah menetapkan dalam GBHN bahwa pendidikan agama dimasukan dalam kurikulum sekolah sejak sekolah dasar sampai universitas.
  1. C.  KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN PEMERINTAH INDONESIA

  1. Politik Masa Pra Kemerdekaan
Kebijakan politik masa tersebut berada di tangan penjajah Belanda. Belanda menerapkan politik diskriminatif terhadap rakyat jajahannya terutama pada umat Islam. Oleh karena, itu kebijakan pada masa pra kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh politik dan kebijakan pemerintah pada masa itu, yakni pemerintah kolonialis Belanda.
  1. Kebijakan Kebijakan Politik Masa Orde Lama
Pada masa ini, politik pendidikan Islam lebih diarahkan pada upaya memperbarui dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman.
Masa orde lama berada dalam tarikan tiga kekuatan, yakni nasionalis,  sekularis-komunis dan Islamis. Hal ini mengakibatkan perhatian pemerintah terhadap pendidikan islam sangat kurang. Bahkan umat Islam terpinggirkan dan banyak tokoh Muslim dipenjarakan. Sehingga politik pemerintah waktu itu lebih terfokus terhadap upaya membendung paham komunis.
  1. Kebijakan Politik Masa Orde Baru
Pada awal masa orde baru politik pendidikan berdasarkan ketetapan MPRS No.XXVII/MPRS/1966, yang secara umum tujuan pendidikan masa orde baru adalah untuk membentuk manusia yang berjiwa pancasila, cerdas, terampil dan berbudi pekerti luhur serta berkepribadian Indonesia yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan.
  1. Kebijakan Politik Masa Reformasi
Pemerintahan Reformasi ditandai oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi. Namun tidak terdapat banyak perbedaan dengan politik pemerintah sebelumnya, yaitu masih diberlakukanya sentralisasi pendidikan seperti dalam hal kurikulum, ujian, akreditasi, anggaran dan berbagai aturan lainnya[86].
Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara Asia lainnya. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang belum terfokus pada bidang pendidikan khususnya masalah pembangunan pendidikan yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh Negara untuk kemajuan Indonesia sendiri.[87]
  1. D.  ISI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Membicarakan tentang isi pendidikan Islam di Indonesia, kita tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam sendiri. Yang mana tujuanya adalah mengajarkan pokok-pokok aqidah agama Islam dan ajaran-ajaran Islam menjadi mudah difahami serta dilaksanakan.[88]
Adapun isi pendidikan Islam pada tingkat permulaan meliputi :
  1. Belajar membaca Alqur’an
  2. Pelajaran dan praktek sholat
  3. Pelajaran ketuhanan (teologis) atau ketauhidan
Pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan pelajaran bahasa arab, ushul fiqh serta diajarkan pula aturan-aturan tentang nikah, mawaris dan sebagainya.[89]
Apabila disimpulkan maka isi pendidikan agama Islam sampai munculnya madrasah adalah sebagai berikut :
  1. Pengajian Al Qur’an, pelajaranya :
    1. Huruf hijaiyah dan membaca al qur’an
    2. Ibadat (praktek dan perukunan)
    3. Keimanan (tentang sifat Allah yang 20)
    4. Akhlaq (dengan cerita dan suri teladan)
    5. Pengajian Kitab :
      1. Ilmu Saraf
      2. Ilmu Nahwu
      3. Ilmu Fiqh
      4. Ilmu Tafsir[90]
Materi-materi tersebut diatas sama untuk seluruh Indonesia, terutama materi pelajaran kitab.
  1. Munculnya Sistem Madrasah
Penyelenggaraan pendidikan pada sistem lebih baik dan lebih terorganisir. Dalam sistem ini telah dibuat kurikulum yang teratur dan telah direncanakan. Akan tetapi materi yang diberikan masih seperti sebelumnya.
Setelah munculnya sistem madrasah, pendidikan Islam telah mencakup 12 macam ilmu dengan berbagai macam kitabnya, yaitu :
Ilmu Nahwu
Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu Saraf
Ilmu Badi’
Ilmu Tafsir
Ilmu Ma’ani
Ilmu Tauhid
Ilmu Bayan
Ilmu Hadist
Mantiq (logika)
Ilmu Fiqh
Mustalah Hadist
  1. Masa Pembaharuan Islam
Gerakan pembaruan Islam mempengaruhi pula tujuan pendidikan Islam dan materi-materi pendidikan Islam. Apabila sebelumnya menitik beratkan pada penguasaan bahasa arab secara fasih dan mengetahui ajaran Islam, maka gerakan pembaharuan Islam menghendaki agar murid dapat mengembangkanya. Maka, pendidikan Islam lebih banyak ditekankan pada penguasaan bahasa arab dan ilmu pengetahuan umum.
Sebagai contoh, rencana pelajaran dari Madrasah Salafiyah Pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919. Disamping pelajaran agama dan bahasa arab seperti yang telah dilaksanakan, ditambah dengan pelajaran pengetahuan umum, yaitu12 :
  1. Membaca dan menulis huruf latin
  2. Mempelajari bahasa Indonesia
  3. Mempelajari ilmu berhitung
Menyadari pembaharuan sistem pendidikan Islam di Indonesia, sistem pendidikan di madrasah-madrasah mulai dibenahi dan kurikulumnya tidak lagi mengkhususkan pada pendidikan agama tapi telah dimasukan ilmu pengetahuan umum yang lebih luas.[91]
Pemberian ilmu pengetahuan umum pada lembaga-lembaga agama ini tampak semakin menjadi kebutuhan. Agar lulusan sekolah-sekolah madrasah bisa menyesuaikan diri dengan alam maka timbul usaha pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sederajat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dikeluarkan SKB 3 Mentri. Berdasarkan SKB tersebut pengetahuan umum dan pengetahuan agama di madrasah berbanding 70% (umum) dan 30% (agama). Tujuan pokok dari SKB tersebut adalah agar mutu pengetahuan umum di madrasah sama dengan mutu pengetahuan disekolah yang sederajat. [92]
  1. E.   PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA SAAT INI
Pendidikan Islam Indonesia sampai saat ini masih terasa sangat terpinggirkan jika dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Hal tersebut disebabkan karena kemampuan ekonomi lembaga pendidikan Islam itu sendiri.
Terdapat hambatan serta peluang dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Hambatan yang dimaksud adalah persoalan penduduk, wawasan, dana dan pembangunan pendidikan Islam terpadu. Dan peluangnya adalah penyebaran kebenaran ajaran agama Islam, tunggalitas pancasila, mayoritasnya masyarakat muslim Indonesia, terbukanya perkembangan teknologi serta dukungan pemerintah karena otonomi daerah. Dari pemetaan hambatan dan peluang tersebut terdapat tiga paradigma, yaitu: formisme, mekanisme dan organisme.
Untuk mengembangkan pendidikan Islam Indonesia diformulasikan dengan membangun kesamaan langkah dalam dua hal yaitu, membangun kerangka filosofis dan teoritis pendidikan Islam serta membangun sistem pendidikan Islam yang diproyeksikan melalui laboratorium fungsi ganda. Yang dimaksud laboratorium fungsi ganda adalah antara lain perumusan visi, misi, tujuan pendidikan Islam dan lain sebagainya.[93]
  1. F.   KERJA SAMA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI BIDANG PENDIDIKAN ISLAM
 Diantara Indonesia dan Malaysia terjalin kerjasama dibidang pendidikan Islam karena Pendidikan Islam di Indonesia selangkah lebih maju dibanding di Malaysia. Menurut Wakil Direktur Pendidikan Islam dan Moral Kementrian Malaysia, Haji Dangitan Mustafa bahwa pendidikan Islam Indonesia suatu model ideal.
Indonesia mempunyai peran yang sangat besar bagi perkembangan pendidikan Islam Malaysia. Salah satunya adalah bahwa Malaysia mengakui banyak mengadopsi sistem pendidikan Islam Indonesia, misalnya sistem pendidikan model pesantren di Indonesia, mengirim sarjana-sarjana Malaysia ke Institut-Institut Islam di Indonesia. Malaysia juga mengadopsi cara membaca Alqur’an dengan sistem iqro’ serta banyak guru Malaysia yang dikirim ke Indonesia untuk mempelajari dan membandingkan kurikulum pendidikan agama Islam di Indonesia.
Tujuan dari berbagai kerja sama tersebut salah satunya adalah untuk membangun perspektif soal perdamaian. [94]
  1. G.  TOKOH PEMBANGUNAN PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Kemajuan yang terjadi dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia tidak terlapas dari peran serta pemikiran para tokoh pembaruan pendidikan Islam. Dibawah ini akan dibahas beberapa tokoh yang berjasa dalam pembangunan pendidikan Islam.
  1. K.H.Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan berpandangan bahwa pembentukan kepribadian adalah sangat penting. Beliau menganggap pembentukan kepribadian sebagai target terpenting dari tujuan pendidikan.
Menurutnya, pendidikan harus membekali siswanya dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, (menurut K.H Ahmad Dahlan) pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup.
Untuk mencapai visi misinya dalam pembangunan pendidikan Islam di Indonnesia, beliau mendirikan Muhammadiyah. Pendirian organisasi tersebut turut mempercepat pendirian sekolah-sekolah baru dengan model yang baru. Misalnya sekolah-sekolah yang didirikan di Karangkajen (1913), Lempuyangan (1915) dan Pasargede (1916)[95]
  1. K.H.Hasyim Asy’ari
Aktivitas Hasyim Asy’ari yang berhubungan dengan pendidikan :
a)                 Mengajar
b)                 Mendirikan Pesantren
Beliau mendirikan pondok pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899.
c)                  Mendirikan Organisasi
Organisasi yang didirikan adalah Jamiah Nadhatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Pokok pikiran dalam organisasi tersebut dikenal dengan sebutan qanun asasi Jamiah NU14. Inti dari pokok pikiran tersebut mencakup latar belakang berdirinya Jamiah NU, hakikat dan jatidiri Jamiah NU, potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU, perlunya ijtima’, ta’aruf, ittihad, dan ta’alluf dalam NU serta keharusan warga NU bertaklid pada salah satu pendapat imam mazhab.[96]
  1. Ki Hajar Dewantara
Visi, misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat martabat dan kemajuan umat manusia secara universal sehingga ia dapat berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dengan tetap berpijak pada identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang berbeda dengan bangsa lain.[97]
  1.  K.H Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) muncul sebagai seorang politisi dan akademisi. Gagasan dan pemikiran Gus Dur tentang pendidikan berkisar pada modernisasi pendidikan pesantren. Berbagai aspek pendidikan pesantren mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen serta kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi[98].
  1. Prof . Dr.Azyumardi Azra,M.A.
Gagasan dan pemikirannya tentang pendidikan dapat ditelusuri dari berbagai kebijakan yang diambil selama menjabat sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Azyumardi Azra  ikut berperan dalam perubahan IAIN menjadi UIN.
Beliau mengemukakan gagasannya tentang modernisasi pendidikan Islam yang berhubungan dengan tantangan abad ke-21 dan era globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasannya adalah antara lain melalui pengembangan kajian Islam sebagai disiplin keilmuan universitas, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta pembentukan sekolah-sekolah unggul.[99]
  1. H.  PENUTUP
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Begitu juga dengan Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan (pendidikan umum maupun pendidikan Islam) harus diprioritaskan. Pendidikan di Indonesia selalu mengalami perkembangan walaupun belum dapat seperti yang dicita-citakan, salah satunya adalah dari segi sistem pendidikan yang digunakan.
Seiring dengan perkembangan zaman, sistem pendidikan Islam di Indonesia juga semakin disempurnakan sesuai dengan kebutuhan saat ini. Apabila dibandingkan dengan pedidikan Islam di Negara berkembang lainnya, sebagai contoh adalah Negara Malaysia. Di Indonesia sedikit lebih maju. Oleh karena itu, pemerintah Malaysia melakukan kerjasama dengan Indonesia di bidang tersebut. Dengan kerjasama tersebut diharapkan dapat memberikan hal positif bagi kedua Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Al Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan. Bogor: Fajar Interpratama Offset.
____________. 2004. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada.
____________. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Zahairini, Dra. 2000. Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta: PT Bumi Aksara.
http : // www. cmm. or. id.
http : // www. msi- uii. net/
http: //www. Sib- Bangkok.org/news/index.com

BAB VIII
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT
Oleh : Martyas Stiawan, Muharomah dan Rindra Tri Istianto

  1. A.   PENDAHULUAN
The series which connect the movement of Islamic philoshophy idea, are long assimilation and acculturation of Islam and Greece culture process, since al Kindi and Ibnu Rusyd try to make realitation between both of the cultures. Philosophis study  which depart from Al-Qur’an, and actually the way to think of Islamic Education Philosophy is not too different from the way to think of Greece Philosophy. According to the reality of Islam tradition and West realism, they are profess the existention of the Creator, although is confessed that the God in Islam and God in West philosophy is different.[100]
Pandangan tersebut ketika dihadapkan dengan barat tidak relevan. Al-Quran sebagai dasar pemikiran adalah mutlak rujukan utama. Berbeda dengan dunia barat yang bertitik tolak dari rasio. Problematikanya adalah apakah pemahaman itu akan saling melengkapi atau saling menyingkirkan?
Berangkat dari pendidikan jika diintrepretasikan sebagai wahana pembentukan watak, maka filsafat harus dipahami sebagai teori umum. Disamping itu, teori filsafat pendidikan membutuhkan data empiris yang hanya didapat dari praktik pendidikan. Demikian halnya, praktek tanpa didasari teori tidak mempunyai acuan dan tujuan yang jelas.[101]
Filsafat Pendidikan Islam sebagai teori yang melandasi pendidikan Islam dalam tataran praktik hendaknya dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam realitas. Dengan kata lain, nilai dan keyakinan dapat terinternalisasikan sesuai dengan prinsip “Rahmatan lil’alamin”. Maka, pendidikan Islam harus bisa memberi warna dalam setiap sendi kehidupan. Sehingga manusia yang memiliki kelebihan dari makhluk lain, sebagai “Kholifah fil Ardl” dapat menerjemahkan kedudukannya dalam Hablu  min Alloh dan Hablu min Annas.
Bagaimana dengan Barat yang sama-sama mengakui adanya Tuhan? Suatu perbandingan bukanlah cara untuk mendiskreditkan salah satu di antaranya, namun adalah jalan untuk mencari sebuah relasi antara keduanya.
  1. B.   FILOSOFI PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan adalah suatu usaha nyata dan terarah untuk sebuah tujuan yang dicita-citakan yakni mendewasakan anak didik (transformasi ilmu pengetahuan). Secara sederhana Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai Pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek seejarah umat Islam.merupakan suatu hal yang mensifati dan menjiwai esensi pendidikan tersebut.
Pendasaran filosofi pendidikan Islam secara intepretatif diterapkan pada masa kini untuk mengimbangi pendidikan barat yang hanya menitik beratkan pada ilmu keduniaan dan mengesampingkan aspek etika agama. Pendidikan Islam dapat menjadi alternatif model pendidikan, sebagai langkah awal dalam penyusunan sistem pendidikan untuk mengimbangi sistem Pendidikan barat, Islamisasi Pengetahuan yakni mencoba mengisinya dengan nilai-nilai Islam, untuk selanjutnya pendirian universitas Islam sebagai alternatif terhadap model Barat.[102] Islam bersumber pada wahyu yakni Al-Quran dan hadist, sehingga Pendidikan Islam secara logis sebagai kelanjutan dari renungan mengenai Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam Pendidikan, Islam memiliki empat konsep yaitu:
  1. Islam sebagai Agama terakhir dan penyempurnaan agama wahyu sebelumnya.
  2. Islam mengajak manusia  kepada kehidupan mulia dengan menjunjung  tinggi budi pekerti .
  3. Islam merupakan sebuah nilai dan norma secara dinamis berdasarkan pada setting sosial dan dimensi ruang dan waktu.
  4. Islam adalah petunjuk hidup yang menghidupkan, tidak  bersifat baku dan operasional.
Untuk mengetahui arah Pendidikan Islam sebagai suatu sistem diperlukan tiga pilar dasar pengkajian yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Manusia sebagai kholifah mendapat tugas untuk menerjemahkan, menjabarkan dan mewujudkan fungsi Tuhan sebagai Robbul’alamin dan Robunnas di dunia ini. Dengan demikian, tugas pendidikan Islam tidak terpisahkan dari tugas hidup manusia untuk rahmatan lil’alamin. Ada tiga hal pokok yang perlu dipahami dalam Filosofi Pendidikan Islam dalam hal konsep manusia sebagai kholifah yaitu wawasan ketuhanan, kemanusian dan kealaman. Tuhan yang merekomendasikan manusia untuk mengolah alam dengan akalnya, baik buruknya akan bergantung dan merupakan tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya. Wawasan ketuhanan menumbuhkan ideologi, idealisme dan cita-cita perjuangan yang  akan melahirkan ilmu-ilmu keagamaan. Wawasan kemanusiaan akan menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan, kebersamaan, demokratis serta akan muncul ilmu-ilmu humaniora. Selanjutnya wawasan tentang alam melahirkan semangat dan sikap ilmiah, sehingga melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesadaran untuk melestarikannya, sebab alam bukan semata-mata obyek yang harus diekploitasi, melainkan sebagai mitra dan sahabat yang ikut menentukan cara kehidupan.[103]
Manusia tersusun dari unsur materi, yaitu tubuh yang mempunyai hayat dan unsur immateri yaitu ruh yang mempunyai dua daya yaitu daya rasa (aspek qolbiyah) dan daya pikir (aspek aqliyah). Daya rasa bila diasah dengan baik akan mempertajam hati nurani, daya pikir jika dilatih akan mempertajam penalaran. Adanya dwi sifat manusia rohaniah dan jasmaniah maka ilmu yang harus dikembangkan oleh manusia terdiri dua jenis. Pertama, ilmu yang merupakan pemberian Allah (potensi bawaan) yaitu fitroh dan yang kedua adalah ilmu capaian (diperoleh dengan usaha atau ijtihad).
Manusia sebagai kholifah yang mempunyai potensi bawaan ke alam nyata ketika  memasuki wilayah praktis pendidikan harus diarahkan pada kemampuan peserta didik dengan fitrahnya masing-masing, Hubungan murid dan guru berjalan sebagai konsep mahluk Allah yang sama-sama memiliki tanggung jawab sebagai kholifah, sehingga anggapan bahwa guru segala-galanya adalah tidak benar.
Dalam aspek aksiologi yang harus dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam adalah Islam itu sendiri yaitu terwujudnya pribadi yang berperilaku luhur sesuai ajaran Al-Quran dan Sunah.

  1. C.  FILOSOFI PENDIDIKAN BARAT
Filosofi Pendidikan di Barat merupakan terapan dari filsafat umum. Berangkat dari hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan dan nilai kemudian bermuara pada pendidikan itu sendiri.[104] Aliran Pendidikan Barat berkarakter dan berkembang pada barat karena para penggagasnya adalah tokoh barat. Rasionalitas sangat mendominasi dalam perkembangannya, sehingga aspek nilai “termarginalkan”. Pengaruh sistem Pendidikan Barat terhadap sistem Pendidikan Islam terbukti berakibat tidak hanya Pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan dan cita-cita Islam, tetapi juga tidak mencapai tujuan Pendidikan Barat yang bersifat sekuler.[105]

  1. D.  PENGERTIAN PERBANDINGAN PENDIDIKAN
Istilah perbandingan pendidikan jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris berarti comparative education. Kata comparative diartikan sebagai bersamaan atau sama, sedangkan kata education diartikan sebagai pendidikan. Dengan demikian, berdasarkan pengertian etimologis tersebut maka istilah comparative education memiliki makna terhadap adanya kecenderungan yang sama dalam kegiatan pendidikan.
Dari pengertian etimologis tersebut maka pengertian perbandingan pendidikan secara terminologis berkaitan erat dengan aspek praktis, yakni: membandingkan sesuatu dengan (compare with). Sehingga dari kedua pengertian ini memunculkan pemahaman terhadap istilah comparative yang apabila dihubungkan dengan kata education berarti suatu upaya untuk membandingkan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan atau menemukan perbandingan yang ada dalam pendidikan.
Mengenai perbandingan pendidikan ini, pada awal mula kemunculannya disebut sebagai pendidikan internasional. Setelah disiplin ilmu ini berkembang kemudian barulah disebut sebagai comparative education. Kemunculan disiplin ilmu ini dalam bidang pendidikan memunculkan dua versi penyebutan, ada yang menyebutnya dengan istilah pendidikan perbandingan dan ada pula yang menyebutkannya dengan istilah perbandingan pendidikan.
Versi pertama yakni pendidikan perbandingan, dalam penyebutannya cenderung memungkinkan terjadinya mis-interpretasi, mengingat struktur bahasa Indonesia selalu menggambarkan hubungan subjek dan objek (antara yang menerangkan dan yang diterangkan). Pada versi ini, kesalahan penafsiran mungkin terjadi jika kata perbandingan dianggap menjadi objek kajiannya, sedangkan kata pendidikan menjadi subjeknya. Apakah mungkin, istilah pendidikan (sebagai subjek yang lebih dekat dengan faktor fungsional) menjadi metodologi bagi istilah perbandingan (sebagai objek yang lebih dekat dengan faktor sistematika)? Sehingga menimbulkan pengertian bahwa dalam pendidikan perbandingan yang dipelajari adalah seputar informasi perbandingan-perbandingan semata, padahal orientasi disiplin ilmu ini lebih luas pembahasannya mencakup dinamika pendidikan di berbagai negara atau studi perbandingan tentang kegiatan pendidikan di berbagai negara (a comparative study of education betweencountries).
Pada versi yang kedua yakni perbandingan pendidikan, istilah perbandingan (sebagai subjek yang memuat faktor sistematika) menjadi metodologi yang menerangkan tentang pendidikan (sebagai objek yang memuat orientasi pelaksanaan pendidikan secara fungsional), yang erat keterkaitannya dengan berbagai determinasi, seperti determinan filosofi dan ideologi suatu bangsa atau negara, determinan sosial, budaya, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain. Tinjauan perbandingan pendidikan kepada berbagai determinasi tersebut akan melahirkan ciri khas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa atau negara bagi masyarakatnya. Sehingga akan memunculkan tokoh- tokoh yang mempelopori Pendidikan.
  1. E.    SKEMA PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT

No

Pembeda

Pendidikan Islam

Pendidikan Barat

1.
Filosofi

Wahyu Al-Quran dan Sunah
Serta ijtihad.

Rasio/ pemikiran


Sifat

Tidak memisahkan antara
Pendidikan dan pengajaran.[106]

Eksplorasi ilmu pengetahuan, aspek(nilai) Pendidikan termaginalkan


Tujuan

Mewujudkan masyarakat yang beradab

Sama dengan Islam, membangun manusia menuju dunia cita.[107]

Pendidik

Selain kompetitif , juga harus berakhlak
Kompetensi yang handal


Metode
Menempuh cara yang sesuai dengan ilmu yang diajarkan.[108]
Metode Dialektik yang diutamakan.[109]



  1. F.   KESIMPULAN
Perbandingan pendidikan adalah langkah mencari identitas diri, bukan hal untuk mencari kelemahan diantara satu pihak yang kemudian menjadikan diskriminatif.
Islam sebagai salah satu model, diharapkan dapat mengembangkan dari aspek ontologi ke dalam epistemologi dan aksiologi. Dengan demikian, eksplorasi pengetahuan yang notabene untuk kemaslahatan hidup umat manusia dapat terealisasi dengan diimbangi moralitas.





DAFTAR  PUSTAKA

Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Jumbulati  Ali.1994. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ali Al-Jumbulati, Al-Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Catatan Kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Pendahuluan: 2008.
Langgulung. 1995. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Nata, Abudin. 2003. Manajemen Pendidikan. Bogor: Fajar Interpratama Offset.
http://Irfan’s.blog
http://Riwayat Net.com

BAB IX
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUB SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh : Yusti Ilham Andika

  1. A.   PENDAHULUAN
Sebagai sub sistem, pendidikan Islam mempunyai tujuan khusus yang harus dicapai dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan. Visi pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang beriman, taqwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka. Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia Indonesia.[110]
Dengan misi tersebut pendidikan Islam ingin mengejewantahkan nilai-nilai keislaman, yang mana dengan keberadaan Pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal.[111]
Untuk itu dengan adanya Pendidikan Islam dan pendidikan nasional di atas, kita sebagai warga Negara Indonesia yang beriman dan bertaqwa telah menjadikan falsafah pancasila sebagai pedoman hidup bernegara dan bermasyarakat. Yang mana pendidikan agama Islam harus kita wujudkan dalam pelaksanaannya melalui berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
  1. B.   SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan memiliki nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa. Pendidikan itu juga berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa tersebut. Sebab lewat pedidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa tersebut.
Oleh karena demikian pentingnya masalah yang berkenaan dengan pendidikan, maka perlu diatur suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut yang dipayungi dalam sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.[112]
Pembangunan pendidikan di Indonesia mengacu pada satu sistem pendidikan nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang ini, dinyatakan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[113]
Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan diatas, kurikulum pendidikan nasional harus memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik. Terkait dengan itu, kurikulum pada semua jenjang pendidikan harus memuat mata pelajaran wajib antara lain pendidikan agama yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.[114]
Dengan keberhasilan Pendidikan Islam maka akan membantu keberhasilan pendidikan nasional. Begitu juga sebaliknya, keberhasilan pendidikan nasional secara makro turut membantu pencapaian tujuan pendidikan Islam. Oleh sebab itu, keberadaan lembaga pendidikan Islam mestinya oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, berarti UU No. 20 Tahun 2003 merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Dengan adanya wadah tersebut, pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus dikembangkan.[115]
  1. C.  KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam merupakan sebuah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran islam terhadap peserta didik, melalui proses pengembangan fitrah manusia agar memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya.
Agama akan membentuk manusia bermoral apabila dilakukan melalui proses pendidikan. Pendidikan Islam di Indonesia sebagai sub sistem pendidikan nasional, pada hakikatnya juga bertujuan untuk berpartisipasi dalam membangun kualitas bangsa, terutama dalam hal peningkatan moral.[116]
Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan dalam menjabarkan pencapaian tujuan pendidikan, maka keberadaan kurikulum pendidikan yang integral menjadi sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Kurikulum pendidikan integral ini memiliki ciri-ciri yang sangat menonjol pada arah, azas dan tujuan pendidikan, unsur-unsur pelaksana pendidikan serta pada struktur kurikulumnya.[117]
Pendidikan Islam diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam sistem pendidikan nasional. Disamping dikembangkan untuk memenuhi standar nasional, pendidikan Islam juga dikembangkan untuk menjaga karakteristik dan ciri keunggulan yang kompetitif, antar lain :[118]
  1. Pendidikan Islam menempatkan nila-nilai agama dan budaya luhur bangsa sebagai spirit dalam proses pengelolaan dan pembelajaran. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa upaya seperti :
    1. Mengintensifkan proses dan mengembangkan model pembelajaran agama.
    2. Mengalokasikan penambahan jumlah jam pelajaran agama.
    3. Mengintegrasikan wawasan keagamaan pada kurikulum pendidikan.
    4. Menciptakan suasana keberagaman di lingkungan lembaga pendidikan.
    5. Mengutamakan keteladanan dalam perilaku dan amalan keagamaan para pengelola dan pendidikan.
    6. Menyediakan dukungan bahan dan sarana pembelajaran seperti kitab suci, buku referensi keagamaan dan tempat ibadah.
    7. Pendidikan Islam mengembangkan prinsip-prinsip pendidikan, yaitu holistic antara akidah, ibadah, muamalah dan akhlakul karimah.
    8. Pendidikan Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan demokrasi.
  1. D.  RELEVANSI SUBSTANSI  ANTARA  PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Substansi pendidikan nasional relevan dengan pendidikan Islam, artinya selama Pancasila sebagai ideologi bangsa kita pahami seperti pemahaman kita sekarang dimana kelima sila, dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (ketauhidan) sampai keadilan sosial dijunjung tinggi sebagai pandangan hidup dan dasar pendidikan, maka secara substansif prinsip-prinsip pendidikan nasional relevan dengan pendidikan Islam. Hal ini dapat dilacak dari substansi yang terkandung dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003, pasal 2 dan  3.[119]
Relevansi substansi antara pendidikan nasional dengan pendidikan Islam terletak pada:[120] pertama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam ( tauhid ); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat ( makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi ( fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur ( akhlak mulia) dan berbagai kemampuan untuk memikul tanggung jawab ( sebagai khalifatullah ).
Dengan terintegrasinya sistem pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasioanal dan mengingat bahwa substansi pendidikan nasional relevan dengan substansi pendidikan Islam, maka konsep lama yang membatasi pengertian pendidikan Islam hanya pendidikan keagamaan harus dihilangkan.
  1. E.   PENUTUP
Pendidikan Islam semakin kukuh kedudukannya setelah masuk dalam sistem pendidikan nasioanal yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang selanjutnya diatur pula serangkaian, Peraturan Pemerintahan yang berkenaan dengan pendidikan yang relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003.
Untuk mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam, maka usaha kedepan adalah bagaimana memberdayakannya dan mengembangkannya, agar adanya pendidikan Islam dan pendidikan nasional diatas, kita sebagai warga Negara Indonesia yang beriman dan bertaqwa telah menjadikan falsafah Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara dan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Prof. Dr. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http ://eldina.com/2008/01/10
http ://issuu.com/pendis/docs/pembangunan-pendidikan-islam 2009/65
http ://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/viewFile/185/174
http ://one.indoskripsi.com/2009/03/01







BAGIAN III
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN BEBERAPA TOKOH ISLAM
BAB X
BUYA HAMKA
BAB XI
FAZLUR RAHMAN
BAB XII
SYED NAQUIB AL ATTAS
BAB XIII
MUHAMMAD NATSHIR






BAB  X
BUYA HAMKA
Oleh: Astri Fachrul Hidayah, Dwi Futihaturrahmah, Warsito Noor Maskur


  1. A.   PENDAHULUAN
Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) adalah perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran islam dan nilai-nilai islam dalam kegiatan pendidikanya. Menurut Samsul Nizar bahwa pendidikan itu secara umum ialah suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seorang / kelompok orang (peserta didik) dalam upaya mendewasakan manusia (peserta didik) melalui upaya pengajaran dan proses perbuatan dan cara-cara mendidik.[121]
Menurut HAMKA untuk membentuk peseta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kepastian  untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas transfer of knowledge, akan tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik (akhlaq alkarimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya. HAMKA seorang aktivis islam dan intelektual, mengemukakan pentingnya akhlaq dalam pendidikan.[122]
Dengan berangkat dari pemikiran diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang dinamika pemikiran pendidikan Hamka. Sehingga dalam makalah ini akan diuraikan, tentang bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut HAMKA.
  1. B.   BIOGRAFI  HAMKA
HAMKA atau H.Abdul Malik bin Abdul Karim Amarullah, lahir di sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat pada 17 Februari 1908. Sebagai putra H.Abdul Amrullah, ulama besar dan salah seorang pelopor gerakan tajdid di Minangkabau. Abdul Karim dikenal dengan didikan agama yang ditimbanya di Sumatra Thawalib (sekolah beraliran pembaharuan yang didirikan sang ayah beliau) dan dari para kiai disurau / masjid.[123]
HAMKA dikenal sebagai salah satu intelektual dan aktivis islam yang sangat disegani. Dengan bekal dan modal ilmu pengetahuan yang dialaminya dan dikuasainya, HAMKA menjadi penulis yang produktif. Ia menulis puluhan buku, baik novel, cerpen, artikel maupun tafsir Al-Quran (Tafsir Al-azhar).
Pendidikan formal yang dilalui HAMKA di mulai sejak tahun 1916 sampai 1923 dengan belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padang panjang serta Sumatera Thawalib di Padang panjang dan Parabek. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional. Materi pendidikan waktu itu masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik seperti nahwu, sharaf, manthiq bayan, fiqh dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Meskipun  diajarkan membaca dan menulis Arab dan latin, tetapi diutamakan adalah mempelajari kitab-kitab Arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah rendah di Mesir. Akibatnya, banyak diantara teman-temannnya yang fasih membaca kitab, tetapi tidak bisa menulis dengan baik. HAMKA tidak puas dengan sistem pendidikan semacam ini, tapi ia tetap mengikutinya dengan baik[124].
  1. C.  KARYA-KARYA TULIS HAMKA
Mengenai karya tulis yang ditulis oleh HAMKA cukup banyak dan masih bisa di baca sampai sekarang diantaranya:
  1. Tasawuf Modern. Merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam Pedoman Masyarakat antara tahun 1937-1938. Karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersebut kemudian dibukukan. Buku ini pertama kali ditertebitkan di Medan pada tahun 1987 dan mengalami 16 kali cetak ulang.
  2.  Lembaga budi. Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang terdiri dari XI bab. Pembicaraannya meliputi: Budi yang mulia, sebab budi menjadi rusak, penyakit budi, dll.
  3. Falsafah hidup. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1940 di Medan dan telah mengalami cetak ulang sebanyak XII kali. Buku ini terdiri dari IX bab. Ia memulai dengan memaparkan Hidup dan makna kehidupan, kemudian dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam berbagai aspek dan dimensinya.
  4.  Lembaga Hidup. Buku ini pertama kali terbit di Medan pada tahun 1941. Dalam karyanya  Lembaga Hidup, ia mengembangkan pemikirannya dalam XII bab. Ia mencoba mengupas tentang berbagai kewajiban diri manusia, asal usul munculnya kewajiban. Kewajiban manusia kepada Allah dll.
  5.  Pelajaran Agama Islam. Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut mana manusia mencari Tuhan, rukun iman dll.[125]
  1. D.  PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
HAMKA  membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta  didik. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Setiap proses pendidikan didalamnya terdapat proses pengajaran keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain dalam rangka mecapai tujuan yang sama. Tujuan dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran[126].
HAMKA mengejawantahkan pemikiranya tentang komponen pendidikan yang meliputi pendidikan Islam, kewajiban kedua orang tua sebagai pendidik dan utama dalam menanamkan nilai akhlaq pada seorang anak, kewajiban guru, metode pendidikan, memberikan peluang kepada anak didik untuk berfikir secara kritis dan merdeka, integralitas materi pendidikan. [127]
Pembaharuan dalam diri HAMKA terlihat dalam bagaimana Ia menantang pelaksanaan  pendidikan umat Islam Minangkabau yang waktu itu hanya berorientasi kepada ilmu-ilmu klasik dan mengacu pada pola-pola pendidikan agama sebagaimana yang diterapkan di Mesir. Dalam pemahaman umat Islam waktu itu, hanya mempelajari ilmu-ilmu umum sebagai yang dikembangkan di sekolah-sekolah Belanda yang merupakan produk orang-orang kafir yang haram untuk dipelajari, serta tidak menjadikan ia terhormat. Pandangan yang demikian telah membentuk pola pemikiran umat Islam Minangkabau, menjadi kaku dan melihat bahwa menjadi seorang ulama agama, ia dipandang mulia dan terhormat di tengah-tengah masyarakat. Menurut HAMKA, pandangan yang demikian merupakan pemahaman yang keliru. Untuk menjadi orang yang mulia tidak hanya menjadi ulama agama. Seorang ilmuan yang mengkaji ilmu-ilmu umum pun akan dipandang mulia apabila ia memanfaatkan ilmunya bagi kemaslahatan umat dan menghiasi dirinya dengan ilmu-ilmu agama Islam.
Menurut HAMKA, sistem pendidikan Islam yang ideal seharusnya berorientasi pada pada akhirat sekaligus visi kekinian dengan mengaktifkan fungsi akal peserta didik secara maksimal.[128]
  1. E.   BATASAN HAMKA TENTANG MAKNA PENDIDIKAN ISLAM 
Menurut para ahli istilah pendidikan Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. HAMKA memosisikan pendidikan Islam sebagai proses (ta’lim) dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik jasmaniah maupun rohaniah. Untuk lebih jelasnya, berikut dijabarkan pemikiran tentang kedua kata tersebut dalam menunjukkan makna pendidikan islam.
  1. Kata Ta’lim
Sebagaimana para ahli lainnya, HAMKA merujuk pada penggunaan kata ta’lim pada QS. Al-Baqarah:31. Dalam tafsirnya, ia mengatakan bahwa “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.” Pengertian Ta’lim pada ayat tersebut mengandung makna, bahwa pendidikan merupakan proses pentrasferan seperangkat pengetahuan yang dianugrahkan oleh Allah kepada manusia (Adam).[129] Dengan kekuatan yang dimilikinya, baik kekuatan pancaindra maupun akal, manusia dituntut untuk menguasai materi yang ditransfer. Kekuatan tersebut berkembang secara bertahap dari yang sederhana kearah yang lebih baik. Dengan kekuatan ini pula manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai pemegang amanat Alla, sekaligus membongkar rahasia alam bagi kemaslahatan seluruh alam semesta.[130]
  1. Kata Tarbiyah
Kata Tarbiyah memiliki arti mengasuh, bertanggunga jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan,memproduksi, dan menjinakkannya baik aspek jasmaniah ataupun rohaniah.[131] Penekanannya dalam memahami makna “memelihara” dalam kata Tarbiyah sebagai perbuatan pemeliharaan yang dilakukan kedua orang tua terhadap anaknya. Proses ini dilakukan dengan sabar dan penuh kasih saying, guna membantu anak dari ketidakberdayaannya sampai ai mampu mandiri. Baik secara fisik maupun psikis.[132]
Misi pendidikan Islam menitik beratkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Pandangan HAMKA tentang tarbiyah :
  1. Menjaga dan memelihara pertumbuhan Fitrah (potensi) peserta didik untuk   mencapai kedewasaan.
  2. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dengan berbagai saranapendukung (terutama bagi akal dan budinya).
  3. Mengarahkan seluruh  potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin.
  4. Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri peserta didik.[133]
  5. F.   PENGARUH PENDIDIKAN HAMKA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA
HAMKA sudah menyelami realitas sosial dalam khasanah kebangsaan Indonesia dimasa lalu. Keterbukaannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkkan sikap dasar toleransi adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang dibangun atas dasar kesamaan nasib bukan semata-mata kesamaan berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa bangsa ini diolah dan dibangun dengan cara pandang yang terbuka pula.
HAMKA memberikan banyak teladan kepada Indonesia sebagai bangsa ditengah-tengah realitas perbedaan yang ada.sosok yang tangguh dan mau bersahabat dengan siapa saja yang memiliki kemanusiaan, perlu dicontoh bukan hanya oleh mereka yang Muslim, melainkan siapa saja yang mengaku sebagai manusia Indonesia. Sumbangsih pemikiran yang otentik dan kontekstual untuk kehidupan kebangsaan yang sehat itulah yang perlu digali dari sosok HAMKA. Menelusuri jejak –jejak pemikiran seharusnya memupuk keteladanan berfikir, bertindak dan berperilaku. Para elit politik sosial, dan agama yang masih mengedepankan cara berpikir segolongan seharusnya lebih banyak menimba pemikiran HAMKA.[134]
  1. G.  PENUTUP
Dalam memahami Pendidikan Islam Hamka lebih cenderung memosisikan istilah ta’lim yang mengandung makna Tarbiyah. Hamka lebih menekankan pada proses Pendidikan yang berdimensi ruhaniah dan jasmaniah agar seimbang. Beliau juga menekankan pada pentingnya pembaharuan Pendidikan Islam.
HAMKA sebagai seorang ulama pemikir, mubaliqh, dan sastrawan juga ikut membentuk dirinya dan memupuk cita-citanya sehingga ia yang terlanjur  terlena dengan masa mudanya dan segera bangkit  sehingga bangsa dan umat pun mendapatkan rahmat dan petunjuk. Dengan kebangkitannya saat itu bangsa pun merasakan juga apa artinya intelektual dan keagamaan dari seorang yang bernama H. Abdul Malik Amrullah.
DAFTAR PUSTAKA
Djajamuri, 1962. Hamka Lembaga Hidup. Jakarta:
Hamka, 1998. Tafsir Al-Azhar juz 1. Pustaka, Jakarta
Hamka, 1998, Tafsir Al-Azhar juz 6. Pustaka. Jakarta
Mustaghfirin,dkk.2008 Membuka Cakrawala Pendidikan. Magelang
Nizar,Samsul,Prof,Dr,H. 2008 Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam.Jakarta: Kelana Persada media Group
www.madina-skcomfindek.php?option=com&task-view7id&nemit=10-22R                             
BAB XI
FAZLURRAHMAN
Oleh : Anisa Ahmad, Khusni Famela, Nurrohman Tri Pamuji.


  1. A.   PENDAHULUAN
Menurut Islam pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria wanita, dan berlangsung seumur hidup, semenjak dari buaian hingga ajal datang.[135]
Agama Islam adalah agama yang universal. Yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan , baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam pendidikan juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya.[136]
Fazlurrahman, telah membuka cakrawala pengetahuan kita tentang adanya dua dimensi di dalam Islam, yakni : dimensi Islam Normatif dan dimensi Islam Historis.[137] Rahman merekomendasikan perlunya perbedaan Islam Normatif dengan Islam Historis. Menurutnya Islam Normatif adalah ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip dasar, sedang Islam Historis adalah penafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang beragam.[138]
Berangkat dari beberapa asumsi yang disampaikan oleh Fazlurahman di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai pandangan Fazlurahman tentang pendidikan Islam, baik yang berkaitan dengan metode atau epistemologi pendidikan Islam dalam pandangan Rahman. Bagaimana sikap Rahman terhadap kebiudayaan Barat dan sejauh mana  pengaruh pemikiran Rahman terhadap proses pendidikan Islam di Indonesia.
  1. B.   PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FAZLURRAHMAN DI BIDANG PENDIDIKAN ISLAM
Fazlurrahman adalah seorang pembaharu pemikiran Islam yang lahir dari tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Lahir pada tanggal 21 September 1919, Fazlurrahman kecil terbiasa dengan pendidikan dan kajian-kajian keIslaman yang dilakukan oleh ayahnya sendiri, Maulana Syahab al-Din. Dalam usia sepuluh tahun ia sudah hafal Al-Qur’an di luar kepala. Ketika berusia empat belas tahun,  sudah mulai belajar filsafat, bahasa arab, teologi, hadist, dan tafsir.[139]
Pendidikan Islam dalam pandangan Fazlurrahman bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intetektualisme Islam. Karena, baginya hal inilah yang dimaksud dengan esensi pendidikan tinggi Islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan.
Pendidikan Islam dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan Islam dalam pengertian praktis, yaitu pendidikan yang dilakukan di dunia Islam mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kemudian yang kedua, pendidikan agama Islam yang disebut dengan Intelektualisme Islam. Lebih dari itu, pendidikan Islam menurut Rahman dapat  juga dipahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuwan) integratif. Seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya. Ilmuwan yang demikian diharapkan dapat memberikan alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi umat manusia di muka bumi.
Beberapa pengamat pendidikan Islam,menyatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam lebih ada upaya kebahagiaan di dunia dan akhirat, menghamba diri kepada Allah dalam memperkuat keIslaman, melayani kepentingan masyarakat Islam, dan akhlak mulia. Tampaknya dalam perumusan tujuan pendidikan, umat Islam atau sebagian para ahli pendidikan Islam mengalami kesulitan dalam membedakan syariat Islam sebagai ilmu yang disusun ulama sebagai tafsir atas wahyu serta syariat Islam sebagai ajaran Tuhan dalam wahyu yang termaktub dalam al-Quran. Islam lalu megalami penyempitan menjadi hanya ilmu syariat dan ilmu-ilmu Islam lainnya.[140]
Sedangkan menurut Fazlurrahman, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan manusia sedemikianrupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi kreatif yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.[141]
C.  AL-QUR’AN DALAM PENAFSIRAN  FAZLURRAHMAN
Pada dasarnya, Rahman menawarkan dua gerakan (double movement) dalam menafsirkan al-Qur’an. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur’an: dan kedua, dari masa turunnya al-Qur’an kembali ke masa kini. Gerakan yang pertama terdiri dari dua langkah, yaitu:
  1. Pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan al-Qur’an melalui cara mengkaji situasi atau problem histori dimana pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabannya
  2. Membuat generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik itu dan mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral yang bersifat umum. Sedangkan gerakan yang kedua, tugasnya adalah untuk merumuskan ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut, dan kemudian meletakkannya ke dalam konteks sosio-historis yang kongkrit saat ini.[142]
Interpretasi sebagai sarana untuk memahami secara obyektif akan membawa penafsir pada ketetapan pemahaman dari pikiran obyektif dari pihak lain. Demikian pula Rahman, dengan pemahaman secara obyektif yang berbasis double movement dalam kerja interprestasi itu, berupaya menggali prinsip-prinsip hukum atau nilai subtansi dari wahyu yang konstektual untuk diejawantahkan di masa kini.
Rahman yang menyakini adanya pengetahuan obyektif dalam suatu teks mengaplikasikan metodologinya itu untuk mengkaji Kitab Suci al-Qur’an. Untuk itu dia memerlukan bentangan latar belakang dan situasi historis yang melingkupi turunnya al-Qur’an. Yang memerlukan ilmu bantu untuk melakukan kerja-kerjanya tersebut,misalnya: sejarah, bahasa, sastra, psikologi, filosofi, dan bahkan morfologi teknis.
Pencarian metodologi Rahman, menghasilkan disposisi pemikiran yang menyangkut world view qur’ani secara komprehensip. Yang berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa dan Pengasih sebagai eksitensi yang fungsional, al-Qur’an sebagai nilai dan moral, dan kenabian sebagai bukti kongkrit kepengasihan Allah, serta manusia sebagai makhluk yang bertanggungjawab. Dia juga berbicara tentang alam semesta untuk dijdikan petanda ( keberadaan dan kebesaran ) Allah dan harus disyukuri dengan pengolahan dan pelestarian, tentang setan sebagai penguji manusia, serta akhirat sebagai terminal akhir perjalanan manusia dimana dia harus bertanggungjawab atas perbuatannya di dunia.[143]
Al-Qur’an berbicara tentang Tuhan yang tidak harus selalu berorientasi ke atas tapi juga ke bawah. Artinya, sebagaimana dikemukakan Rahman sendiri, yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti teologis mengenai eksistensi Tuhan. Tetapi, bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta-fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Dengan demikian, Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan dimensi lain; Dia memberi arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; tak berhingga dan yang selain-Nya selalu berhingga. Allah adalah cahaya yang menerangi sehingga setiap sesuatu menemukan kehidupan dan tingkah laku yang wajar.
Eksistensi Tuhan Yang Maha Esa adalah benar-benar hadir bersama manusia, dan meliputi segala yang ada. Konsekuensi dari monoteisme yang semacam ini, menurut Rahman, al-Qur’an menekankan keharusan iman sebagai sesuatu yang bersifat aksi yang harus berdampak nyata pada aktivitas dan perilaku manusia. Di dalam aktivitas dan perilaku manusia tersebut berpadu dua hal, yakni kekuasaan Allah untuk bertindak apa saja terhadap manusia di satu sisi dan kebebasan manusia untuk berbuat sesuai dengan kemampuan dan kehendaknya di sisi yang lain. Yang dituntut kemudian dari manusia adalah pertanggung jawaban moralnya, yang mana ukurannya adalah takwa.
Selanjutnya Al-Qur’an berbicara tentang kelebihan manusia atas makhluk yang lain, yakni dalam hal kepemilikannya akan pengetahuan. Ketika Allah menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah, para malaikat protes. Mereka khawatir akan terjadi pertumpahan darah di muka bumi seandainya manusia menjadi khalifah di sana. Para malaikat dan seluruh penduduk surga itu lalu dikumpulkan untuk mengeja nama benda-benda dan menjelaskan sifat dari masing-masing benda tersebut. Ternyata mereka tidak mampu. Yang bisa melakukannya hanyalah manusia (Adam). Melalui pengetahuannya itu manusia bukan hanya menjangkau hal-hal yang fisik, tapi juga yang metafisik. Keberadaan Allah, bahkan, dapat diketahui oleh manusia yang mau memikirkannya, dan manusia yang mau memikirkan petanda-petanda yang diciptakan-Nya.
D.  SIKAP KRITIS RAHMAN DALAM MENYIKAPI PERADABAN BARAT
Fazlurrahman selalu menggunakan sifat kritis dan kreatif dalam pendidikan Islam. Sifat kritis ini ditujukan oleh Rahman baik pada warisan Islam itu sendiri maupun pada peradaban Barat. Kritis pada peradaban Barat penting karena peradaban ini telah mendominasi peradaban dunia selama beberapa abad terakhir. Dengan dominasinya peradaban Barat sangat besar pengaruhnya pada peradaban umat Islam sekarang. Oleh karena itu, para pemikir muslim harus betul-betul kritis dalam menyikapinya. Dari sifat kritis ini muncullah sifat kekreatifan Rahman yang memancarkan pola pikir, perhatian, perkataan, dan seluruh perbuatannya yang kemudian ditiru oleh murid-muridnya.[144]
Dengan modal sifat kritis dan kreatif tersebut, Rahman berusaha memberikan alternatif pemecahan terhadap masalah-masalah umat, termasuk masalah-masalah aktual, terutama masalah kritis pemikiran, masalah dikotomi ilmu,dan lain-lain. Proses pemecahan masalah berlangsung empat tahap:
  1. Tahap persiapan dimana masalah diselidiki dari segala arah sehingga semua informasi tentang masalah ditemukan.
  2. Tahap inkubasi dimana masalah seakan–akan terbawa tidur, tidak terfikirkan secara sadar dan dinamis.
  3. Tahap ilmunisasi dimana ide atau kesimpulan baru baru muncul tidak terduga.
  4. Akhirnya suatu usaha sadar dilakukan untuk mencoba menentukan kesahihan dari kesimpulan yang didapat sesuai dengan kriteria dan aturan-aturan ilmiah.[145]
  1. E.   PENGARUH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM FAZLURRAHMAN DI INDONESIA
Pendidikan Islam di Indonesia dapat dibedakan ke dalam dua tingkatan, yaitu pendidikan dasar sampai menengah Islam dan pendidikan tinggi Islam. Kemudian, pendidikan dasar sampai menengah dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu pesantren, sekolah, dan madrasah. Pendidikan Islam menurut Zamroni, masih merupakan impian belaka. Pendidikan Islam dalam realitas baru merupakan           :
  1. Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam.
  2. Pendidikan agama Islam yang disampaikan di perguruan tinggi.
  3. Perguruan tinggi yang bertujuan menghasilkan sarjana di bidang ilmu-ilmu agama Islam. Tetapi dalam peta perguaruan tinggi di Indonesia kebanyakan menempati posisi di pinggiran.
Menurut Djohar, kesalahan pendidikan tinggi di Indonesia dalam hal :
  1. Kurang memberi pendidikan bagi tumbuhkembangnya akal.
  2. Kurang menumbuhkembangkan hati.
  3. Kurang menumbuhkembangkan fisik manusia.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia harus mampu memperbaiki kurikulumnya secara mendasar, pendidikan tinggi harus memiliki tipe ideal manusia seutuhnya.Menurut islam manusia seutuhnya adalah manusia yang mempunyai pengetahuan dan perilaku sebagaimana yang dimiliki Rosulullah atau setidak-tidaknya mendekati.
Menurut Fazlurrahman, pembaharu Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada kemajuan, harus bermula dari pendidikan. Hal ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Mastuhu. Menurut Mastuhu, IAIN merupakan lembaga pendidikan yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli terhadap persoalan- persoalan besar bangsa. Problem pendidikan yang paling mendasar saat ini adalah problem idiologi. Umat Islam tidak dapat mengaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi idiologinya, sehingga mereka tidak terdorong untuk belajar. Hasilnya adalah rasa jujur dan tanggung jawab tidak muncul.[146]
  1. C.  PENUTUP
Orientasi pendidikan Islam bukanlah sebuah orientasi yang peripheral saja, akan tetapi jauh ke depan melampui batas dunia yakni akhirat. Rahman sangat mempertimbangkan hal tersebut, sehingga nantinya outcomes yang dihasilkan oleh pendidikan Islam bukan sekedar orang yang ahli ilmu agama saja atau mahir dalam ilmu dunia, tapi ilmuwan yang integrative yang memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Karena pada dasarnya menurut Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga system pendidikan yang harus dibangun pun hendaknya memberikan orientasi yang sesuai dengan ajaran dasar Islam tersebut. Dalam ranah inilah Fazlurahman telah memulainya.
Sementara itu pendidikan Islam di Indonesia, masih memerlukan berbagai masukan dan perbaikan, maka tidak ada salahnya ketika mecoba mempertimbangkan gagasan Fazlurhman tersebut. Sehingga  apabila bersedia mengikuti pemikiran Fazlurrahman, maka secara berangsur-angsur motivasi umat Islam diIndonesia terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat,sehingga  Indonesia dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan muslim yang kritis dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA

Sanaky, Hujair. 2003. Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Jakarta : Safiria Insani Press.
Sutrisno. 2006. Fazlur Rahman (Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem pendidikan ). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zuhairini dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Pemikiran Islam. Word Press.com (05 /11/2008)
Http: //www.The Reading Group. Sg/Article. Fazlurrahman.pdf (15/04/2008)
Http: //www.belajar islam . com /index…….&co.id (12/09/2007)
Journal.UII.ac.id/index.php/jhi/icle/view/247/242 (08/12/2008)

BAB XII
SYED NAQUIB AL ATTAS
Oleh : Nani Supratin,

  1. A.   PENDAHULUAN
Sebagai generasi Islam kita harus mampu mengkritisi perubahan zaman. Seiring dengan maraknya globalisasi kita harus mampu menujukan wujuwud umat Islam yang tangguh dengan berbagai tantangan zaman. Dalam mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu, unggul dalam segala hal, semua itu tidak semudah membalikan tanagan. Namun membutuhkan ghiroh yang tinggi, proses yang panjang dan keuletan yang luar biasa.
Dalam makalah ini nantinya kita akan melihat seperti apa tawaran Prof. DR. M Naquib Al-Attas dalam meningkatkan mutu pendidikan Islam yang diiringi dengan berbagai isu dan adanya krisis pendidikan.
Di dalam dunia pendidikan muncul ideologi-ideologi baru yang menawarkan doktrin-doktrin pendidikan atas krisis yang melanda dunia pendidikan. Dengan munculnya doktrin-doktrin tersebut dapat memperkaya khazananah pemikiran pendidikan.
Menurut William O’neil ada dua alairan ideologi besar yang cukup berpengaruh, yaitu ideologi konservatif dan ideology liberalis. Sedangkan Girouks menambahkan adanya alairan kritis yang disebut oleh O’neil sebagai aliran anarkisme.
Ciri-ciri aliran tersebut adalah sebagai berikut:
Konservatisme:  aliran ini memandang konsep yang selama ini masih tetap aktual dan relevan yang tidak perlu adaanya perubahan, secara teologis aliran ini merujuk pada teologi jabariyah. Yaitu paham yang memandang bahwa manusia tidak memiliki fungsi sosial dikarenakan segala sesuatu merupakan ketentuan Tuhan. Jadi disini dipandang bahwa manusia tidak berdaya.
Liberalisme:  ialah pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi dan menjunjung tinggi hak dan kebebasan individu. Konsep pendidikannya bertolak dari paradikma barat tentang rasionalisme dan individulisme.
Anarkhisme dan Kritisisme:  yang dimaksud oleh O’neil ialah aliran yang anti kemapanan dengan bahasa halus kritisisme atau rekonstruksionisme, yang menghendaki perubahan social, ekonomi, politik melalui pendidikan.[147] Ideology-ideologi diatas merupakan selayang pandang yang dapat dijadikan sebagai wacana yang baik.

  1. B.   SEJARAH DAN RIWAYAT PENDIDIKAN PROF.DR.SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Prof. DR.Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pemikir islam yang banyak memberikan sumbangan dalam pemikiran Islam kontemporer dan pendidikan Islam. Beliau lahir di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931 M. beliau  termasuk keturunan Hadramaut (keturunan Arab Yaman). Ibunya merupakan keturunan sunda dan ia memperoleh pendidikan Islam di kota itu pula. Sedangkan ayahnya ia mendapatkan ilmu kesusastraan bahasa dan budaya melayu. Ia juga termasuk keturunan bangsawan Johor. Sejak usia 5 tahun Naquib menetap di Malaysia dan mendapat pendidikan dasarnya di Ngee Neng English Primery Scool.selama zaman jepang ia kembali ke Sukabumi selama 4 tahun. Ia belajar Agama dan bahasa Arab di Madrasah Al Urwatul Wustho di Sukabumi (1942-1945). Tahun 1946 Al-Attas melanjutkan pendidikannya di bukit Zahrah School dan English College Johor Baru tahun 1946-1949.
Naquib Al-Attas sempat masuk dinas ketentaraan dan pernah dikirim untuk belajar di Royal Militery Academy, Inggris, namun pada tahun 1957 ia keluar dari militer dan melanjutkan pendidikan di University Malaya. Dengan mengambil studi Islam di Nac Gill University, montreal Kanada hingga memperoleh gelar master. Ia melanjutkan di School of Oriental dan afrika Studies, University of London sehingga ia mendapatkan gelar Doktor, kemudian kembali ke Malaysia dan memegang jabatan penting menjadijadi ketua jurusan kajian Malaya University Malaya.
Salah satu bentuk perhatian besar Naquib Al-Attas dalam pendidikan Islam adalah dengan konsepnya tentang pendidikan Islam dalam bentuk Universitas, kemudian mendapat respon bagus dan ditindak lanjuti oleh Organisasi konfersi Islam (OKI), ia juga mendirikan international institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai-nilai peradaban Islam dan Islamisasi pengetahuan.
  1. C.  KONSEP PENDIDIKAN ISLAM M NAQUIB AL-ATTAS
Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti yang ditulis dalam islam The Educational Phylosofi and Pracfic of  Syed M Naquib Al-Attas yang telah di Indonesiakan oleh Mitan yaitu mengenai Ta’dib.
Dalam padangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab ( etika ) dalam arti luas. Hal ini kata Naquib disebabkan kerancuan dalam memahami konsep Tarbiah, Ta’lim dan Ta’dib.[148]  Kata tarbiyah memeiliki beberapa arti yaitu mengasuh, mendidik dan memelihara. Sedangkan secara luas arti tarbiah tidak hanya mendidik namun sampai pada memunculkan nilai-nilai ketuhanan. Ta’lim mempunyai arti mengajar yang lebih bersifat pemberian pengertian, pengetahuan, dan ketrampilan saja. Sedangkan Ta’dib adalah pendidikan dalam rangkan transfer nilai, M Naquib Al-Attas dalam bukunya Konsep Pendidikan Islam , dengan gigih mempertahankan penggunaan istilah Ta’dib untuk konsep pendidikan Islam, bukan Tarbiah, dengan alasan bahwa dalam istilah  Ta’dib, mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan esensi pendidikan Islam.[149]
Namun konsep pendidikan saat ini sudah dipengaruhi oleh pandangan hidup barat yang terbatas pada Ta’lim dan Tarbiah. Padangan barat itu lebih di dasarkan pada nilai-nilai sekulerisme, numanisme yang semakin jauh dari nilai-nilai ilahiyah. Hal tersebut yang menyebabkan kedhaliman, kebodohan dan kegilaan.
Dengan adanya persoalan diatas dapat di ketahui salah satu kemunduran umat Islam juga dipengaruhi oleh factor kemunduran umat islam, dan lahirlah pemimpin ynag tidak lagi mengindahkan adab, pengetahuan dan nilai-nilai lainnya.
Sedangkan Ismail Raji’ Al-Faruqi mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk adalah dalam hal pendidikan dunia Islam[150]
Naquib berpendapat bahwa untuk pemahaman nilai-nilai spiritual, termasuk nilai spiritual intelegen dalam pendidikan Islam ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardu ain, yakni ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi pengatahuan. Intensifikasi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan semesta alam. Bagi Naquib, adanya dikotomi ilmu fardu ain dan fardu kifayah tidak perlu diperdebatkan, tetapi pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif intregal atau tauhid, yaitu fardu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardu kifayah.[151]
Konsep Islamisasi pendidikan diatas sebagai kitis munculnya sience modern yang berbau kebaratan (liberalisme, sekulerisme). Diterima oleh Negara-negara Islam dan dibarengi dengan melemahnya kesadaran epistemology umat Islam. Hal ini memandang bahwa sience modern merupakan ilmu yang otoritatif yang dengan mudah melemahkan pandanagan islam mengenai ilmu.
Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. Maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula pada konsep ta’dib yang di tawarkan Al-attas sunggguh memiliki relevansi dan signifikan yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternative untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan equilibrium,bercorak moral dan religius. Secara ilmiah Al-attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga mejadi sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas.
Jadi bukan suatu hal yang naïf bahwa statmen Al-attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicoba untuk berdialog dengan filsafat ilmu apa yang diformulasikan oleh Al-attas dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah baik dari dataran ontologis, epistemology, maupun aksiologis.[152]
Sedangkan jasa ungguh muliawan menyebutkan bahwa untuk mengatasi dikotomi ilmu pengetahuan itu perlu adanya suatu studi ilmu yang integrative dan menyaluruh. Dan filsafatlah satu-satunya ilmu pengetahuan yang mampu mengintegrasikan system keilmuan yang parsial tersebut.[153]
  1. D.  ISLAMISASI PENGETAHUAN
Syed M Naquib Al-Attas menyodorkan sebuah konsep “ Islamisasi Pengetahuan “ dalam makalahnya yang berjudul “ Preminary Thoughts on the nature of knowlage and the detinition and the wim of education “ judul ini ada dalam bukunya yang berjudul Islam Skurelisme.
Naquib Al-Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban barat dan menurut Al Faruqi bahwa system pendidikan Islam telah disebut di dalam sebuah karikatur barat, sehingga ia dipandang sebagai penderitaan yang di alami oleh umat.[154]
Dari uraian di atas dapat kita lihat betapa memprihatinkan keberadaban umat Islam yang tidak sadar dimasuki oleh pemikiran yang menyesatkan. Apabila cara pandang dan pemikiran umat Islam sudah didominasi oleh cara pandang dan pemikiran ala barat maka identitas dan otentitas ajaran Islam sulit atau tidak dapat kita temukan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut ada beberapa konsep yang di tawarkan oleh Al Faruqi dan Al-Attas.
Bagi Al Faruqi pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan menuangkan kembali seluruh khasanah pengetahuan barat dalam kerangka islam yang dalam praktiknya tak lebih  dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dalam berbagai ilmu dengan wawasan ajaran Islam. Sedangkan bagi Al-Attas adalah dengan jalan pertama-tama tubuh pengetahuan barat itu harus di bersihkan dulu dari unsur-unsur yang asing bagi ajaran Islam, kemudian merumuskan serta memaduhkan unsur-unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu komposisi yang merangkum pengetahuan inti itu. Bahkan akhir-akhir ini telah muncul pendekatan lain, yaitu dengan jalan merumuskan landasan filsafat ilmu yang Islam sebelum melangkah pada Islamisasi ilmu pengetahuan.[155]
Beberapa pendekatan diatas menunjukkan bahwa Islamisasi pengetahuan itu merupakan pembersihan ilmu pengetahuan produk barat yang selama ini sudah menjadi acuan dalam pengembangan pendidikan Islam menjadi ilmu pengetahuan yang bercorak Islam. Yang dimaksud corak pendidikan Islam disini tidak harus segala sesuatunya itu sesuai dengan zaman Rasululloh sebagai pembawa agama Islam. Sebagai umat Islam kita harus mampu menunjukkan kemuliaan agama Islam yaitu selalu berguna dan sesuai dengan berbagai zaman bahkan akhir zaman.
Bagi Al-Attas, Islamisasi adalah sebuah “ Revolusi epistemology “ dan harapan untuk merealisasikan kebangkitan Islam. Konsep Islamisasi menjadi tumpuan dan jiwa beliau semenjak sekian lama sebelum tertuang menjadi gagasan besar. Konsep Islamisasi ini pernah di bicarakan oleh sarjana-sarjana ulung lain seperti Syyed Husain Nasr (hal 338) dan fazhul Rahman (hal 342). Namun penggunaan tema Islamisasi yang dipakai oleh sarjana-sarjana tersebut dilakukan bukan berangkat dari pada kajian Epistimologi. Oleh karena itu gagasan Islamisasi sebelum Al-Attas adalah gagasan yang tidak konkrit. Islamisasi yang di maksudkan Al-Attas bukan sekedar disiplin ilmu, ia adalah Islamisasi dengan beberapa cara diantaranya Islamisasi istilah dan konsep kunci yang menjadi agenda penting dalam pemikiran beliau.[156]
Al-Attas menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan kontemporer adalah produk dari kerangka intelektual peadaban barat yang di dasarkan pada :
  1. Meletakakan akal semata-mata utuk membimbing manusia mengarungi kehidupan  (Rasionalisme)
  2. Konsep dualisme yang meliputi hakikat dan kebenaran
  3. Idiologi sekuler
  4. Doktrin humanisme
  5. Konsep tragedy
Menyadari pengaruh sekularisme terhadap masyarakat barat dan besarnya kesan Sekularisasi terhadap dunia hari ini, maka apa yang perlu dilakukan oleh cendekiawan muslim sebagai tindak balas ( tindak lanjut ) adalah desekulerisasi, oleh karena itu tumpuan proses Islamisasi bagi Al-Attas adalah individu bukannya umat seperti yang ditekankan oleh Al Faruqi dalam konsep Islamisasinya.[157]
Beberapa kalimat terakhir memang sedikit membuat kening kita berkerut. Ternyata tidak sepenuhnya sama konsep Islamisasi M Naquib Al-Attas dengan konsep Islamisasi fersi Al Faruqi. Namun tidak perlu diperdebatkan karena keduanya saling melengkapi. Dan yang paling penting adalah keduanya sama-sama berjihad memikirkan jalan keluar bagi kepentingan umat Islam.
  1. E.   CORAK PENDIDIKAN NAQUIB AL-ATTAS
Apabila ditelaah secara cermat, format pendidikan yang di tawarkan oleh Al-attas tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu system pendidikan terpadu.[158] Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya system pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan system pendidikan yang terformulasikannya. Dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu rasional, intelek dan filosofis.[159]
Diskripsi diatas menunjukkan bahwa semangat dan sungguh-sungguhnya dalam menyelamatkan umat Islam dari berbagai pengaruh dengan mewujudkan suatu system terpadu. Di dalamnya menjadi tameng adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Intinya adalah merekontruksi system pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang terpadu. Hal ini juga diwujudkan dalam konsepsi tentang Ta’dib sehingga di harapkan pendidikan moralnya pun tidak terlupakan.
  1. F.   KESIMPULAN
Dengan melihat wacana di atas kami menyimpulkan ada beberapa poin diantaranya:
  1. pengaruh pemikiran Prof DR. M Naquib Al-attas begitu besar terhadap umat Islam.
  2. Al-attas memberikan konsep Ta’dib sebagai pendidikan pengertian yang tepat.
  3. Beliau memberikan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai solusi dari paradigma pengetahuan ala barat.
DAFTAR PUSTAKA


Achmadi. 2008. Idiologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integrtif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Republika.co.id
www.Upt.Edu.My / irc new / list nov 08 htm
belajar Islam . com / index. Php
www. Wordcat. Org / isbn

BAB XIII
MUHAMMAD  NATSIR
oleh : Onang Widatin, Budi Prasetyo dan Novi Ristiyani
  1. A.   PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang mengajarkan pandangan hidup (way of life) bagi seluruh umat manusia yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah yang harus melakukan peranya sebagai khalifah dan hamba Allah, melalui karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia. Untuk mampu melakukan peranya yang demikian itu, maka akal pikiran dan berbagai potensi yang ada dalam diri manusia harus dibina secara optimal. Sarana yang paling efektif untuk membina manusia adalah pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam.
Muhammad Natsir adalah tokoh yang menggagas pembaruan pendidikan Islam yang berbasis Al qur’an dan Sunnah, dimana keduanya mengajarkan bahwa pendidikan Islam haruslah bersifat universal. [160]
  1. B.   RIWAYAT HIDUP M. NATSIR
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908.
Riwayat pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. Ketika ayahnya dipindah tugaskan ke Bekereu, Natsir mendapatkan tawaran dari mamaknya untuk pindah ke Padang agar dapat menjadi siswa di Holland Inlandse School (HIS) Padang. Namun HIS Padang menolaknya, dengan pertimbangan bahwa Natsir adalah anak seorang pegawai rendahan. Namun akhirnya Ia dapat diterima di HIS Adabiyah, yaitu sebuah sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak negri. Natsir diterima di sekolah itu selama 5 bulan.[161]
Selain belajar di HIS pada pagi hari, Natsir juga belajar di Sekolah Diniyah pada waktu sore hari dan belajar mengaji pada malam harinya.
Setelah lulus dari HIS, Natsir mengajukan permohonan untuk mendapat beasiswa dari MULO (Meer Uitbegreid Lager Orderwijs), dan lamaranya diterima. Di MULO Padang Ia mulai aktif dalam organisasi, diantaranya:
  1. Jong Sumtranen Bond (Sarikat Pemuda Sumatera) yang diketuai oleh Sanusi Pane.
  2. Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam)
  3. Menjadi anggota Pandu Nationale Pavinderij (Natipij)
Menurut Natsir, organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkanya disekolah, dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagi pemimpin bangsa pada M. Natsir.[162]
Karena Natsir sangat memperhatikan pendidikan persoalan keislaman dan kemasyarakatan sebagaimana tersebut diatas menyebabkan Natsir menolak tiga kesempatan yang ditawarkan kepadanya, yaitu melanjutkan studi ke fakultas hukum atau ekonomi di Rotterdam, menjadi pegawai negeri dengan gaji besar sebagai hadiah dari keberhasilanya menyelesaikan studi di AMS dengan nilai tinggi. [163]
  1. C.  PEMIKIRAN  M. NATSIR DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Semula Ia aktif dalam bidang da’wah untuk membina kader. Pada umumnya Ia aktif dalam bidang agama di Bandung dan mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) dan menjabat sebagai Direktur Pendidikan Islam tersebut. Lembaga tersebut mengasuh sekolah-sekolah dari TK, HIS, MULO dan Kweekschool yang didampinginya[164]. Di sekolah trsebut para siswa digembleng ilmu-ilmu agama dan juga sikap perjuangan. Alumni-alumni dari sekolah tersebut kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di daerah masing-masing. Natsir merupakan sosok ideal dalam konsep aplikasi integrasi ilmu . Meskipun ia berpendidikan formal Belanda namun Ia menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan baik. Natsir tidak menginginlan umat Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu agama sehingga trtinggal dalam persaingan global.            Demikian juga sebaliknya Ia tidak ingin umat Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu umum dan buta terhadap agamanya yang akan menyebabkan umat Islam tidak mengetahui misi hidup yang sesungguhnya berdasarkan petunjuk Islam.[165]
Natsir termasuk tokoh intelektual yang produktif. Menurut Yusuf Abdullah Puar, Natsir telah menulis lebih dari 52 judul buku sejak tahun 1930, diantaranya adalah:[166]
  1. Cultuur Islam, bersama CP Wolf Kemal Schoemaker. Pendidikan Islam 1936
  2. Persatuan Agama dengan Negara, Padang, 1968
  3. Islam dan Kristen di Indonesia, Pelajar, 1969
  4. Capita Selecta, Bulan Bintang, 1973
  5. The New Morality, disusun bersama SU Bayasut 1969
  6. Islam dan Akal Merdeka. 1970
Dari banyaknya buku yang Ia tulis dapat terlihat bahwa Muhammad Natsir sangat memperhatikan perlunya pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga perlunya meningkatkan dan mengembangkan pendidikan umat.[167]
Kecintaanya di bidang pendidikan dibuktian dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah Universitas Islam diantaranya adalah:
  1. Universistas Islam Indonesia
  2. Universitas Islam Sumatera Utara
  3. Universitas Riau
  4. Universitas Ibnu Khaldun
  5. Dan lain-lain[168]
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, bahwa Natsir berbicara tentang beberapa komponen pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Tentang peran dan fungsi pendidikan,terdapat enam rumusan, yaitu:
    1. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.
    2. Pendidikan harus diarahkan agar manusia mempunyai sifat-sifat kemausiaan.
    3. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar.
    4. Pendidikan agar berperan membawa manusia agar mencapai tujuan hidupnya yaitu menjadi hamba Allah.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pandangan Natsir tentang pendidikan dipengaruhi oleh situasi pada saat itu. Natsir ingin agar pendidikan dapat membebaskan manusia dari belenggu dan intimidasi.
  1. Tentang Tujuan Pendidikan Islam. Menurutnya, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan identitas Islam yang pada intinya menjadikan manusia yang berperilaku Islami, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt sebagai sumber kekuasaan yang mutlak yang harus ditaati. Ketaatan pada Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total pada Allah, menjadikan manusia menghambakan dirinya pada Allah swt.
  2. Tentang Dasar Pendidikan. Dalam tulisanya yang berjudul “Tauhid Sebagai Dasar Didikan”disebutkan tentang pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan. Tauhid dapat terlihat manifestasinya pada kepribadian yang mulia. Yaitu pribadi yang memiliki keikhlasn, kejujuran dan lain sebagainya.
  3. Tentang Ideologi dan Pendekatan Dalam Pendidikan. Salah satu masalah yang muncul dalam wacana perdebatan dikalangan Ilmuwan pada masa Natsir, antara lain mengenai dikotomi antara pendidikan umum dan agama. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Natsir mengajukan konsep pendidikan integral, harmonis dan universal. Konsepsi pendidikan yang integral, harmonis dan universal menurut Natsir adalah pendidikan yang tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan umum, tapi antara keduanya mempunyai keterpaduan dan keseimbangan.
  4. Tentang Fungsi Bahasa Asing. Menurut Natsir, bahasa asing sangat besar perananya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa.
  5. Tentang Keteladanan Guru. Menurut DR. G. J Niewenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, bahwa suatu bangsa tidak akan maju sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemjuan.[169]
Dalam bidang akademik, Natsir memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Libanon (1967) dibidang sastra, Ia menerima gelar yang sama Universitas Kebagsaan Malaysia dan Universitas Teknologi Malaysia dalam bidang pemikiran Islam.  [170]
  1. D.  PEMIKIRAN M. NATSIR DI BIDANG POLITIK
Pada tahun 1938, Natsir mulai aktif dibidang politik dengan masuk sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) dan diangkat menjadi ketua pada tahun 1942-1945. Pada waktu itu beliau merangkap sebagai kepala Biro Pendidikan Kota Madya Bandung, serta sebagai sekertaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.
Karier politik Natsir setelah kemerdekaan diawali sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945-1946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan RI pada kabinet Syahrir dan kabinet Hatta. Setelah itu beliau diangkat menjadi ketua Masyumi. Karier politik Natsir mencapai puncak ketika beliau menjabat sebagai Perdana Menteri RI (1950-1951). Dalam pemilu tahun 1955 Natsir terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pada tahun 1956-1957 beliau menjadi anggota konstituante RI. [171]
Pada masa orde lama, Natsir terlibat polemik dengan Presiden Soekarno tentang bentuk dan dasar Negara yang akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi serta mempertahankan ide kesatuan agama dengan Negara. [172]
Natsir  mempunyai cita-cita untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Hal itulah yang menimbulkan konflik antara Natsir dan Presiden Sukarno. Sejak saat itu, Natsir aktif dalam gerakan oposisi, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera.   [173]
Pada masa orde baru, Natsir tetap tersingkir dari pemerintahan karena perbedaan ideologi. Misalnya, Pemerintah Orde Baru tetap tidak mengabulkan rehabilitasi dan hidupnya kembali Masyumi yang dibubarkan oleh Sukarno. Dalam keadaan yang demikian, Natsir meneruskan perjuangannya dengan menggunakan media dakwah melalui yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan bersama mantan aktivis Masyumi lainnya.
  1. E.   PEMIKIRAN POLITIK ISLAM M. NATSIR
Pandangan Natsir tentang Islam adalah agama pembebasan yang menegakan kemerdekaan jiwa seseorang dari kemusyrikan, tahayul dan rasa takut kepada selain Allah. Secara garis besar pemikiran politik Islam M. Natsir adalah sebagai berikut:
  1. M. Natsir dan Sekulerisme
Menurut Natsir Sekuler adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap hanya didalam batas keduniaan dan tidak mengenal akhirat serta tuhan
  1. M. Natsir dan Misi Kristenisasi
Selain dikenal sebagai sosok yang alim beliau juga dikenal sebagai sosok yang berani melawan misionaris dan zending di Indonesia.
  1. M. Natsir dan Perang Pemikiran dan Orientalisme
Perang Pemikiran seiring dengan upaya sekulerisme dan memperkecil pengaruh Islam dan pemeluknya. Target perang pemikiran yang dilancarkan adalah melepaskan syariat Islam dari umat Islam.
  1. M. Natsir dan Islamisasi Hayah
M Natsir berupaya mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan Negara. Beliau berusaha mencontoh Rasul dalam berdakwah. Bahwa suatu Negara diibaratkan sebuah bangunan yang terdiri dari dua unsur, yaitu manusia dan sistem. Sistem disini adalah Islam dan manusia adalah yang dikelola, dibelajarkan hingga sistem terbangun dalam dirinya sebelum kemudian mengopersaikan Negara dengan sistem tersebut. [174]
Dalam bidang politik, M. Natsir terlibat dalam berbagai organisasi. Diantaranya adalah Masyumi. Beliau pernah menjabat sebagai ketua Masyumi pada tahun 1949. Setelah Masyumi dibubarkan, pada tahun 1957 Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) bersama-sama para tokoh yang sebelumnya tergabung dalam Masyumi. Diantara kegiatan DDII adalah sebagai berikut:
  1. Pembangunan Masjid
  2. Pengiriman Da’i[175]
Memang, di dalam negeri Natsir kurang dihargai oleh pemerintah pada masing-masing periode. Namun, di dunia internasional, Natsir melalui dukunganya terhadap kemerdekaan Negara-negara Islam di Asia Tenggara dan Afrika, serta usahanya menghimpun Negara-negara yang baru merdeka. Atas semua ini, beliau dijuluki sebagai tokoh besar dunia Islam saat ini.
Sebagai penghargaan dan penghormatan terhadap pengabdianya di dunia Islam Natsir menerima beberapa penghargaan, diantarnya:
  1. Nicham Istikhar (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia tahun 1857
  2. Internasional Jaizatul Malik Faisal al Alamiyah dari lembaga Internasional Malik Faisal di Saudi Arabia tahun 1980   [176]
  1. F.    PEMIKIRAN M NATSIR DI BIDANG DAKWAH
Dalam bidang dakwah M. Natsir menulis beberapa buku salah satunya berjudul Fiqhud Da’wah yang berisi tentang jejak risalah dan dasar-dasar dakwah. Isi buku tersebut berasal dari catatan-catatan atau diktat-diktat untuk kursus latihan calon mubaligh. Sudah bertahun-tahun diktat-diktat itu tersimpan, bertebaran ditangan para pengikut kursus tersebut. [177]
  1. G.  PENUTUP
M. Natsir merupakan tokoh yang sangat terkenal dibidang politik, pendidikan dan dakwah. Banyak penghargaan yang telah diraihnya dari dunia internasional. Pemikiran-pemikiranya sangat disegani baik di dalam maupun di luar negeri. Walaupun beliau kurang mendapat penghormatan dari pemerintah RI pada waktu itu, akan tetapi beliau sangat dihormati di dunia internasionl.
M. Natsir meupakan tokoh Indonesia yang sangat gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman baik di bidang politik, pendidikan maupun dakwah. Beliau senantiasa berupaya mengintegrasikan nilai-nilai keislaman kedalam ketiga bidang tersebut.
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok M. Natsir, yaitu semangat M. Natsir dalam mempelajari ilmu agama yang sangat tinggi serta niat yang ikhlas dan lurus untuk mencari ilmu dan membagi ilmu dengan orang lain. Selain itu pelajaran yang dapat kita ambil adalah besarnya kepedulian M. Natsir terhadap hal-hal yang dapat merusak keimanan umat terutama umat Islam.



DAFTAR PUSTAKA


Luth, Thohir. 1999. M. Natsir: Dakwah dan Pemikiranya. Jakarta: Gema Insani.
Nata, Abudin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Natsir, M. 1989. Fiqhud Da’wah. Solo : CV. Ramadhani.
http: \\ www. Insisnet. com
http: \\ dunia pelajar_Islam. or. id
http: \\ qudrat. multiply. com
www. Hidayatullah. com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar